Karena Gabriel dan Mike berada di mobil yang berbeda, mereka tidak melihat keadaan Angeline yang goyah karena emosi. Hanya Nathan yang menyaksikan kedua tangan wanita itu gemetar. Dia memeluk erat istrinya untuk menenangkan. "Kenapa hal buruk tidak juga berakhir? Bukankah seharusnya kita bisa menikmati hari-hari bahagia bertiga?" Angeline melontarkan pertanyaan yang menuntut. "Tidak usah cemas, Baby Girl. Tidak akan kubiarkan orang-orang itu mengganggu kebahagiaan kita. Aku pernah menghadapi yang lebih buruk." Nathan mengecup kening Angeline. Mereka berdua memperhatikan Rafael yang asyik menatap pemandangan di luar jendela. Diam-diam Angeline iri pada bayi kecil ini, begitu bahagia tanpa beban pikiran apa pun. "Nathan ... aku lelah." Angeline menyandarkan kepala di bahu kokoh Nathan dan menghela nafas panjang. "Aku selalu ada untukmu dan Rafael." Sepanjang perjalanan mereka berdua tidak bicara lagi, hanya saling meresapi kehangatan pasangannya. Dengan m
"Maaf ya Bu, tapi suami keberatan kalau ada orang luar yang masuk kemari. Soalnya ini bisa dibilang area pribadi kami. Kalau Bu Yanti 'kan kami sudah kenal lebih baik." Angeline tersenyum dengan harapan semoga wanita paruh baya itu mengerti. "Oh, tidak apa-apa, Nyonya. Saya maklum kok. Anak Ibu cuma penasaran, soalnya seumur-umur belum pernah masuk ke apartemen mewah," sahut Bu Yanti. Angeline mengangguk, "Aku mengerti, Bu." "Ngomong-ngomong hari ini Nyonya makan siang di luar?" tanya Bu Yanti kemudian. "Mungkin. Kenapa?" Angeline menangkap tangan Rafael yang menarik rambutnya. Dia sedang malas menyanggul rambut dan sebagai akibatnya rambut tersebut menjadi sasaran penarikan si bayi. "Saya mau ijin pulang cepat, mau temani anak saya ke rental komputer untuk print surat lamaran kerja. Soalnya selama dia tidak kerja saya yang pegang keuangan." "Oh, iya, boleh Bu. Nanti aku kasih tahu suami juga biar dia tidak kaget Bu Yanti hilang mendadak." "Baik. Terima
Angeline menatap curiga pada lelaki yang duduk di hadapannya. Penampilan yang cukup mengesankan. Kancing kemeja yang dipakai di dalam jaket kulit terbuka hingga dada, memperlihatkan tato yang mengintip dari tubuh lelaki itu. Rambutnya diikat ekor kuda. Kontras dengan penampilannya, Jonathan bersikap ramah terhadap semua orang, termasuk dua pengawal pribadi. Namun, Angeline tahu, semakin lawan bersikap baik, semakin dia berbahaya. "Ceritakan tentang dirimu, Angel. Kapan dan bagaimana kamu bertemu Gabriel? Apakah dia langsung mengenalimu sebagai putrinya?" tanya Jonathan. "Tanya sendiri padanya. Bukankah kalian saudara sepupu?" cetus Angeline. Jonathan mengangkat alis, "Salahkah aku mencari topik obrolan?" Angeline mengerucutkan bibir, "Kalau mau ngobrol lebih baik bicarakan apa rencanamu terhadap kami." Senyum yang selalu tampak di wajah Jonathan melebar. Dia tidak salah mengagumi wanita pemberani ini. Sudah lama dia tidak menemukan wanita yang berani melawan ba
Dengan Rafael berada di tangan Jonathan, Angeline tidak dapat berbuat banyak. Dia hanya bisa berharap lelaki itu masih memiliki cukup hati nurani untuk tidak menyakiti seorang bayi kecil. Jantung Angeline berdegup kencang mengawasi Jonathan membelai rambut Rafael. "Seperti kukatakan tadi, kamu dan anakmu berharga karena aku dapat menggunakanmu untuk menundukkan Nathaniel. Membawamu ke Macau berarti menangkap dua burung dengan satu lemparan batu," tutur Jonathan. "Lalu apa? Begitu sampai di Macau tidak ada yang dapat menjamin keselamatan kami! Siapa yang tahu apa rencana busuk kalian??" sergah Angeline. Jonathan menatap dalam, "Aku sendiri yang akan menjamin keselamatanmu." Angeline mengejapkan mata, "Dan Nathan?" "Dia tidak ada hubungannya denganku." Lelaki itu kembali menunduk memperhatikan Rafael. Bayi itu terlihat nyaman dalam gendongan Jonathan. "Kalian tidak bisa berbuat seperti itu. Nathan tidak akan membiarkan kalian membawa kami pergi," desis Angeli
