Ketika pagi tiba di bagian Barat ibukota ... "Eh, emm ... Selamat pagi." Samantha menyapa canggung saat berpapasan dengan Gabriel di dapur. "Who are you?" Lelaki itu mengernyit. Jonathan muncul menyelamatkan keadaan. Dia mendorong Samantha yang kebingungan ke arah ruang tamu, "Hei. Tunggulah di sana. Aku perlu bicara sebentar dengannya." "Oke." Wanita itu melangkah ragu. Dia merasa seperti berada di tempat dan waktu yang salah. "Mau menjelaskan sesuatu?" sinis Gabriel. "Tidak seperti yang kau pikirkan." "Oh? Memangnya apa yang kupikirkan ketika melihat seorang wanita muda, bahkan kelihatannya lebih muda dari putriku mendadak muncul di rumahku bersamamu? Tunggu dulu. Apakah ini masih rumahku?" cecar Gabriel. Jonathan tertawa, "Damn it, Gabriel. Kau bersikap seperti ayahku." "Kamu mau dengar apa yang dikatakan Nathan saat dia tahu motornya lenyap?" "Aku bisa bertanya sendiri. Sekarang, aku butuh tempat satu malam lagi untuknya." Gabriel me
Seumur-umur warga yang bermukim di sekitar gang tersebut mungkin belum pernah menyaksikan perkelahian ala-ala film action Hollywood terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka. Semua orang menonton dengan suhu tubuh panas-dingin. Aksi Jonathan menghadapi selusin tukang pukul bersenjata tumpul dan tajam terlalu keren. Semua orang bersorak gembira ketika lelaki berpakaian serba hitam itu berdiri angkuh di tengah lawan yang bergelimpangan. Jonathan menyodok orang-orang yang terkapar di tanah dengan ujung sepatu, mendapati bahwa semua lawannya sudah tidak berdaya. Dia sendiri juga bukan tanpa luka, tapi tidak ada yang berakibat fatal, hanya luka lecet di sana-sini. Jonathan mencengkeram rambut si mucikari sampai lelaki itu mengerang kesakitan. Dia bertanya tanpa basa-basi, "Mana kartuku?" "Di dompet," rintih si mucikari yang tidak percaya nasibnya bisa begitu sial. Dia pikir dirinya penjahat yang ditakuti, tapi ternyata ada yang lebih menakutkan! Jonathan menggeledah p
"Hah?" Samantha tampak shock. "Ucapanku kurang jelas?" Jonathan tersenyum geli melihat eskpresi wanita itu. "Harus kurespon sekarang?" "Ya." Samantha mengulum bibir. Dia tidak siap mendengar pernyataan tadi. Apa yang membuat lelaki ini menyukainya? Haruskah dia tersanjung? Bagaimana dengan selisih umur mereka? "Aku pernah menikah, tapi istri dan anakku telah lama tiada. Seperti yang kamu lihat, romantis tidak ada dalam kamusku, dan aku dominan saat bercinta." Jonathan menjelaskan tanpa diminta. Wajah Samantha memerah, "Aku tidak tanya!" "Tapi kamu harus tahu apa yang akan kamu hadapi." Lelaki itu tersenyum menawan. "Tapi, kita baru bertemu kemarin." "Ya. Lalu?" Samantha mengejapkan mata, "Bukankah kita harus saling mengenal dulu sebelum saling menyukai?" "Prosesnya terlalu lama." "Hah?" Samantha ternganga. Apakah lelaki ini ingin semuanya serba instan? Jonathan ingin tertawa melihat ekspresi tersebut, "Sudah selesai makan? Kembal
"Menurutmu aku harus menikahinya?" Jonathan menempelkan kaleng bir di dahi. Gabriel menghela nafas, "Damn it, Jonathan. Apakah waktu membuat otakmu berkarat? Bagaimana kamu memulai hubungan dengan mendiang istrimu? Bukankah hampir serupa?" Lelaki itu termenung. Benarkah? Kenapa dia tidak ingat? Apakah ada serpihan ingatannya yang hilang? "Kamu benar-benar lupa?" Gabriel menatap prihatin. "Mungkin." Jonathan memejamkan mata. Kenangan indah itu sudah tertutup oleh kenangan buruk. "Setidaknya bicarakan baik-baik dengan anak itu. Karena kamu mengalami hal yang menyakitkan bukan berarti orang lain harus mengalaminya juga." "Ya, ya, aku tahu. Simpan nasehat psikologimu untuk orang lain." Gabriel menatap keki, kemudian memutuskan untuk mengabaikan Jonathan. Ada hal lebih penting yang harus dipikirkan, yaitu bagaimana cara mengisolasi kelompok si Tua Rhein dan membekukan kelompok mereka untuk selamanya. Sekian lama duduk tanpa tujuan, Jonathan sudah beberap
