Lilian meminta izin untuk mengikuti Barbara. Kini dia sampai di kamar Barbara dan melihat Barbara hampir sudah selesai mengemas semua barangnya. Lilian menatap wanita itu dengan sangat iba."Barbara, kau yakin akan pergi dari sini? Bagaimana kehidupanmu di luar sana? Mengapa tidak kau katakan saja siapa ayah dari bayi yang kau kandung? Luther pasti akan memaafkanmu.""Tidak semudah itu, Lilian!" sergah Barbara cepat. Matanya terlihat begitu sembab saat itu. "Hal ini tidak semudah yang kau kira. Bukan berarti dengan aku mengaku pada Luther, semua masalah akan selesai! Justru nantinya malah akan menambah masalah baru."Lilian hanya bisa menunduk sedih. Dia sama sekali tak mengerti dan tak mengetahui beban yang dipikul oleh Barbara."Lalu ... ke mana kau akan pergi? Kau akan tinggal bersama ayah dari bayi itu? Apa yang kau butuhkan? Biar aku bisa membantumu!" Lilian bersikeras ingin mengetahui rencana Barbara setelah meninggalkan mansion."Aku tidak tahu. Mungkin aku akan kembali ke apar
Lola awalnya ragu apakah dia harus bercerita atau tidak kepada Jhonatan. Dia khawatir Jhonatan akan terbawa emosi dan bertindak nekat kepada Luther. Tapi karena Jhonatan terus memaksanya untuk menceritakan semua, Lola akhirnya menyerah juga."Apa? Dia melakukan hal itu padamu? Tak kusangka pria itu begitu jahat!" Jhonatan mengomentari dengan menggebu-gebu.Lola kini merasa semakin sedih. Bagaimana pun juga, Luther adalah sosok pria yang sempat dia cintai."Makanya aku memutuskan untuk berpisah dan pergi dari sisinya. Apakah aku terlalu jahat melakukan hal ini terhadapnya?""Tidak! Kau sudah melakukan hal yang tepat. Justru jika kau tetap bertahan di sampingnya, kau akan menderita dan menyesal seumur hidupmu," ujar Jhonatan yang mendukung langkah Lola sekarang."Oh, begitu ya." Lola sedikit tersenyum lega. Meskipun begitu, dia belum merasakan kelegaan sepenuhnya. Ada sisi di mana dia merasa sedih karena harus berpisah dengan Luther.Jhonatan tiba-tiba menyenggol Lola, membuat gadis itu
"Kakak, kau bercanda, 'kan?" Lola sedikit tertawa menanggapi ucapan Jhonatan."Tidak, aku serius, Lola. Kupikir ini adalah hal yang bagus untuk kita sekarang. Tempat ini sudah tidak aman lagi. Ancaman dari Ayah bisa datang kapan saja. Belum lagi mungkin dalam waktu cepat kita bisa terusir dari sini." Jhonatan menjelaskan panjang lebar.Lola kini termenung. Ucapan Jhonatan memang ada benarnya. Selama Noah berkeliaran bebas, pria tua itu pasti akan mudah datang lagi ke Wichita. Bisa jadi dia akan melakukan tindakan yang sama atau mungkin lebih berbahaya lagi untuk ibunya."Jhonatan .... " Anneliese terlihat ragu dengan usul putra sambungnya."Ibu, tidak usah mengkhawatirkan apa pun. Di Singapura, aku sudah memiliki usaha sendiri yang sedang dalam proses ekspansi agar bisa lebih besar. Aku juga memiliki tempat tinggal yang cukup nyaman untuk kita semua," tambah Jhonatan, berusaha meyakinkan ibunya."Kalau kalian pindah ke Singapura, bagaimana dengan nasibku?" Joyce tiba-tiba terlihat pas
"Jho, apa kabarmu?" Lilian memberikan diri menelepon sang pujaan hati setelah sekian lama tidak menghubungi."Hai, Lily. Maaf ya aku jarang menghubungimu. Kau tahu sendiri 'kan jika sejak saat itu aku sibuk merawat ibuku." Jhonatan terdengar menyesal dari ujung telepon.Lilian tetap mencoba untuk tersenyum walaupun sebenarnya hatinya sangat sedih."Tidak apa-apa, Jho. Aku bisa mengerti. Oh iya, apa yang sedang kau lakukan?""Aku sedang mengecek laporan perusahaan. Sejujurnya karena aku untuk sementara tinggal di Amerika, pekerjaanku di Singapura jadi terbengkalai."Lilian cukup terkejut. Dia berpikir jika Jhonatan tinggal di Amerika. Dirinya baru mengetahui perihal Jhonatan yang sebenarnya tinggal di Singapura."Oh, jadi kau selama ini bekerja di Singapura?""Iya. Aku belum pernah menceritakannya ya padamu?"Lilian merutuki kebodohannya. Dia yang salah karena tidak bertanya secara detail mengenai Jhonatan."Belum. Mungkin karena kita belum sempat mengobrol banyak. Umm ... kapan kau ad
