Takut-takut kami berbalik. Ketika ini berlangsung, pegangan tangan sudah terlepas.Panggilan Nyak Marni sungguh mengagetkan luar biasa.Kulihat Fadlan masih berdiri di atas kursi dengan tangan yang masih menggantung di lampu LED yang kini menyala. Tatapannya lurus, dan jarang sekali mengedip. Bahkam aku hampir tak melihatnya.“I-iya. Ke-napa, Nyak?” tanyaku tergugup.“Elu mau ke mana, sih? Ini tolong, dong ambilin. Panas!” titahnya dengan nada suara agak tinggi.Hah? Lagi? Aku kembali mengalami ini lagi? Rasa gelisah karena merasa hubunganku dengan Vivi ketahuan. Ternyata untuk kedua kalinya selamat.“O-oh, bisa Nyak.” Gegas aku berlari ke arahnya dengan senyum agak terpaksa yang bercampur keringat.Vivi mematri senyum dan duduk di kursi meja makan tak jauh dari sana. Gadis itu juga nampak agak salah tingkah.“Awas panas. Pake ini aja serbet. Anggap aja pengganti sarung anti panas itu. Apalah namanya lupa,” ujar Nyak Marni menyetahkan kain serbet kotak-kotak garis kuning.Kuterima dan
Malam ini terasa hening meski Fadlan sudah kembali pada kehidupanku. Rasanya beda. Biasanya dia selalu rusuh kapanpun dan di manapun. Entah karena dia baru saja kembali ke sini, hingga belum membiasakan diri lagi agar seperti dulu? Ataukah dia terlalu lelah meski hanya sekadar untuk mengobrol?Dari tadi dia terus diam. Dan dalam kesempatan ketika aku mencuri pandang, Fadlan selalu sedang menatapku tajam. Namun, dia pasti segera membuang muka ke lain arah.Hm, semua pikiran-pikiran ini membuat aku gila sampai sulit untuk tidur walau sedari tadi sudah memejamkan mata rapat-rapat.“Gam, udah tidur?”Mata ini refleks terbuka, kepala menoleh ke kanan. Di bawah cahaya tamaram yang terpancar dari lampu tidur berwarna kekuningan aku melihat Fadlan menatapku sembari terbaring.Wajahnya tampak lelah. Lihatlah mata yang merah itu. Maksudku, kenapa dia tidak istirahat?“Mau tidur, tapi susah.” Aku tak bisa berbuat apa-apa selain jujur. Karena sejatinya aku memang kesulitan tidur. “Kamu sendiri k
Suasana pagi ini sudah terasa gersang, tambah gersang lagi ketika kemarahan Fadlan mulai meledak.“Kamu kira aku segila itu? Bunuh diri karena dikhianati? Rugi sekali hidupku.”Aku bisa bernapas lega, ternyata dia tak berniat untuk bunuh diri.Namun, di sini, di tepi jembatan layang dia memandangku jijik.Aku tahu kemarahannya mungkin tak bisa terbendung lagi. Tak terbayang betapa menderitanya semalaman menahan sakit karena ulahku.Lalu, dengan bodoh diri ini terus menunda-nunda untuk bicara tentang hubungan yang kami jalani itu.Akan tetapi, semua terlambat. Aku lebih buruk dari apa pun. Kini yang kuharapkan hanya satu, yaitu semoga Fadlan memaafkanku. Dan aku siap menerima konsekuensi dari semua perbuatanku ini.Entahlah. Sekarang pikiranku kosong.“Maaf, Lan. Maaf.”Aku masih mencoba membujuknya. Namun, sayang semua itu terasa percuma. Dia sama sekali tak menampakkan wajah iba atau ikhlas, malah kilatan marah itu tampak nyata kulihat.Dia mendekatiku, menarik kerah baju ini kuat-ku
Pagi-pagi sekali aku sudah dibuat pusing oleh permasalahan yang kuhadapi. Fadlan telah pergi membawa benci bersamanya dan menaruh luka di hati ini.Ketika bayangan wajahnya mengitari pikiran, jantungku nyeri tidak terkira.Sungguh, aku tak menduga akan sebesar ini dampak buruknya. Lebih dari apa yang aku bayangkan di mana dulu pernah berpikir bahwa Fadlan akan berbesar hati memaafkan dan menerima hubungan kami.Namun, semua berubah menjadi lebih menyeramkan karena aku yang tak jujur dari awal kepadanya. Padahal, kutahu dia begitu mencintai Vivi, bahkan sudah berniat untuk menyatakan cinta pada gadis itu.Lalu, dengan bodoh aku mematahkan rencananya. Menghancurkan setengah dari hidupnya. Membuat dia terluka dengan dalam.Aku bersandar lemas di sandaran kursi teras. Memijat dahi yang terasa pening dan berat. Tak lama setelahnya Vivi muncul terlihat di kejauhan sana, berjalan menuju ke sini.Ini bukan saatnya, kenapa dia harus ke mari?“Bang, Abang berantem sama bang Fadlan? Dia pergi, k
