Rumah yang sunyi sudah bukan lagi sebuah hal baru bagi Chiara. Setelah melewati ruang keluarga, gadis manis itu segera mencari presensi ibunya. Sore hari begini biasanya Ambar sedang menonton drama kesayangan mereka, tapi televisi di ruangan yang sebelumnya Chiara lewati dalam keadaan mati. Dan instingnya membawa langkah gadis itu menuju dapur, tempat favorit ke dua bagi sang ibu.Dan tebakannya benar. Ketika sudah sampai di ambang pintu dapur, sosok Ambar terlihat sedang mengiris sesuatu di dekat kompor listrik, membelakanginya. Senyuman gadis itu mengembang, lalu mengucapkan salam."Chia pulang, Ma ....""Selamat datang, Sayang." Ambar hanya menoleh sejenak, sebelum kembali berkutat dengan kegiatannya. Dengan sedikit mengerutkan kening Chiara memutus ruang. Dia berdiri tepat di sisi ibunya, memperhatikan apa yang sedang Ambar kerjakan dengan senyuman tak pudar. "Tumben sibuk sekali, Ma. Masak apa?""Mama membuat sate, makanan kesukaan Nak Nardo."Seakan mendapatkan serangan jantung
Jalanan di kala senja itu terasa cukup lengang. Nardo melajukan mobilnya dengan kecepatan konstan. Ada sosok lain yang duduk pada kursi di sebelahnya, dialah Rendy.Bukan hanya sekali, sudah berkali-kali sahabatnya itu menumpang pulang dengannya jika dia sedang memiliki kendala. Seperti saat ini, motor si asisten sutradara itu sedang masuk bengkel. Daripada harus naik taksi, Rendy memilih untuk pulang bersama sang sutradara. Maklum saja, ia memang sedang berhemat, mengumpulkan dana sebanyak mungkin untuk resepsi pernikahannya."Setelah ini belok ke kiri jangan lupa, rumahku ada 50 meter dari sana." Rendy berucap seraya menunjuk gang masuk rumahnya. Sedangkan Nardo terlihat melirik sinis padanya. "Aku sudah tahu. Kamu kira aku pikun?""Hanya Berjaga-jaga." Rendy menjawab ringan dengan bahu mengedikkan bahu singkat. "Menggalau sepanjang waktu bisa saja membuatmu menjadi pelupa. Jangan marah." Sebelum Nardo menimpali, ia lebih dulu memperingatkan. "Sialan!" dan umpatan adalah opsi kalim
Cuaca yang masih cukup terik sore itu tidak membuat Nardo untuk beranjak dari posisinya. Dengan sebatang rokok yang terselip di celah bibir, pria itu bersandar pada kap mobil hitam miliknya sambil sesekali melihat pada segerombolan mahasiswa dan mahasiswi Nusa Bangsa yang berlalu-lalang tidak jauh darinya. Hingga akhirnya sosok gadis yang dirinya tunggu berhasil tertangkap pandangannya. Nardo melepas sebatang nikotin itu dari mulutnya, mengapitnya di antara jari telunjuk dan jari tengah, lalu mengembuskan asap ke udara sebelum memberikan sebuah senyum manis pada Chiara. Gadis itu berjalan menghampirinya dengan tergesa."Kak Nardo ... cepat sekali sampainya.""Baru sampai beberapa menit yang lalu. Kebetulan lokasi syuting harus lewat jalan ini, jadi sekalian Kakak bisa menjemput kamu," ujar Nardo, menjelaskan hal yang sebenarnya sudah dia sampaikan pada chat pribadi mereka. "Mau langsung pulang?"Bukannya menjawab, tatapan Chiara justru tertuju pada rokok si pria, dahinya mengerut, se
Entah mimpi macam apa yang Chiara dapatkan semalam hingga dia mendapatkan kejutan tak terduga pagi ini. Bayangkan saja, ketika dia baru saja membuka pintu gerbang rumahnya, hal pertama yang menyambut tatapan mata gadis itu adalah presensi Nardo yang berdiri bersandar pada pintu mobilnya. Ya, pria yang berhasil membuat jantungnya berdegup kencang itu ada di sana.Dengan memainkan ponsel ditangan, pria itu tampak begitu rapi dengan kemeja slimfit warna biru yang lengannya terlipat sebatas siku, celana bahan hitam, lengkap dengan sepatu pantofel di kedua kakinya. Ah, jangan lupakan sebuah kacamata hitam yang bertengger manis di atas hidungnya yang bangir. Seakan menyadari kehadirannya, ketika Chiara mendekat, Nardo mengangkat dagu, menyambut kehadiran gadis itu dengan senyum memesona. "Guten morgen," sapa pria itu seraya memasukkan ponselnya pada saku celana, lalu melepas kacamata dan memasukkannya pada saku kemeja."Kak Nardo?" sedikit merasa terkejut karena tidak menduga akan bertemu