Lilian merasakan kehampaan di hatinya semenjak bertemu dengan Jhonatan hari itu. Mereka berpisah dengan akhir yang sudah pasti, yaitu tak akan pernah bisa bersatu. Gadis itu menangis sejadi-jadinya di kamar hotel, meluapkan rasa kecewa."Tuhan, mengapa nasib percintaanku seperti ini?"Walaupun dirinya sudah yakin untuk kembali ke Hungaria, tapi sejujurnya ada sedikit keraguan di sana. Dia takut ibunya menjodohkannya dengan sembarang pria yang tak sesuai dengan kriterianya.Bahkan akhir-akhir ini, ibunya selalu mengirimkan profil laki-laki kandidat jodoh untuk Lilian. Lilian diminta untuk memberikan keputusan secepatnya."Ya ampun, tidak bisakah aku bernapas dulu, Ibu?"Dari sekian banyak profil pria yang akan dijodohkan dengannya, ada satu yang menurutnya cukup masuk ke dalam kriterianya. Pria itu berusia tak terlalu jauh dengannya. Profesinya sebagai seorang model dan pegiat fashion.[Kau memilih dia? Baiklah, Nak. Ibu akan atur pertemuan kalian ya. Kau harus segera kembali. Ibu menu
Barbara terkejut dengan ucapan yang dilontarkan oleh Daniel."Da ... dari mana kau mengetahui soal itu?"Daniel tertawa renyah. "Kau lupa jika aku adalah seorang wartawan? Aku adalah paparazi handal. Mencari informasi mengenaimu tidak sulit untukku."Barbara tak dapat berkata-kata. Padahal dia sudah berusaha menyembunyikan diri serapi mungkin, juga tentang kehamilannya. Salah dirinya karena memutuskan untuk tinggal di apartment lamanya dengan Abby dulu."Jadi ... mengapa kau begitu yakin aku mengandung anakmu? Jangan-jangan ... kau sudah merencanakan semuanya? Iya?"Daniel tersenyum simpul. "Kan sudah kukatakan jika aku akan bertanggung jawab. Aku juga sudah sejak lama menginginkanmu. Syukurlah keberuntungan berpihak padaku sekarang.""Apa maksudmu?" Barbara memandang Daniel dengan tatapan yang sengit."Sepertinya ... kau telah dicampakkan oleh Luther ya?" Daniel sedikit menyindir Barbara.Barbara langsung melotot. Dia tak terima jika dirinya disebut telah dicampakkan oleh Luther. Pad
"Barbara, lebih baik kau mengemasi barangmu. Kita pindah dari sini. Lebih nyaman tinggal di penthouse milikku," ajak Daniel kemudian."Kenapa? Aku nyaman tinggal di sini." Barbara malah balik bertanya.Daniel menyesap minuman dinginnya sejenak. "Iya. Tapi apa kau yakin akan terus tinggal sendirian seperti sekarang? Kau juga pasti tidak memiliki cukup uang untuk bertahan hidup. Makanya kau berupaya mencari pekerjaan."Barbara terasa tertampar di dalam hatinya. Memang benar dia sudah kehabisan uang. Dulu ketika hidupnya masih berjaya, dia sama sekali tidak memikirkan masa depannya sehingga tak memiliki cukup tabungan untuk hidup mandiri.Tiba-tiba, sebuah sentuhan dia rasakan di perutnya. Rupanya Daniel tengah mengusap perutnya yang sudah mulai membuncit."Sebentar lagi usia kandunganmu menginjak empat bulan. Kau harus lebih sering beristirahat di rumah. Makananmu harus terjamin. Agar tumbuh kembang bayi kita nanti bagus."Barbara sebenarnya ingin menolak sentuhan Daniel di perutnya. Me
Luther merasakan hidupnya hancur. Naik turun bagaikan roller coaster dalam waktu yang sekejap. Padahal dia sedang merasakan bahagia, merasakan jatuh cinta lagi. Tapi dengan mudah juga kebahagiaan itu hilang dari dirinya.Lola, gadis yang dia cintai kini pergi entah ke mana. Penyemangat hidupnya telah hilang. Padahal tinggal selangkah lagi baginya untuk merengkuh bahagia. Dia hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk memohon restu agar dapat menikahi Lola dan menjadikan gadis itu sebagai satu-satunya."Lola ... mengapa kau pergi dariku?" desah Luther frustasi.Jeremy yang saat itu sedang ada bersama Luther, menatap pria itu dengan tatapan yang sangat sedih. Dia sudah berusaha untuk melarang bosnya itu agar tidak terlalu banyak minum, namun rupanya larangan Jeremy sama sekali tak digubrisnya."Bos, sudahlah! Jangan minum lagi!" Jeremy merebut gelas wine kosong yang ada di tangan Luther.Luther terlihat tak senang dengan sikap Jeremy. Dia berusaha untuk merebut gelasnya dari tangan J