"Aaaaaaahhhh! Aku butuh cuti!!" seru Angeline sambil menepuk meja. Nathan menoleh heran, "Cuti?" "Ini sudah berapa hari lembur melulu. Aku penat! Otakku jenuh! Butuh cuti!" Angeline merosot di kursinya. Lelaki itu geleng-geleng kepala dan kembali mengetik sesuatu di laptop. Melihat pacarnya mengabaikan, Angeline merengut. Dia semakin merosot di kursi sampai akhirnya lenyap dari pandangan. Nathan melirik sekilas. "Angel, behave," goda Nathan. Sepasang mata Angeline muncul di tepi meja. Persis buaya yang sedang mengintai mangsa dari dalam air. Tingkah ajaib Angeline membuat Nathan tidak tahan untuk tidak melihat, "What are you doing, Baby Girl?" "Berikan aku cuti," tukas wanita itu. "Memangnya kamu mau ke mana? Cuti pun kita akan tetap bertemu, kan?" Nathan tersenyum tipis. Angeline kembali duduk manis di kursi, "Entahlah. Jalan-jalan, mungkin? Yang pasti tidak di kantor untuk lembur." "Hmm ... Belum satu minggu sejak launching brand baru dan
Benar. Hari ini adalah hari Sabtu, akhir minggu di mana para pekerja kantoran mendapat secercah kebebasan di tengah rutinitas yang mencekik. Angeline pun merasa demikian. Dia menginginkan hak untuk mereguk kebebasan ini dengan memaksa Nathan agar tidak membuntutinya. Sayang sekali lelaki keras kepala seperti Nathan tidak mudah didebat. Setelah bicara panjang lebar disertai bujukan dan ancaman akhirnya Angeline mendapatkan kelonggaran. Dia boleh bepergian sendiri asal ditemani pengawal pribadi. Nathan belum melupakan saat di mana pacarnya nyaris diculik. "Aku pergi dulu." Angeline pamit dengan suka cita. Nathan mengamati penampilan wanita itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Angeline terlihat manis dengan kaos oblong berwarna kuning cerah dan hotpants. Rambut panjangnya diikat ekor kuda sehingga membuatnya terlihat seperti gadis remaja atau anak kuliahan. "Kamu memakai itu?" Nathan menunjuk hotpants yang memperlihatkan sebagian besar kaki si wanita. "Iya. Ok
Setelah membujuk dan menenangkan akhirnya Angeline mau ikut pulang bersama Nathan. Dia duduk di boncengan motor tanpa bersentuhan dengan lelaki itu. Rasa kecewa masih bercokol di hatinya. Nathan pun tidak memaksa Angeline untuk berpegangan padanya. Baginya yang terpenting wanita itu tidak menolak diajak pulang. Segera setelah memarkir motor, Nathan menggandeng Angeline. Sudah diduga wanita itu akan menepis tangannya. Nathan membiarkan Angeline berjalan di depan sementara dirinya mengikuti di belakang sambil berjaga siapa tahu wanita itu berubah pikiran dan melarikan diri lagi. Untungnya tidak. Hening mencekam di dalam lift. Angeline masih menolak untuk bertatapan dengan Nathan. Sebenarnya dia masih butuh waktu sendiri, tapi bujukan Nathan mampu menyentuh titik lembut dalam hatinya. Itulah sebabnya Angeline mau diajak pulang. "Angel—" "Aku mau istirahat," potong Angeline. Nathan melangkah cepat menghadang di depan pintu kamar. Sebagai lelaki dia tidak ingin
Hari ini Nathan mengajak Angeline makan malam di luar untuk menebus ketidaknyamanan yang terjadi hari sebelumnya. Sepanjang hari Angeline bersantai di penthouse karena tidak ada yang ingin dia lakukan sampai waktu yang dijanjikan tiba. Nathan pun tidak banyak mengganggu. Menjelang siang Angeline memutuskan untuk memasak sesuatu. Dia meminta Nathan menemani ke supermarket untuk membeli bahan makanan. Nathan langsung menyetujui. Tidak lama berselang keduanya sudah berjalan santai menyusuri lorong-lorong supermarket. Sebagai wanita, Angeline betah berlama-lama di tempat seperti ini, tapi Nathan tidak. Terlihat sekali lelaki itu bosan dan lelah. "Nathan, kamu tunggu di depan saja. Aku masih mau melihat-lihat." Angeline tersenyum geli. "Oke. Jangan terlalu lama, Baby Girl. Nanti kamu diculik." Nathan mengecup kening Angeline. "Pergi sana." Angeline tertawa. Jalan-jalan di supermarket selalu membuat Angeline mengambil lebih banyak dari yang dia butuhkan. Begitu s
