"Mas, kapan kau akan menikahiku?" Bisik Siska lembut di telinganya.Aldo memejamkan mata, bisikan Siska di telinganya seakan ingin menambah masalah untuknya. Lelaki itu tak mengerti, apakah Siska tidak tahu jika saat ini kepalanya begitu berat karena masalah yang ditimbulkan Hanna di kantornya?Beberapa detik kemudian, tangan Aldo mendorong kasar tubuh Siska agar menjauh dari dirinya. Membuat wanita itu seketika memekik histeris.Argghh!"Mas, apa yang kaulakukan? Apa kau lupa jika aku sedang hamil," Protes Siska tak terima."Jangan menempel padaku, apa kau tidak mengerti jika kepalaku begitu pusing sekarang? Jangan menambah beban masalahku," bentak Aldo."Mas, aku hanya bertanya. Kapan kau akan menikahiku? Tak perlu harus mendorongku kan!" Suara Siska meninggi."Jangan lupa sekarang aku sedang hamil anakmu," lanjut Siska merengek."Iya, aku mengerti, tapi bisakah kita tidak membahas tentang kehamilanmu itu sekarang. Banyak hal yang sedang kupikirkan."Mendengar jawaban Aldo, refleks
"Persetan dengan persyaratan itu, mas. Apapun yang terjadi aku tak akan menggugurkan janin ini." Tolak Siska tegas."Jangan memaksaku, Siska!" Bentak Aldo yang mulai terbakar emosi."Keluar dari kamarku," usir Siska dengan tangan menunjuk ke arah pintu.Mata Aldo berkilat amarah, ia tak menyangka jika wanita yang biasanya selalu bersikap manis dan menuruti segala keinginannya itu tiba-tiba berubah begitu kasar."Kau ...!?""Keluar dari sini, dan ingat satu hal mas, kau akan menikahiku. Janin ini tidak akan aku gugurkan." "Terserah padamu, aku tak peduli." Sahut Aldo lalu menyambar tas dan sepatunya. Tak lama, lelaki itu keluar dengan raut wajah yang memerah."Persetan dengan semua ancamanmu. Suka atau tidak, aku tetap akan meminta pertanggungjawabanmu atas janin ini," ancam Siska lalu membanting kasar pintu kamarnya.****Hanna menatap sebuah rumah dari balik kaca mobilnya. Sebuah rumah sederhana yang tampak begitu asri dengan beberapa tanaman hias dan bunga yang beraneka warna.Tang
"Apa kedatanganmu ke sini ada hubungannya dengan Aldo dan ibunya?" Tanya lelaki bernama Ridwan itu lalu menyandarkan punggungnya."Iya pak, saya kesini memang ada hubungannya dengan Mas Aldo." Jawab Hanna sambil mengangguk perlahan, tak ia pungkiri, rasa sungkan itu ada."Maaf, jika kedatangan saya ke sini mengganggu," lanjut Hanna.Lelaki itu menggeleng lalu kembali tersenyum. Membuat Hanna sedikit lega."Tak perlu sungkan begitu, bapak tahu, suatu saat hari seperti ini pasti akan datang, karena tak selamanya sebuah rahasia akan tersimpan," sahutnya."Emm, apa Aldo sudah mengetahui semuanya?" Lanjutnya bertanya.Hanna menggeleng lemah, sorot matanya nampak begitu sendu."Tidak pak, Mas Aldo belum mengetahuinya, saya pun baru mengetahui hal ini enam bulan yang lalu, ketika ibu meminta saya menemuinya. Tepatnya, sekitar dua bulan sebelum kematiannya," jawab Hanna."Ibu memohon pada saya untuk menyerahkan amplop ini pada Mas Aldo setelah ia meninggal. Namun, berhubung ada sesuatu hal, s
"Iya pak, wanita itu sedang mengandung anaknya Mas Aldo, karena itu saya memutuskan untuk menyerah, saya bisa menerima apapun kekurangan Mas Aldo tapi tidak dengan pengkhianatan." Ucap Hanna lembut namun tegas.Ridwan terdiam, pandangan matanya nampak sulit untuk diartikan, guratan di dahi wajahnya seakan menceritakan betapa banyak pengalaman hidupnya, tak lama bibirnya bergumam. Mengucap sebuah nama."Marina!"Hanna kembali diam. Mencoba mengatur nafas yang terasa sesak karena teringat akan pengkhianatan suaminya. Tak lama ia menatap lelaki paruh baya di hadapannya yang masih asyik dengan pikirannya sendiri.Lelaki yang duduk di hadapannya tak lain adalah Ridwan, mertua laki lakinya, yang memilih menghabiskan sisa usianya di kampung halamannya, Bogor, setelah tak bekerja lagi di sebuah pabrik pembuatan sparepart di daerah Bekasi.Sebelum menikah, Hanna sudah mengetahui jika hubungan Aldo dan ayahnya tidak begitu baik. Aldo menyalahkan ayahnya yang membiarkan saja ibunya pergi dari ru