Sesampainya di Kampus, Chiara masih saja mengingat momen ketika bersama dengan mantan calon Kakak iparnya tadi. Momen biasa, namun entah kenapa terasa begitu luar biasa baginya. Dia berjalan menuju kelasnya dengan terbengong ria, tangannya berkali-kali menyentuh bibirnya, bibir yang nyaris bersentuhan dengan bibir mantan calon Kakak iparnya. Dia jadi berpikir, andai dirinya tidak bertanya waktu itu, apakah Nardo akan benar-benar menciumnya?Namun, sedetik kemudian kepala gadis itu menggeleng kencang.'Itu tidak mungkin!''Sadarlah, Chia!''Jangan terlalu percaya diri jadi orang!'Ya, Chiara hanya mampu memekik dalam hati.Dan lagi ... kenapa dia justru terkesan mengharapkan ciuman?"Ekhem!" Dan sebuah dehaman kencang membuat Chiara terkejut setengah mati."Eh, kucing!" gadis itu mengumpat secara spontan ketika tatapan matanya menangkap presensi Diana di bangku paling depan di dalam kelas mereka. "Sialan kamu, ya! Bikin kaget saja! Kalau jantungan aku kumat bagaimana, hah?! Mau tangg
Pernahkah kamu merasa sangat ingin bertemu dengan seseorang sampai rasanya susah tidur, bahkan tidak enak makan?Jika iya, berarti apa yang kamu rasa sama persis dengan apa yang Nardo rasakan saat ini. Terhitung sudah tiga hari setelah pertemuan terakhirnya dengan Chiara, mulai detik itu pula pria itu tidak ada hentinya memikirkan gadis itu, entah bagaimana.Awalnya Nardo mengira bahwa hatinya telah mati semenjak kepergian Naomi. Namun, nyatanya dia salah, karena sekarang dia mampu merasakan lagi debarannya, meskipun dengan sekuat tenaga dia menyangkal segala rasa yang mulai tercipta. Dia tidak mungkin jatuh cinta dengan semudah itu, bukan? Apalagi pada Chiara yang notabenenya sudah dia anggap sebagai adik kandung selama dirinya menjalin hubungan asmara dengan Naomi, bertahun lamanya. Handuk putih masih setia membalut bawah pinggangnya. Rambut pirangnya pun masih tampak lembab, sepertinya Nardo baru saja selesai keramas. Dengan handuk lain yang dia gunakan untuk mengeringkan helai r
Sesuai janji, Nardo benar-benar datang menjemput Chiara tepat jam tujuh malam. Pria itu tampil kasual dengan sweater krem yang pas membalut bagian atas tubuhnya, sedangkan celana jeans biru pudar sebagai bawahan. Sepatu converse di kedua kaki pria itu menyempurnakan penampilannya malam ini. Sederhana, namun terlihat begitu istimewa di mata Chiara. Bahkan gadis itu tampak terbengong selama beberapa detik ketika pertama kali melihat Nardo yang sedang meminta izin pada Ambar dan juga Indra ketika akan mengajaknya keluar dengan dalih jalan-jalan. Pria itu tampak begitu sempurna di matanya.Setelah berpamitan mereka pergi ke sebuah Mall besar di pusat kota. Antara kagum dan gugup, Chiara beberapa kali kedapatan memegangi dada. Degup jantungnya terasa tidak pernah normal setiap kali dia berdekatan dengan Nardo akhir-akhir ini.Ini adalah pertama kalinya Chiara jalan-jalan berdua bersama seorang laki-laki—Evan tidak masuk ke dalam hitungan, sebab pemuda itu sudah dia anggap seperti saudarany
"Chia ... sudah pagi, Nak. Cepat turun, bukankah kamu ada kelas pagi hari ini?" tiga ketukan di permukaan pintu kamar Chiara disusul suara lembut si wanita baya terdengar. Ambar berdiri di depan pintu yang masih tertutup rapat itu dengan sabar.Namun, tidak ada sahutan sama sekali. Hal yang mencipta kernyitan dalam di kening wanita itu, pasalnya Chiara tidak biasanya begini, gadis itu selalu menjawab jika dirinya bertanya. Apakah Chiara tidak mendengar suaranya?"Chia?" pintu diketuk lagi. Sekali lagi Ambar mencoba memanggil putrinya, kali ini dengan suara yang lebih keras, berharap agar suaranya sampai di gendang telinga si gadis belia di dalam sana.Yang tidak Ambar ketahui, Chiara sedang tertidur sangat nyenyak di dalam sana. Semalaman dia tidak bisa tidur, dan baru mampu memejamkan mata saat mentari hampir terbit di ufuk timur. Tentu hal yang membuat si gadis tak mampu mendapatkan lelap adalah kejadian tadi malam, peristiwa di mana mantan calon kakak iparnya memberikan ciuman sec