"Aku mau ke kamar mandi," sergah Angeline yang lelah akibat perjalanan jauh. "Silakan." Jonathan berjalan ke kamar mandi. "Lepasin borgol brengsek ini!" Lelaki itu menatap heran, entah serius entah berpura-pura, "Memang kenapa?" "Kamu tidak bisa ikut ke dalam kamar mandi! Beri aku privasi!" "Itu maksudmu? Baiklah. Aku akan menutup mata." Jonathan terus saja berjalan, menarik tawanannya ke dalam kamar mandi. "Tidak bisa! Aku perlu kedua tangan!" Angeline menyentak tangan kirinya yang terborgol. "Apa yang perlu kamu lakukan? Aku bisa membantu." "Oh! Dasar brengsek! Sialan! Jangan harap!" Jonathan tertawa. Wajah sengsara Angeline cukup memuaskan baginya. Dia pun membuka borgol yang melingkar di tangannya, "Silakan." Begitu Jonathan keluar dari kamar mandi Angeline cepat-cepat mengunci pintu. Dia bernafas lega karena akhirnya bisa lepas dari lelaki itu. Berjam-jam duduk di pesawat membuat tubuhnya pegal-pegal. Angeline melihat sekeliling. Ka
Apa pun yang dilakukan terasa tidak tepat. Padahal fasilitas di unit apartemen ini cukup lengkap. Angeline hanya mondar-mandir mengelilingi seluruh ruangan sampai bosan. Beberapa jam berlalu dan wanita itu sudah memenuhi freezer dengan kantong penyimpan ASI. Hal itu dilakukan karena Angeline merasa sayang jika harus membuang ASI-nya begitu saja. Diam-diam dia bersyukur karena Jonathan memperhatikan kebutuhannya. Saat sedang berselonjor di sofa sambil merenungi nasib mendadak pintu terbuka. Angeline melompat berdiri dengan waspada. Jangan sampai yang masuk ke unit apartemen ini adalah anak buah Jonathan. Untungnya bukan. "Aku bawa makanan. Ada yang memberitahu kalau kamu mudah lapar." Jonathan menutup pintu dan meletakkan kantong di atas meja. "Kata siapa? Sembarangan," gerutu Angeline yang merasa dikatai rakus. "Suamimu." Mata Angeline membulat, "Kamu bertemu Nathan? Apa yang terjadi? Di mana dia? Biarkan aku bertemu dengannya!" "Belum saatnya. Makanlah dul
"Bos, Nona Jasmine mencari Anda." Jonathan mengernyit. Apa yang diinginkan wanita itu? Apakah Tuan Besar Mei menyuruhnya menyelidiki keberadaan Angeline? "Dia bersama siapa?" tanyanya. "Sendiri." "Suruh dia tunggu." "Baik." Jonathan menutup pintu unitnya kemudian tanpa terburu-buru melihat keadaan Angeline yang masih terlelap di kamar. Dengan langkah kaki ringan tanpa menimbulkan suara lelaki itu mendekati tempat tidur. Ini hari kedua Angeline berada di unit apartemennya, dan semuanya berjalan baik. Hanya saja dia harus memikirkan freezer yang sudah terisi separuh dengan kantong ASI. Mungkin dia akan menyerahkan pada Nathan untuk mengirimnya ke Jakarta. Puas memandangi wajah wanita itu Jonathan pun meninggalkan unitnya. Dia perlu mengetahui sebesar apa kecurigaan Tuan Besar Mei terhadap dirinya. Lelaki tua itu memang tidak pernah mempercayai siapa pun. Ibaratnya tidur pun menyimpan pisau di bawah bantal. Jonathan menatap angka-angka digital yang ter
Tiga hari berselang sejak pertemuan rahasia di tepi laut. Kepada media Gabriel Maynard menyatakan kebangkrutan tanpa menyebutkan secara rinci apa penyebabnya. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa di internal keluarga besar Mei sendiri sedang terjadi perpecahan, yaitu antara paman dan keponakan yang memiliki kekuatan seimbang. Media menayangkan spekulasi dan pembahasan mengenai menurunnya harga saham Golden Yue. Tampuk kekuasaan pun telah beralih ke tangan Tuan Besar Mei, yang sepertinya belum melakukan apa pun untuk memperbaiki keadaan perusahaan. "Dia akan menghancurkan perusahaan." Gabriel mematikan televisi. Nathan tidak menyahut. "Semua sudah berjalan sesuai rencana. Belum ada komunikasi dari Jonathan?" tanya Gabriel. "Belum. Akan kutunggu sampai malam ini. Kalau belum ada kabar aku akan bergerak," tegas Nathan. "Hati-hati, Boy. Mereka punya mata di mana-mana." Nathan tersenyum, "Aku tahu." "Sisi baiknya adalah Mike dapat belajar mengurus bay