Sudah satu jam gerimis membasahi bumi, tampak dedaunan dan rumput yang basah terlihat segar setelah diterpa oleh teriknya matahari yang begitu garang memamerkan cahaya panasnya yang menyilaukan.Udara dingin yang menyapu tengkuk menimbulkan sensasi lain. Ada sedikit gelombang tak nyaman yang dirasakan ketika Hanna melihat dedaunan yang terbang karena diterpa angin. "Dingin!" Hanna berujar pelan.Hanna mengeratkan cardigan yang dipakainya, dengan kedua tangan yang kini memeluk tubuhnya, mencoba mengusir rasa dingin yang dihembuskan.Sudah cukup lama ia duduk di kursi teras depan ini, biasanya ia jarang duduk disini, hanya saja duduk lama di depan layar televisi demi menuntaskan drama Korea kesukaannya membuat matanya terasa begitu lelah.Hanna melirik penunjuk waktu di layar ponselnya. Sudah hampir pukul lima sore, Namun entah mengapa rasanya begitu malas untuk membersihkan diri.Manik mata Hanna kembali memandang lurus pada jalanan komplek didepan. Tampak lalu lalang mobil para tetan
Keesokkan harinya,Pagi pagi sekali Hanna telah rapi dan bersiap. Mengenakan blazer hitam dan sepatu setinggi tujuh centimeter membuatnya terlihat begitu anggun pagi ini.Sengaja hal itu di lakukannya, karena sudah hampir satu minggu ini, ia tidak mengecek bisnisnya. Sidang perceraiannya dan rencana balas dendamnya pada kedua pengkhianat itu, sungguh menguras perhatiannya.Suasana jalanan ibukota masih ramai lancar, setelah melewati empat lampu merah, Hanna membelokkan mobilnya masuk ke arah sebuah kedai kopi miliknya yang bertuliskan Kopi Kenangan di papan namanya."Pagi, Mbak Hanna," sapa seorang pengawainya yang masih mengelap meja."Pagi Rina, "balas Hanna sambil tersenyum.Hanna melangkah menuju ke sebuah ruangan yang ada di balik dinding, sebuah ruangan khusus untuknya. Ada dua meja kerja di sana, satu khusus untuk dirinya dan satu lagi di pakai oleh Putri, seseorang yang ia tunjuk sebagai manager tempat ini."Sepertinya aku datang terlalu cepat," gumam Hanna sambil melirik ke m
Siska memandang kebaya berwarna broken white itu dengan pandangan mata yang berbinar. Tangannya menyentuh lembut kain tulle mutiara itu seakan sudah tidak sabar ingin memakainya.Hatinya bersorak gembira, keinginannya untuk segera menikah dengan Aldo tak akan lama lagi akan menjadi nyata, sungguh wanita itu merasa begitu ingin membagi kebahagiaannya dengan orang lain.Tapi siapa?Satu satunya yang terpikir dalam benaknya adalah Hanna. Entah mengapa, ia terpikir untuk menelepon wanita itu."Kau suka dengan kebaya ini?" Tanya seorang wanita yang sedari tadi melayaninya, seketika berhasil mengalihkan perhatiannya."Oh ya, aku suka desainnya, boleh aku mencobanya sebentar?" Pinta Siska."Silakan, tapi hati hati, mbak." Sahut pelayan wanita itu sambil melepas kebaya pengantin tersebut dari manekin.Siska membawa kebaya tersebut ke sebuah bilik kecil, lalu mengganti pakaiannya. Bibirnya nampak tersenyum karena ukuran kebaya pengantin tersebut sangat pas dan cocok dengan tubuhnya.Sayangnya,
"Tidak, wanita itu tidak boleh hadir ke pernikahan. Aku tidak ingin mengambil resiko. Jika ia hadir, bukan tidak mungkin pernikahanku akan digagalkannya. Lagipula ...." Bibirnya terhenti seakan ada hal yang menahannya untuk bicara. Tak lama, tampak ia memejamkan matanya.Menikah siri, itulah keputusan yang terpaksa disetujuinya. Sungguh, tak pernah sekalipun dalam pikirannya untuk bisa menikah seperti ini. Hanya saja dirinya tidak punya pilihan lain, menunggu hingga akta cerai Aldo di keluarkan pengadilan bisa-bisa perut buncitnya akan terlihat dan lagi, jika terlalu lama ditunda, bukan tidak mungkin Aldo akan melepaskan tanggung jawab pada anak yang sedang di kandungnya saat ini. Karena tidak mungkin baginya untuk terus-menerus mengancam Aldo dengan foto dan video mesum mereka. Terlebih, Siska takut jika suatu saat nanti Aldo mengetahui tentang video editan dan cerita kebohongannya tentang perselingkuhan Hanna.Sungguh, ia tak mau sesuatu hal yang buruk apapun menggagalkan rencana p
