Mobil yang di kendarai Hanna melintas cepat di tol Jagorawi, cuaca hari ini yang cerah seakan mendukung niat wanita itu untuk berpergian ke luar kota.Dengan kacamata hitam yang masih terpasang, pandangan mata Hanna fokus memandang kedepan. Sesekali nampak ia berbicara dengan seseorang menggunakan earphone di telinganya Hanna memutuskan untuk berkendara sendiri, tadinya Dina menawarkan diri untuk menemaninya, namun, mendadak ibu mertuanya mengunjunginya, mau tak mau Hanna harus bepergian sendiri. Bukan juga tak ingin ditemani Hanif, Sang paman, namun, saat ini paman dan bibinya itu sedang sibuk menyiapkan acara lamaran putri tunggal mereka. Hanna tidak ingin merepotkan mereka.Setidaknya, meskipun Dina tidak ikut, ia bilang bantuannya yang diminta sudah bergerak lebih dulu. Sebuah bantuan kecil yang ia minta sebelumnya pada Dina."Maaf aku tak bisa menemanimu ke sana, padahal kau tahu aku sangat ingin melihat pertunjukan drama itu, tapi jangan khawatir, bantuan yang kujanjikan padamu
Hembusan angin dingin mulai menusuk kulit, padahal Sang Surya belum meninggalkan singgasananya, tampak diatas, awan hitam menggantung di langit, menghalangi sinar Sang Surya yang membuat sejuk suasana alam pegunungan tersebut.Aldo memandang lurus ke arah bawah, nampak tenang dan syahdu. Gesekan ranting pohon yang tercipta karena tiupan angin seolah membuat melodi yang begitu menenangkan.Pikirannya sejak tadi bermain, rasa gelisah pun seolah enggan beranjak dari dirinya. Dalam diam lelaki itu terus berpikir keras.Tak pernah sekalipun terbersit dalam kepalanya untuk menikahi Siska, gadis yang beberapa bulan lalu mampu memikat perhatiannya. Bukan karena ia tidak lagi mencintai Hanna, hanya saja, apa yang diberikan gadis itu membuatnya ketagihan dan tergila -gila. Terlepas dari kabar perselingkuhan Hanna.Bagi Aldo, Hanna merupakan sosok istri yang ideal, ia cantik, baik, cerdas, dan mandiri. Hanya saja, sikap Hanna yang terlalu mandiri kadang membuatnya seperti tak dibutuhkan.Hanna bi
Mata Aldo membulat ketika melihat wajah istrinya yang sedang mengulas senyum disana, laksana melihat sosok tak kasat mata yang membuat rasa takut seketika melanda. Hal yang juga di rasakan Siska, wanita itu bahkan mengedipkan mata berulang kali demi memastikan apa yang dilihatnya saat ini."Ha-hanna!? Tidak mungkin," ujar Aldo tak percaya."Kok tidak mungkin, mas?" ejek Hanna menyeringai."Ke-napa bisa ada Hanna di sini? Mas, kau bilang jika wanita itu tidak akan datang," Bisik Siska pelan ditelinga Aldo."A-aku juga tidak tahu, lebih baik diamlah!" Balas Aldo pelan.Hanna yang melihat pasangan pengantin baru itu saling berbisik, hanya tersenyum saja menanggapinya.Mendadak suasana hening sesaat. Hampir semua orang yang berada dalam ruangan itu kini memandang Hanna dengan penuh tanya dalam benak mereka, karena melihat tak ada satupun dari mereka yang mempersilakan Hanna masuk membuat ibu Iis, ibunya Siska segera berdiri dan menghampirinya."Nak Hanna, ayo masuk! Akad nikahnya baru saj
"Mas, ibu mertuamu bertanya padaku, apakah kita saling mengenal, menurutmu, apa aku harus menjawabnya?" Hanna melempar pertanyaan itu kepada Aldo.Aldo memilih diam. Sayang keputusan nya yang memilih bungkam. Membuat Hanna sedikit kesal "Mas Aldo dan Hanna adalah teman kuliah, bu. Mereka kuliah di universitas yang sama, jadi mereka memang saling mengenal," jawab Siska gugup."Iya kan mas?!" Siska menyenggol lengan Aldo meminta agar lelaki itu mendukung apa yang baru saja dikatakannya."Ah, I-iya, tentu saja. Aku dan Hanna dulu satu universitas." Sahut Aldo dengan keringat dingin yang mulai mengucur.Mendengar pernyataan itu Hanna terkekeh. Sungguh, ia suka melihat ekspresi pasangan pengantin baru itu yang tampak gugup di sana."Oh, begitu. Wajar saja jika mereka saling mengenal, aku sempat berpikir yang bukan -bukan tadi." Terdengar suara seorang wanita bersuara. Hanna menoleh mencari wanita itu, ia tersenyum ketika mendapati seorang tetangga Siska di sana, mungkin ibu Iis yang meng
