"CUT!" Teriakan nyaring terdengar. Nardo terlihat memejamkan mata lalu meremas rambut pirangnya. Dia merasa kesal kepada para pemain di depannya. Mereka ... entah kenapa seperti memancing emosi pria itu untuk diledakkan sekarang juga. Sungguh, ia benar-benar dibuat stres hari ini."Asataga! Kenapa dialogmu salah-salah terus?! Lebih fokus, dong!" setelah kembali membuka mata, pria itu menatap tajam salah satu aktornya. Amarahnya sudah tidak terbendung lagi sekarang. Dia sedang banyak pikiran, dan semua yang terjadi di lokasi syuting tadi sudah cukup untuk semakin membuat kepalanya berasap.Sebenarnya dia sedang berusaha mengingkari perasaannya sendiri pada Chiara. Dia sengaja menyibukkan diri dengan bekerja tanpa sekali pun menemui ataupun menghubungi gadis itu belakangan ini. Dia merasa bersalah pada Naomi karena menjadi terlalu sering memikirkan adiknya. Ah, urusan asmara memang sangat merepotkan, bahkan kini mengganggu pekerjaannya.Sedangkan orang yang dia tegur hanya mampu menun
Setelah berkali-kali bertanya pada diri sendiri, bertanya pada lubuk hati paling dalam yang dia miliki, pada akhirnya Nardo membulatkan tekadnya untuk menemui Chiara, untuk mengakui perasaannya. Benar apa kata Rendy, dia akan menyesal jika sampai ada lelaki lain yang mendahuluinya untuk memiliki gadis itu. Sungguh, dia tidak akan pernah rela.Nardo tidak tahu kapan persisnya, namun rasa sayang sebagai adik itu memang sudah musnah, hilang sampai nyaris tidak bersisa. Yang ada hanyalah rasa cinta, sebuah rasa ingin memiliki dari seorang pria terhadap wanita.Sambil mengemudi, senyuman pria itu mengurva ketika memeriksa arloji di pergelangan tangan kirinya. Jarum pendek belum menyentuh angka empat sore, dia masih punya kesempatan untuk menjemput gadis itu pulang kuliah. Semoga nasib baik menyertainya hari ini. Dia sudah tidak sanggup lagi menahan perasaan yang dia punya lebih lama lagi.Ketika pintu gerbang Universitas Nusa Bangsa terbuka lebar di depan sana, para mahasiswa dan mahasiswi
Kamar mendiang Naomi tidak berubah sama sekali, selalu bersih dan tertata rapi seperti sedia kala seakan tak pernah ditinggal pergi oleh pemiliknya sebab Chiara dan ibunya memang selalu membersihkan kamar itu setiap hari. Menjaga dan merawat semua barang-barang di dalamnya merupakan sebuah kewajiban, agar kenangan tentang si mendiang tidak akan pernah hilang.Chiara menghela napas panjang di sana, lalu duduk pada pinggiran ranjang. Ada sebuah album foto lama di dalam dekapan tangan gadis itu. Album foto yang berisi segala momen kehidupan Naomi, potret sang mendiang semenjak bayi hingga potret terakhirnya ketika bertunangan.Gadis itu menyentuh potret itu dalam diam dengan senyum terkembang. Kakaknya terlihat begitu cantik di sana, berdiri dengan senyuman menawan sambil menunjukkan cincin di jari manis tangan kiri. Ada sosok Nardo di sisinya. Pria itu tampak menjulang tinggi, memamerkan senyum tipis nan memesona ke arah kamera. Atensi Chiara jatuh pada sosok sang pria. Tanpa sadar jar
Menu makan siang di depannya telah habis tak bersisa, menyisakan secangkir kopi yang isinya tinggal seperempat. Nardo kembali menatap arloji yang melingkari pergelangan tangan kiri, dan embusan napas berat keluar dari mulutnya, entah untuk yang ke berapa kalinya hari ini.'Sial!''Kenapa malamnya lama sekali, sih!'Ya, Nardo tidak sabar menantikan acara makan malam bersama keluarga Chiara nanti malam. Dia ingin berbicara berdua dengan gadis itu secepatnya. Menahan perasaan ternyata rasanya begitu menyiksa, seakan jarum pendek di dalam arlojinya tidak bergerak sama sekali.Dari sisi kanan muncullah sosok Rendy, pria itu baru saja keluar dari toilet. Pria itu geleng-geleng kepala saat lagi-lagi melihat Nardo kedapatan memeriksa arlojinya."Kamu kenapa, Nar? Mentang-mentang jam tangan mahal, kuperhatikan dari tadi kamu sering sekali melihatnya." Setelah berucap, Rendy mendudukkan diri pada kursinya. Mereka memang sedang makan siang bersama di kafe yang letaknya tidak jauh dari lokasi syu
