Bab 146"Halah, kau tak tahu rasanya hidup serba pas-pasan seperti itu. Harusnya kau bersyukur, bisa sekolah dan kuliah ditempat yang bagus, bisa membeli barang apapun yang kauinginkan, dan sekarang kau menyalahkanku setelah semua kenikmatan dan kemewahan itu kau nikmati? Anak bodoh!""Setidaknya ayahku menyayangiku," tegas Erika membela ayah kandungnya."Terserah kau saja, mama sudah tak peduli lagi. Lagipula, ayahmu itu sudah mati, tak ada perlunya lagi untuk dibahas," ketus Tante Nur sambil membuang muka.***Mendengar kalimat yang diucapkan Tante Nur, spontan Erika mendelik tajam pada ibunya, ada rasa tak terima dalam hatinya, membuat tangannya tanpa sadar mengepal.Suasana mendadak kembali hening. Tampak Tante Nur yang masih berdiri angkuh dan memalingkan wajah dari putrinya, seakan menghindari tatapan mata yang dihujamkan Erika padanya, atmosfir ruangan ini masih panas, membuat siapapun yang berada dalam ruangan ini merasa gerah. Kedua pria bertubuh besar yang berada di dekat
"Tuan dan Mbak Aisyah adalah orang baik, entah mengapa mereka bisa mengenal wanita seperti nyonya," lanjut mbok Sum bicara.Aku hanya diam dan memilih tak merespon ucapan mbok Sum. Rasa keterkejutanku masih membuatku belum bisa berpikir jernih."Mengapa?" "Mengapa kau menyalahkan Aisyah untuk perbuatan yang kaulakukan, Tante?" Suara Mas Reyhan terdengar berat, membuatku refleks menoleh padanya.***Ekor mata Tante Nur berpaling menatap Mas Reyhan dengan sorot mata yang sinis. Bibirnya masih tampak seperti menggerutu panjang, entah apa yang diucapkannya.Kulihat Erika yang masih duduk di anak tangga dengan kedua kaki yang menekuk, isakan pelan masih terdengar dari bibirnya, rasa kehilangan masih menyelimutinya.Aku bersandar di sofa, mencoba mencari sedikit ketenangan. Kulirik Mbok Sum yang di sebelahku pun terlihat menatap Erika dengan iba."Mengapa kau menyalahkan Aisyah, tante?" Terdengar Mas Reyhan kembali mengulang pertanyaannya."Aku tidak harus menjawabnya," tolak Tante Nur.Me
"Siapa pria ini?" Tanya Tante Nur."Jangan berpura pura bodoh, tante. Kau begitu sangat mengenal pria ini karena kau yang membayarnya untuk menabrak Aisyah hingga tewas."Ucapan Mas Reyhan membuat tubuhku menggigil dan membeku. Tuhan, apa yang baru saja kudengar ini? Menabrak hingga tewas, jadi Aisyah tidak meninggal karena Kecelakaan seperti yang pernah diceritakan Mas Reyhan padaku?****Tubuhku mematung diam karena tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar, bibirku pun kelu untuk sekedar mengucapkan sebuah kalimat. Kenyataan yang baru saja ku dengar ini membuatku semakin enggan mengasihani adik tiri papa itu.Bukan hanya aku yang merasa kejutan ini terlalu menyakitkan, tapi juga Mbok Sum yang sedari tadi duduk bersama denganku disofa ini juga merasakan hal yang sama . Tak lama, isakan pelan terdengar dari bibirnya yang tertutup rapat oleh kedua tangannya.Nafasku terasa sesak. Pernyataan Mas Reyhan yang menuduh Tante Nur cukup sulit untuk kuterima, Meski rasanya tak ingin me
Bab 149Dengan gugup pria itu mengangguk pelan. Nampak tubuhnya juga gemetar. "Iya, saya mengenalnya," jawabnya perlahan."Dialah wanita yang membayarku untuk menabrak seseorang."Perkataan pria bernama Amran itu membuat Tante Nur melempar tatapan yang begitu tajam padanya.****"Benarkah?" Aku menyipit memandang Tante Nur yang terlihat begitu geram."Tidak, itu tidak benar, pria ini berbohong, aku bahkan tidak mengenalnya, bagaimana mungkin bisa menyuruhnya menabrak Aisyah," Teriak Tante Nur menyanggahnya."Benarkah? Kau yakin tidak sedang berbohong, Tante?" Tanya Mas Reyhan sambil memiringkan kepalanya."Tentu saja tidak!""Bodoh, jika mempercayai ucapan pria itu, tuduhannya sama sekali tidak berdasar. Semua yang dikatakannya adalah bohong," lanjut Tante Nur membela diri.Aku melirik Mbok Sum yang memperhatikan pria itu dengan begitu seksama. Pria bertubuh tinggi, sedikit kurus dengan bola mata yang cekung dan lingkar mata yang agak menghitam itu nampak gugup dan berkeringat dingin