Manik mata Iis menatap wajah putrinya dengan kemarahan. Garis keriput wajahnya tampak jelas terlihat. Wanita paruh baya itu begitu emosional saat mengetahui perbuatan putrinya yang begitu rendah.Suara giginya terdengar gemeretak, tangan keriputnya mencengkram lengan Siska begitu erat membuat wanita itu merintih kesakitan."Ibu ... Lepaskan tanganku, sakit!""Sakit kau bilang? Apa kau pernah memikirkan perasaan istri yang suaminya kau rebut, Hah! Rasanya lebih sakit dari ini, Siska!"Mendengar ucapan ibunya, spontan Siska memalingkan wajahnya. Melihat sikap penolakan yang di tunjukkan putrinya, membuat wanita paruh baya itu meraung."Apa kau tidak belajar dari pengalaman yang menimpa keluargamu sendiri. Kau tidak melihat bagaimana sakitnya hati ibu ketika seorang wanita l4cur merebut ayahmu dari sisi kalian?!" Iis berteriak.Melihat emosi ibunya yang mulai tak terkendali, Sari melangkah cepat, memegang lengan ibunya. Dengan lembut gadis remaja itu mengelus punggung ibunya, berharap ke
"Apa kau juga tidak menginginkan kehadiranku di sini, mas?" "Seret saja wanita itu keluar dari sini, mas!" Siska berteriak keras sambil melirik Aldo yang masih bungkam."Berhenti Siska! Jaga sikapmu!" Suara Iis terdengar menggelegar.Melihat pembelaan yang dilakukan Iis untuknya, membuat Hanna tersenyum lalu menghampirinya. Diraihnya tangan keriput itu lalu mengengamnya sebentar."Tidak apa apa bu, Siska hanya terlena sesaat. Terima kasih sudah membelaku," ucap Hanna tulus, lalu melepas genggaman tangannya.Wajah Siska tampak begitu meradang, ingin sekali tangannya mencakar atau menarik tangan Hanna dan menyeretnya keluar dari tempat ini, namun, niatan itu hanya ada dalam kepalanya saja, karena dua orang pengawal yang berdiri siaga di sisi kiri dan kanannya membuat niat tersebut hanya sebatas angan.Pandangannya kini beralih pada Aldo yang masih duduk diam, dengan cepat tangan wanita itu menarik lengan Aldo dan meminta lelaki itu berdiri."Bangun mas, dan usir wanita itu dari sini?"
"Kuberitahu padamu, bahwa uang yang kau pikir adalah pinjaman dari Erick, sebenarnya adalah uangku. Aku meminta bantuannya karena aku yakin kau pasti akan mencari pinjaman uang setelah gagal memerasku.""Kau ingin tahu mengapa aku melakukannya?"Bibir Hanna tersenyum sinis."Karena aku ingin memastikan kau menikahinya sebelum sidang pembacaan putusan kita di pengadilan."Wajah Aldo mengeras ketika mengetahui semua itu, ingin rasanya ia melampiaskan semua kemarahannya saat ini dengan menyeret Hanna keluar dari ruangan itu, namun, saat menyadari tatapan dua pasang mata orang yang mengawalnya, membuat laki laki itu hanya bisa menahan diri."Kau sudah merencanakan semua dan sengaja membuatku menikahinya, mengapa?"Menikahinya adalah hukuman dariku untukmu, mas. Sebentar lagi kau akan tahu alasannya mengapa aku merencanakan semua ini dan memastikan kalian berdua menikah," senyum tipis terlukis di wajah Hanna."Uangmu, apa maksudnya. Mas Aldo mendapat pinjaman uang dari temannya, benar kan
Hembusan angin malam yang lembut dan sejuk seolah ingin menenangkan kemarahan Hanna. Cahaya bulan yang begitu terang di langit pun tak ingin kalah untuk menjadi penunjuk arah.Dengan hati -hati Hanna melangkah menuju mobilnya yang terparkir sekitar seratus meter dari villa. Di iringi dua orang pengawal yang membantunya, mereka bergegas meninggalkan villa."Hati hati melangkah, Mbak Hanna!" Ujar seseorang dari mereka ketika ujung sepatu Hanna hampir membuatnya tersandung."Iya, aku tak apa-apa, terima kasih."Mereka bertiga meneruskan langkah, sesekali nampak Hanna menoleh ke belakang. Seakan merasa ada yang mengikutinya. Namun, itu hanya kecemasannya saja, karena tak seorangpun yang terlihat mengejar mereka.Tinggal sepuluh meter lagi mereka akan tiba. Ada rasa lega di wajah Hanna ketika ia melihat mobilnya terparkir manis di sana. Namun, sedetik kemudian raut wajahnya berubah, ketika melihat seorang lelaki yang bersandar di belakang mobilnya.Lelaki itu menoleh lalu melambaikan tanga