"Oh! Tunggu sebentar! Ada yang berbeda! Angeeeelll, biar kulihat apa yang ada di tanganmu!" Cindy berseru heboh. Sambil mengulum senyum Angeline berjalan ke meja Cindy. Dia membiarkan tangannya ditarik dan diteliti sedemikian rupa seperti benda antik di museum. "Wow, ini cincin berlian! Dari siapa ya? Apakah sesuai dugaanku?" Cindy tersenyum lebar. "Memangnya dugaanmu apa?" goda Angeline. "Pak Nathan melamarmu! Ya kan??" Angeline tidak menjawab, tapi juga tidak menyangkal. Perlahan dia menarik kembali tangannya dan berucap, "Hal baik atau hal buruk?" "Hal baik dong! Akhirnya ada yang ...." Seolah menyadari sesuatu Cindy berhenti bicara. Kemudian dia mencondongkan tubuh ke arah Angeline dan berbisik sangat pelan, "Akhirnya ada yang membuat si womanizer bertobat ...!" Mereka tertawa berbarengan karena apa yang dikatakan Cindy benar adanya. Siapa yang tidak tahu tabiat Nathan sebagai lelaki anti komitmen? "Sudah ah. Nanti dia dengar loh. Aku ke dalam d
Angeline menghempaskan tubuh di sofa empuk yang disediakan bagi customer bridal. Jantungnya sudah kembali normal, tapi pikirannya masih belum dapat beralih dari aksi di jalanan tadi. Nathan duduk di sebelahnya dan menyilangkan kaki dengan anggun. Melihat itu Angeline mengangkat kaki dan mendorong tumit Nathan sehingga kaki lelaki itu terjatuh. "Hei." Nathan kembali menyilangkan kaki. Lagi-lagi Angeline melakukan hal yang sama. "Sekarang siapa yang jahil lebih dulu?" Nathan menatap heran. Dia menyembunyikan emosi negatifnya di hadapan Angeline. Wanita itu mengulum senyum, "Aku tidak jahil sebelum mengenal kamu." Nathan tertawa, "Sepertinya itu kata-kataku. Dasar plagiator." "Tadi menegangkan sekali sih? Siapa orang tadi? Musuhmu banyak ya?" tanya Angeline. "Aku akan menyelidikinya." Padahal Nathan sudah bisa menebak siapa dalang di balik usaha penabrakan tadi. "Ah, paling mereka yang tidak suka melihat hubungan kita berjalan lancar." Angeline tertund
"Sial ... Mau apa dia kemari," gumam Angeline. "Siapa?" Cindy mengikuti pandangan Angeline dan segera memahami situasi. "Nggak mungkin dia tahu Nathan sedang meeting. Kebetulan sekali?" Angeline mengawasi pergerakan Jeremy yang berjalan ke arah mereka. Tatapan Jeremy langsung tertuju pada Angeline yang sedang berdiri dekat meja Cindy. Kedua wanita itu memanfaatkan waktu luang dengan mengobrol saat Nathan sedang meeting dengan para manager. "Aku mau bicara denganmu," cetus Jeremy. "Maaf, Pak—" Cindy bangkit berdiri, tapi ditahan Angeline. "Baik, silakan masuk ke dalam." Angeline mendahului berjalan masuk ke ruangan Presiden Direktur. Cindy memandang cemas ketika kedua orang itu menghilang ke dalam ruangan. Dia bergegas mengirim pesan singkat pada Nathan memberi tahu apa yang sedang terjadi. "Mau bicara apa, Pak?" Angeline berdiri bersandar di depan mejanya dengan kedua lengan tersilang di depan tubuh. Hening ketika Jeremy memandangi wanita di ha
Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam mobil dengan kaca teramat gelap. Mobil yang setengah jam lalu melaju meninggalkan gedung Wayne Group dengan tujuan bandara internasional. Sopir tidak terganggu sedikit pun dengan aktivitas yang terjadi di kursi penumpang berkat kaca hitam pembatas. "Agh ... Pelan-pelan ... Sakit ...." "Tahan sedikit." Angeline menggigit bibir dan berusaha tetap rileks. Nathan menatap lembut dan bertanya, "Lebih nyaman?" "S–sedikit ... Ah, jangan di situ," rengeknya. Sebutir keringat mengalir di kening Nathan. Tampak sekali wajahnya begitu fokus terhadap apa yang sedang dia lakukan. "Angel, jangan tegang. Aku tidak bisa merasakannya," ucap Nathan. "Iya, kuusahakan." Mata Angeline berkaca-kaca. "Trust me, Baby Girl." Nathan tersenyum menenangkan. "T–tunggu ...! Aku belum siap," lirih wanita itu. Nathan bersabar. Sedikit lagi. Angeline mengatur nafas agar tidak tegang lalu berkata, "Lakukan, Nath." "Oke.