Langkah kaki keduanya seiring sejalan meskipun hening masih mendominasi keadaan, hanya suara gemercik air dari kolam ikan sejauh telinga mereka mampu mendengar. Mereka berjalan santai menuju taman belakang, melewati paving jalan setapak pula lampu-lampu taman yang sedikit redup di sisi kiri dan kanan."Bagaimana kabar kamu, Chia?" tanya Nardo, membuka percakapan."B-baik." Chiara menjawab dengan sedikit terbata, lalu dia balik bertanya. "Kakak sendiri?""Seperti yang kamu lihat." Nardo menoleh sejenak, membuat mereka bertemu pandang beberapa saat. Dan Chiara kembali tersenyum canggung di tempatnya."Kakak terlihat baik.""Yah, hanya sedikit pusing kepala.""K-kenapa?" Chiara mengangkat dagu. Di detik itu juga Nardo menghentikan langkah kaki, menatap mata indah gadis itu dalam-dalam."Kamu."Kedua mata Chiara membola mendengarnya. Jantungnya sudah sangat ricuh di dalam rongga dadanya. "Eh? A-aku?""Kamu menghindari Kakak, jangan kira Kakak tidak merasa.""Ah! I-itu-"Sebelum Chiara sem
Semua terlihat begitu indah kala sedang dimabuk cinta. Senyuman bahagia tidak pernah pudar menghiasi raut jelita Chiara, mengiringi setiap langkahnya menapaki koridor kampus menuju kelasnya di lantai dua. Hati gadis itu serasa diisi berbagai bunga-bunga setiap kali mengingat wajah tampan itu. Iya, wajah Nardo.Jujur saja Chiara masih merasa seperti mimpi saat menyadari jika dirinya sudah tidak jomblo lagi. Dia masih tidak menyangka jika pria berdarah Jerman itu adalah benar kekasihnya sekarang. Ah, dia jadi membayangkan bagaimana rupa anak mereka nanti seandainya mereka menikah. Pastinya mereka akan memiliki putra dan putri yang lucu dan menggemaskan. Iya, kan?Dan setelah pemikiran tersebut terbersit di kepala, langkah gadis itu berhenti mendadak lalu menggeleng kencang dengan wajah merah padam.'Astaga! Pikiranmu kejauhan, Chia!' gadis itu merutuk dalam hati.Namun, hal itu cuma sesaat. Setelahnya senyuman Chiara kembali terkembang. Dia melanjutkan langkahnya memasuki ruang kelas. D
Chiara sudah berdiri di sisi gerbang kampusnya sejak lima menit lalu. Dengan tas selempang yang dia sandang pada salah satu bahu, gadis itu berulang-ulang memeriksa jam tangannya. Dia sedang menunggu Nardo menjemputnya, sesuai janji pria itu tadi pagi.Saat Chiara sekali lagi menoleh ke kiri, akhirnya kedua mata indah gadis itu menemukan mobil milik Sang kekasih sedang melaju, semakin pelan lalu berhenti tidak jauh di depannya. Chiara tersenyum saat melihat kekasihnya itu turun dari mobil kemudian berjalan tergesa menghampirinya. "Maaf, sudah lama menunggu?" tanya Nardo setelah berdiri menjulang tepat di depan Chiara."Tidak kok, Chia baru saja keluar beberapa menit yang lalu." Gadis manis itu membagi senyumnya. Jantungnya ricuh, tapi dia menikmatinya. Dia bahagia."Untuk kamu." Nardo mengukir senyuman lega, lalu menyerahkan sebuah es krim cone yang baru dia beli di minimarket terdekat pada Chiara. "Sebagai permintaan maaf karena sedikit telat.""Permintaan maaf diterima." Chiara mera
Semenjak Nardo menjadi kekasihnya, dunia Chiara semakin terasa berwarna. Pria itu datang memberinya warna pelangi, menghapus kelabu yang menyelubungi hidupnya semenjak kepergian Naomi, kakaknya. Kini, senyum Chiara bukan lagi sebuah topeng untuk menyembunyikan kesedihan, senyuman itu benar-benar tulus dari dalam lubuk hati. Gadis itu benar-benar merasa bahagia.Memang benar, tampan itu relatif. Tapi bagi Chiara, Nardo adalah pria tertampan di seluruh dunia. Tampan paras dan juga hatinya. Sebuah paket komplit yang membuat gadis itu selalu bersyukur karena pria itu adalah miliknya. Dia tidak akan pernah merasa bosan untuk terus menatapinya seperti ini, Nardo semakin terlihat menarik saat sedang serius mengemudi."Nah, sudah sampai ...."Chiara menengok ke kaca pintu di sampingnya, sedikit cemberut saat sadar mobil yang mereka naiki sudah sampai di sisi pagar gedung sekolahnya. "Kenapa cepat sekali?""Nanti kita bisa bertemu lagi, Schnucki." Ah, panggilan baru. Senyuman gadis itu melebar