Kuraih jemarinya, berharap bisa sedikit menenangkan. Bukan apa, ini tempat umum. Jujur saja aku agak malu kalau menjadi pusat perhatian lagi, persis seperti tadi.“Abang enggak merasa kalau mencintai kamu itu salah. Cuma, yang salahnya karena dari awal udah janji ke dia mau jagain kamu. Ini justru malah dipacarin. Fadlan nggak marah gimana coba?”Vivi sudah terlihat bisa sedikit menenangkan diri. Dia mulai diam menatap. Sesekali bola matanya memutar ke kanan dan kiri seperti sedang memikirkan sesuatu.“Terus, apa karena bang Fadlan marah, apa abang berpikir buat ninggalin Vivi?” Setelah lama menunggu, yang ia tanyakan adalah soal itu. Meninggalkannya? Aku rasa itu tak mungkin.Kupejam mata, masih memegang tangannya.“Abang nggak pernah berpikir buat ninggalin kamu, Vi. Sekalipun Fadlan marah. Kecuali kamu yang mau. Abang bakal ikhlas.” Aku berkata gamblang.Benar, itu pendapatku. Sebab, sebanyak apa pun aku mencintai Vivi, jika dia ingin pergi dariku tak akan kucegah. Dengan catatan
Baru saja berencana, sudah kacau semua.Aku tak pernah menyangka jika di balik pagar ada nyak Marni. Alhasil, hal yang tak pernah kuharapkan terjadi lagi.Hubungan kami lagi-lagi terbongkar tanpa diduga.Wanita separuh baya yang hanya memakai daster itu menatap kami dengan mata melotot. Hidungnya kembang kempis seolah ia akan meledakkan amarah yang sudah memuncak.“Nyak?!” Aku langsung melepas genggaman tangan ini refleks.“Jawab Agam! Lu cinta—” Ucapannya berakhir menggantung di udara. Mungkin terlalu berat untuk sekadar mengulang kata yang sempat aku katakan pada anaknya.“Nyak, Nyak, enggak gitu,” sela Vivi setelah beberapa saat lalu terdiam. Dirinya segera menghampiri ibunya lebih dekat dan merangkul lengannya.Sementara aku hanya mematung bagai orang paling bodoh di dunia. Bukannya langsung memohon maaf atau berusaha membujuk. Ya, apa pun itu namanya, tapi aku tidak. Malah hanyut dalam keterkejutan sedari tadi.“Enggak gitu gimana?! Lu pikir gue budeg, Vi? Jelas banget gue denger
Aku telah mengecewakan orang-orang yang menyayangiku, dan mereka akhirnya satu-persatu memilih membenci diri ini, lalu pergi meninggalkan tanpa ragu.“Putusin anak gue, dan jangan harap elu bisa masuk ke kehidupan kami lagi. Pergi lu dari sini.”Deg!Aku terpaku ketika akhirnya kata yang amat paling kutakuti keluar juga dari mulut nyak Marni.Pagi ini aku sudah dibuat gila dengan kepergiannya orang-orang yang aku sayang.Apa ini? Mengapa jadi begini?Mengapa mencintai satu perempuan muda saja sampai menghancurkan setengah dari hidupku, juga hidup orang lain?Apakah ini hukuman dari Yang Maha Kuasa karena aku melanggar janji kepada Fadlan? Ataukah ini karma karena aku melanggar janji kepada nyak Marni untuk tidak memacari putrinya?Astagfirullah ... jika ini terjadi sebagai bentuk ujian dari-Mu, hamba ikhlas. Namun, hamba mohon, jangan sampai Fadlan atau nyak Marni terus menutup hatinya dan terus marah sepanjang waktu. Jika berpisah dengan Vivi adalah jalan satu-satunya agar hamba mend
Semesta telah menentang, apakah aku punya hak untuk menyalahkan semua kepada-Nya?Astagfirullah ....Dari sekian banyaknya hal yang membuatku marah, kecewa, sedih, juga menyesal, mengapa aku sampai berfikir untuk menyalahkan Sang Pencipta?Kuhela napas berat, menyesali hal yang baru saja kulakukan.“Bodoh, kamu bodoh, Gam,” gumamku seraya menggusur koper berisi pakaian juga dokumen penting lainnya.“Pergi aja, enggak usah lirik kiri, lirik kanan. Vivi dikurung sama enyak, jangan harap bisa melihatnya,” lanjutku murung.Saat ini diriku masih berdiri tegap di ujung jalan, memerhatikan pagar yang menutup sedih. Aku sedang menunggu angkot di sini.Namun, tak lama pagar terbuka. Aku tak menyangka Vivi keluar dengan membawa ... tas besar? Untuk apa itu semua?Dia berlari ke arahku.“Vivi?!” Refleks diri ini juga menyambut kedatangannya.“Abaang.” Ia merangkul lenganku dengan tangis kecil yang memenuhi telinga.Kutarik kedua bahunya dengan perasaan kaget luar biasa.“Kenapa kamu keluar? Nant