"Apa yang kau katakan? Bukankah Aisyah memang tertabrak?" Suara Tante Nur tampak gugup, meski demikian ia masih saja mempertahankannya kebohongannya.Pertanyaan yang di lontarkan Tante Nur, membuat Mas Reyhan tertawa."Menarik sekali, entah mengapa bicara denganmu membuatku bersemangat, Tante," ujar Mas Reyhan "Baiklah, karena kau yang meminta, maka aku akan membawanya kesini padamu," ucap Mas Reyhan lalu memanggil salah seorang pria berbadan besar yang ada berdiri didekatnya.****"Bang, coba lihat kedepan, apakah ada seorang wanita dan pria sudah menunggu disana.""Terakhir aku menelpon mereka, katanya sedang dalam perjalanan kemari. Kurasa sebentar lagi mereka akan tiba," pinta Mas Reyhan sambil melirik arloji ditangannya."Beres bos. Begitu mereka tiba, akan segera kubawa kesini." Sahut Bang Togar, pria bertubuh besar itu, lalu berbalik meninggalkan ruangan menuju ke halaman depan.Kulihat rahang Mas Reyhan sedikit mengeras. Sanggahan Tante Nur yang menolak mengakui bahwa dirinya
Hentakan ujung sepatu terdengar ramai dan mendekat padanya. Setidaknya ada lebih dari dua orang sedang melangkah kemari, membuat perasaan tak nyaman yang kurasakan sedikit menghilang. Tak lama, Togar dan dua orang yang tidak kukenal masuk kedalam. Semua pandangan kini terfokus pada mereka, kulihat wajah Tante Nur semakin muram. Entahlah. Karena saat ini kulihat tangannya mengepal kuat hingga buku buku-buku jarinya sampai memutih."Terima kasih bang," ujar Mas Reyhan pada pria bertubuh besar dan tegap itu. Beberapa saat kemudian."Siapa mereka?" Aku berbisik pelan. ***Tampak disana berdiri dua orang yang tidak kukenal, seorang pria berbadan tegap berpakaian formal sedang berbicara dengan Mas Reyhan, sedang satunya lagi adalah seorang wanita berpostur sedikit mungil dengan rambut coklat yang di curly.Mataku menyipit mencoba mengingat. Namun, tetap saja aku tak mampu mengingat apapun. Kurasa memang sebelumnya aku belum pernah bertemu dengan mereka berdua.Aku mengalihkan pandanganku
"Ka-karena Alina?" Ucap Tante Nur tak percaya."Iya, karena Alina. Andai kau dan putrimu tidak datang ke kehidupan kami dan mengusik ketenangan rumah tangga yang baru kami bangun, aku tak akan bertindak hingga sejauh ini.""Awalnya aku hanya ingin menyelidikinya siapa pengirim paket teror ke rumah Alina, Namun, semakin dalam aku menyelidikinya, semakin banyak kenyataan lain yang kuketahui, termasuk pertemuanku dengan ibu Tere yang tak sengaja, ketika aku dan Fikri membahas kasus tabrak lari Aisyah di sebuah cafe. Aku tidak menyangka jika ibu Tere mendengar pembicaraan kami dan mengatakan jika dirinya melihat langsung tabrakan waktu itu," jelas Mas Reyhan yang nampak begitu geram.****Kembali aku terhenyak mendengarnya, ucapan Mas Reyhan begitu mengejutkan. Untuk beberapa saat aku merasa jika apa yang ia katakan tadi rasanya begitu manis.Rasanya sulit untuk menyembunyikan wajah yang sedang bersemu ini. Tak heran jika saat ini Mbok Sum menoleh dan tersenyum padaku."Mengapa Tante? Har
"Andai saja Aisyah tidak mengancam mama dan tetap bersikap menjadi gadis yang penurut dan patuh, pasti saat ini ia masih hidup." Ucapan Tante Nur seketika membuat kerongkonganku tercekat. Aku tidak menyangka jika ia benar-benar melakukan kejahatan sebesar itu. Tapi untuk apa ia melenyapkan nyawa Aisyah, bukankah selama sisa hidup gadis itu, Tante Nur seakan telah memberi neraka dunia padanya?Entahlah. Kurasa untuk mendengar alasannya, aku harus menguatkan hati.***Mataku masih fokus memandang sosok wanita paruh baya yang kini duduk berlutut dalam rangkulan putrinya. Ada rasa haru menggelitik hatiku kala melihat mereka berdua yang duduk saling memeluk di sana.Ruangan ini sudah tidak setegang tadi. Itu bisa terlihat dari pengawal Mas Reyhan yang sudah sedikit menurunkan kewaspadaannya. Bahkan pria bernama Togar itu kulihat duduk bersandar di dinding dengan mata yang masih terarah pada momen haru ibu dan anak itu.Tangan Erika mengelus lembut punggung ibunya seakan mengatakan bahwa i