Flashback 2"Jika ada waktu mainlah ke klinikku, aku pasti akan mentraktirmu makan," pamit Reza sambil melambaikan tangan sesaat pada Hanna."Bye Hanna."Mereka berpisah, Reza menuju ke sebuah hall untuk menghadiri sebuah pertemuan, sedangkan Hanna melangkah ke sebuah kamar deluxe room yang terletak di lantai tiga hotel ini.Hanna berhenti sejenak didepan pintu,mengatur nafas, merapikan sebentar pakaian dan rambut dengan jemari tangannya. Tak lama, pintu kamar itu diketuknya perlahan.Seorang wanita berwajah pucat, bertubuh kurus dengan matanya yang cekung, langsung tersenyum dan memeluk, menyambut kedatangannya dengan ramah.Wanita itu bernama Marina yang tak lain adalah ibu mertua Hanna."Hanna!" Panggilnya pelan."Iya bu, maaf agak terlambat, tadi tak sengaja bertemu dengan seorang teman lama di lobby bawah," tutur Hanna."Tak apa, ayo masuk sayang." Ajak Marina lalu menarik lengan Hanna.Hanna mengangguk dan pasrah mengikuti ajakan Marina, ibu mertuanya itu, tak lama, mereka berd
"Akan kulakukan apapun sebisaku untuk membantu," ujar Hanna berharap kalimat itu bisa sedikit menenangkan ibu mertuanya.Marina mengulas senyum tipis."Hanna, ibu memiliki sebuah dosa masa lalu, yang membuat ibu memiliki rasa bersalah yang begitu besar pada Aldo dan ayahnya," lirih Marina mengatakannya, tak lama isakan pelan terdengar dari bibirnya membuat Hanna langsung memeluknya.Pelukan hangat yang di berikan Hanna, membuat Marina kembali tenang. Sentuhan lembut tangan Hanna dipunggung Marina seakan memberikan keyakinan jika ia tidak salah meminta bantuan pada menantunya itu."Hanna tolong ambilkan tas itu," tunjuk Marina pada tas tangan berwarna coklat yang tergeletak di ujung ranjang.Mendengar permintaan Marina, ekor matanya mengikuti arah telunjuknya. Tak butuh waktu lama, tas itu kini sudah ada dalam genggaman tangan Hanna."Bukalah tas itu dan ambil amplop yang ada didalamnya," pinta Marina yang langsung di iyakan Hanna.Sebuah amplop putih berlogo sebuah rumah sakit swasta
Rintik hujan masih mengguyur pagi ini, udara dingin juga terasa menusuk kulit karena hujan semalam turun cukup deras, membuat Aldo memilih untuk tetap bertahan di bawah selimut, meski jarum jam di dinding kamar itu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat.Aldo menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu meraih ponsel yang tergeletak di dekat bantalnya, sekedar untuk mengecek pesan ataupun panggilan telepon yang masuk.Pertemuannya dengan Hanna dua hari yang lalu hanya menyisakan pertengkaran saja. Lelaki itu hanya bisa meraung kesal karena keputusan Hanna untuk bercerai darinya sudah bulat. Hanna bahkan tidak takut dengan ancaman yang dilontarkanya, membuat pikirannya semakin tak menentu."Aku tidak akan membuat perceraian kita mudah, Hanna," sungutnya setengah berbisik.Emosinya begitu labil beberapa hari belakangan ini. Entahlah, mungkin karena banyaknya masalah yang membelit dan belum ada penyelesaian apapun. Hanna begitu keras dan tegas, seakan keputusan apapun yang sudah diambilnya ti
"Darimana kau tahu aku tinggal di sini?" Jawab Aldo dengan raut wajah kecewa. "Aku bertanya dengan seseorang di kantormu kemarin, ia bilang kau tinggal di sebuah kost kostan daerah sini, lalu aku minta alamatnya," jawabnya santai."Lalu untuk apa kau datang ke sini? Kupikir di hari libur seperti ini bisa beristirahat sepanjang hari di kamar, ternyata ..." Also menyindir wanita di hadapannya. "Kau mengabaikan panggilan telepon dariku, dan tak membalas pesanku. Lalu bagaimana lagi aku bisa bicara denganmu jika tidak mendatangimu ke sini?" Hardik wanita itu."Berhentilah mencariku, Bukankah sudah ku katakan padamu jika hubungan kita sudah berakhir! Siska!" Hardik Aldo keras."Aku hamil anakmu, mas. Kita harus segera menikah." Pinta Siska memohon."Aku tidak berminat untuk menikahimu, kau lupa? Jika sejak awal, kita sudah membuat kesepakatan untuk menjalani hubungan ini tanpa komitmen dan kehamilan?" Ujar Aldo sinis."Persetan dengan kesepakatan itu, aku hanya ingin kita secepatnya meni