Mobil yang di kendarai Hanna melintas cepat di tol Jagorawi, cuaca hari ini yang cerah seakan mendukung niat wanita itu untuk berpergian ke luar kota.Dengan kacamata hitam yang masih terpasang, pandangan mata Hanna fokus memandang kedepan. Sesekali nampak ia berbicara dengan seseorang menggunakan earphone di telinganya Hanna memutuskan untuk berkendara sendiri, tadinya Dina menawarkan diri untuk menemaninya, namun, mendadak ibu mertuanya mengunjunginya, mau tak mau Hanna harus bepergian sendiri. Bukan juga tak ingin ditemani Hanif, Sang paman, namun, saat ini paman dan bibinya itu sedang sibuk menyiapkan acara lamaran putri tunggal mereka. Hanna tidak ingin merepotkan mereka.Setidaknya, meskipun Dina tidak ikut, ia bilang bantuannya yang diminta sudah bergerak lebih dulu. Sebuah bantuan kecil yang ia minta sebelumnya pada Dina."Maaf aku tak bisa menemanimu ke sana, padahal kau tahu aku sangat ingin melihat pertunjukan drama itu, tapi jangan khawatir, bantuan yang kujanjikan padamu
Hembusan angin dingin mulai menusuk kulit, padahal Sang Surya belum meninggalkan singgasananya, tampak diatas, awan hitam menggantung di langit, menghalangi sinar Sang Surya yang membuat sejuk suasana alam pegunungan tersebut.Aldo memandang lurus ke arah bawah, nampak tenang dan syahdu. Gesekan ranting pohon yang tercipta karena tiupan angin seolah membuat melodi yang begitu menenangkan.Pikirannya sejak tadi bermain, rasa gelisah pun seolah enggan beranjak dari dirinya. Dalam diam lelaki itu terus berpikir keras.Tak pernah sekalipun terbersit dalam kepalanya untuk menikahi Siska, gadis yang beberapa bulan lalu mampu memikat perhatiannya. Bukan karena ia tidak lagi mencintai Hanna, hanya saja, apa yang diberikan gadis itu membuatnya ketagihan dan tergila -gila. Terlepas dari kabar perselingkuhan Hanna.Bagi Aldo, Hanna merupakan sosok istri yang ideal, ia cantik, baik, cerdas, dan mandiri. Hanya saja, sikap Hanna yang terlalu mandiri kadang membuatnya seperti tak dibutuhkan.Hanna bi
Mata Aldo membulat ketika melihat wajah istrinya yang sedang mengulas senyum disana, laksana melihat sosok tak kasat mata yang membuat rasa takut seketika melanda. Hal yang juga di rasakan Siska, wanita itu bahkan mengedipkan mata berulang kali demi memastikan apa yang dilihatnya saat ini."Ha-hanna!? Tidak mungkin," ujar Aldo tak percaya."Kok tidak mungkin, mas?" ejek Hanna menyeringai."Ke-napa bisa ada Hanna di sini? Mas, kau bilang jika wanita itu tidak akan datang," Bisik Siska pelan ditelinga Aldo."A-aku juga tidak tahu, lebih baik diamlah!" Balas Aldo pelan.Hanna yang melihat pasangan pengantin baru itu saling berbisik, hanya tersenyum saja menanggapinya.Mendadak suasana hening sesaat. Hampir semua orang yang berada dalam ruangan itu kini memandang Hanna dengan penuh tanya dalam benak mereka, karena melihat tak ada satupun dari mereka yang mempersilakan Hanna masuk membuat ibu Iis, ibunya Siska segera berdiri dan menghampirinya."Nak Hanna, ayo masuk! Akad nikahnya baru saj
"Mas, ibu mertuamu bertanya padaku, apakah kita saling mengenal, menurutmu, apa aku harus menjawabnya?" Hanna melempar pertanyaan itu kepada Aldo.Aldo memilih diam. Sayang keputusan nya yang memilih bungkam. Membuat Hanna sedikit kesal "Mas Aldo dan Hanna adalah teman kuliah, bu. Mereka kuliah di universitas yang sama, jadi mereka memang saling mengenal," jawab Siska gugup."Iya kan mas?!" Siska menyenggol lengan Aldo meminta agar lelaki itu mendukung apa yang baru saja dikatakannya."Ah, I-iya, tentu saja. Aku dan Hanna dulu satu universitas." Sahut Aldo dengan keringat dingin yang mulai mengucur.Mendengar pernyataan itu Hanna terkekeh. Sungguh, ia suka melihat ekspresi pasangan pengantin baru itu yang tampak gugup di sana."Oh, begitu. Wajar saja jika mereka saling mengenal, aku sempat berpikir yang bukan -bukan tadi." Terdengar suara seorang wanita bersuara. Hanna menoleh mencari wanita itu, ia tersenyum ketika mendapati seorang tetangga Siska di sana, mungkin ibu Iis yang meng