Pelukan erat Samantha menghangatkan hati Jonathan meskipun hanya dilakukan karena berboncengan di atas motor. Dari kaca spion dia tidak dapat melihat wajah Samantha karena tersembunyi di balik helm. Setibanya di kamar hotel Jonathan membiarkan wanitanya santai, menyesuaikan diri lagi dengan tempat asing. Samantha berjalan mondar-mandir. Matanya melihat koper dan kemeja hitam di rak, juga dua buah sabuk kulit di tempat tidur. Kemudian wanita itu berjalan ke jendela. "Orang di luar dapat melihatmu, Sam." Nafas Samantha tercekat karena dua lengan Jonathan memeluknya dari belakang, "Uhm ... mereka juga dapat melihatmu." "Aku tahu." Tangan Jonathan menjangkau melewati tubuh si wanita untuk menutup tirai. Dengan lembut didorongnya wanita itu bersandar di jendela. Samantha tidak dapat berbuat banyak. Tangan Jonathan melingkar di leher, membuat wajahnya mendongak. Dirasakannya ujung-ujung jari si lelaki memberi sedikit tekanan. Tidak sampai menyakiti atau membuat sulit
Perjalanan cukup jauh ditempuh Samantha untuk tiba di hotel tempat dirinya bermalam. Lalu lintas yang padat membuat perjalanan terasa lebih melelahkan. Saat tiba di tujuan yang diinginkan Samantha adalah melepas lelah. Udara sejuk menyambutnya yang melangkah masuk ke lobby hotel. Samantha masuk ke lift menuju lantai lima. Baru saja hendak membuka pintu kamar yang ditempati kemarin seseorang menarik dan memeluknya. Wanita itu tidak punya energi untuk terkejut. "What took you so long, Sam?" bisik Jonathan begitu dekat telinga wanita itu. Samantha bergidik karena hembusan nafas si lelaki, "Perjalananku jauh." "Dan kenapa masuk ke kamar lain? Aku sudah check-out kamar itu. Tempatmu bersamaku, Sammy." Dengan mudah Jonathan mengangkat tubuh wanita itu dan membawa masuk ke kamarnya sendiri. "Tunggu, aku mau—" Sebelum pintu tertutup rapat Jonathan mendorong wanitanya bersandar di dinding dan mencium penuh kerinduan. Tidak dibiarkannya wanita itu menghindar. "Ah
Sesuai perjanjian setelah mengantar Samantha ke daycare, Jonathan melaju ke rumah Nathan. Perjalanan lumayan jauh karena jalur perjalanannya memutar dari pusat ke utara, baru kemudian ke barat ibukota. Namun, hal itu bukan masalah besar bagi motor sport yang dikendarai. "Uncle Jo!" Rafael yang sedang sarapan melompat turun dari kursi dan berlari ke arah Jonathan. "Astaga ... Rafa! Kalau sedang makan tidak boleh lari-lari!" seru Angeline. Gloria pun geleng-geleng kepala. "Hei, dengar kata Mamamu. Kembali ke meja makan sana." Jonathan tertawa. "Tapi nanti Uncle Jo temani aku berlatih!" seru anak kecil itu. Jonathan menggandeng Rafael kembali duduk dan menatap Angeline, "Kamu harus tanya Mama dulu, boleh tidak?" "Boleeeh. Hari ini Uncle Jo jadi babysitter. Sudah pernah lihat Samantha jaga anak-anak kecil, 'kan?" Angeline kembali sibuk menyuapi Olivia. "Hai, Princess." Jonathan menyapa si bayi kecil. Angeline memukul tangan Jonathan yang hendak meng
"Ugh, pelan-pelan ...." Samantha memejamkan mata karena pergerakan intens di dalam dirinya. "Tidak bisa, Sammy. Ekspresimu membuatku gila," desis Jonathan. Rasa itu membuncah untuk kesekian kalinya, melumpuhkan Samantha. Punggungnya melengkung bak busur dan wajahnya menengadah dengan rintihan tertahan. Sekujur tubuhnya gemetar oleh hentakan yang tidak jua berhenti. Tidak lama mereka berdua mencapai akhir yang sesungguhnya pada waktu bersamaan. "Sial. Aku tidak bisa berhenti," gumam Jonathan. Samantha terengah. Dia tidak yakin bisa bertamu di rumah Angeline dalam keadaan seperti ini. Semua gara-gara Jonathan! "Brengsek, Jo ... kenapa tenagamu ekstra sekali?" keluh Samantha. "Karena aku menemukan wanita yang benar-benar kusukai." Jonathan menyeringai. "Aku lelah sekali ... Nanti tidak ikut ya?" "Dan apa yang akan kamu lakukan di sini sendirian? Merindukanku?" "Uh, percaya diri sekali? Aku mau tidur sampai besok pagi!" Jonathan tertawa, "Oh, co