All Chapters of Wonderstruck: Chapter 21 - Chapter 30
281 Chapters
Vertigo [2]
Aku memandang Marco sekilas, tidak yakin dengan kata-kata Levi. Di saat yang sama, Marco juga sedang balas menatapku. Wajah cowok itu tampak memerah, tapi Marco tidak bicara apa-apa. Levi malah menyikut sahabatnya.“Aku minta maaf untuk kejadian minggu lalu,” ucap Marco dengan suara datar. “Hmmm ... aku keterlaluan.”Aku tidak yakin bagaimana cara Levi membuat Marco bersedia datang ke Rumah Borju dan meminta maaf. Aku pun akhirnya duduk di depan kedua tamuku. Saat ini, aku tidak memiliki opsi lain kecuali menjawab permintaan maaf itu dengan kalimat yang baik. Sekeras-kerasnya seorang Nefertiti Kamelia, jika ada yang meminta maaf, hatiku akan lumer dengan mudah. Lagi pula, bukankah seharusnya memang seperti itu?“Aku juga minta maaf,” balasku pelan. Kecanggungan membuatku duduk dengan perasaan tak nyaman. Akan tetapi, aku tetap harus mengapresiasi Marco karena bersedia minta maaf, kan? Terlepas apakah cowok itu melakukannya den
Read more
Rocket Man [1]
Tolong, jangan sampai mengikuti jejakku. Aku adalah contoh nyata bahwa jangan mudah menarik kesimpulan begitu saja tanpa mencari tahu detailnya. Karena bisa saja akan berakhir dengan rasa malu yang membuatmu ingin menghilang selamanya dan pindah ke Planet Namek.Niatku sungguh mulia, berawal dari rasa solidaritas pada istri yang diselingkuhi Marco. Namun aku malah mempermalukan diri sendiri. Apakah usia muda membuat seseorang terlalu gampang mengambil kesimpulan? Entahlah. Tanyakan padaku lima belas atau dua puluh tahun lagi. Mungkin aku bisa memberikan jawaban yang lebih memuaskan.Setelah Marco bergabung dengan teman-temannya dan mendengar Levi mengulangi percakapan kami, cowok itu tersenyum. Hei, ada lesung pipitnya! Ini tergolong kejutan buatku karena tak pernah tahu jika cowok yang lebih sering merengut itu ternyata memiliki dekik di kedua pipinya. Tentu saja Marco tampak lebih menawan karena tambahan sepasang lesung pipit itu. Eh, barusan aku bilang apa? Marco me
Read more
Rocket Man [2]
Aku pun teringat ucapan Cliff saat menjelaskan tentang arti kata “Nefertiti”. Namun, aku memilih tidak mengomentari kata-kata Joyce. Toh, aku sendiri pun belum mengenal Cliff dengan baik. Kami baru bertemu beberapa kali. Oleh karena itu, aku lebih suka bertanya tentang aktivitas Joyce sehari-hari.“Aku masih kuliah juga, Nef. Semester tujuh, jurusan Bahasa Inggris. Tapi nggak di universitas ini. Tadinya males, pengin langsung kerja. Cuma ya gitu, kalau cuma pakai ijazah SMA, nggak banyak pilihan. Yang udah jadi sarjana aja pun banyak yang nganggur.”Itu problem klasik yang sepertinya sudah terlalu sering terdengar, kan? Namun memang fakta di dunia nyata, seperti itu. Tak ada yang bisa membantah bahwa ijazah masih sangat diperlukan untuk melegitimasi bahwa seseorang layak dipekerjakan.“Kalau aku, sejak awal memang pengin jadi bankir,” sahutku saat Joyce bertanya alasanku memilih kuliah di Fakultas Ekonomi.“Kamu t
Read more
Sweetest Devotion [1]
Sore itu, aku terpana berkali-kali saat mendengar potongan cerita tentang Puan Derana. Informasinya berasal dari berbagai sumber, Marco dan ketiga sahabatnya. Bagiku, semua yang berkaitan dengan tempat itu, sungguh mengejutkan. Karena itu, aku tak bisa banyak bicara selama kami berada di sana. Terlalu terkesima hingga kehilangan kata-kata. Aku juga berkali-kali mengingatkan diri sendiri agar tak lagi ceroboh membuat praduga ini-itu. Aku harus lebih mampu menahan komentar di masa depan.“Jadi, apa pendapatmu, Masih yakin kalau Marco itu suami yang tukang selingkuh?” tanya Levi pada suatu kesempatan sambil tertawa terbahak-bahak.Aku merengut ke arahnya. “Itu semua salahmu. Ngomongnya ngaco.”Bukannya merasa bersalah, Levi malah membela diri. “Makanya, lain kali jangan cepat ngambil kesimpulan ya, Nef. Masa iya kamu percaya gitu aja kalau Marco punya harem dan udah punya anak segala, sih?”“Soal harem itu, nggak ter
Read more
Sweetest Devotion [2]
“Kenapa mamamu bisa bikin Puan Derana, Co?” Joyce bertanya. Dia duduk di tengah, diapit olehku dan Cliff. “Hebat, lho. Bisa bikin tempat kayak begini.”Marco tak segera menjawab. Bahkan, aku bisa melihat keengganannya untuk bercerita. Namun, setelah berlalu beberapa detik, cowok itu akhirnya membuka mulut.“Mama pernah ketemu korban pemerkosaan pacarnya sendiri, sampai hamil dan depresi. Si korban ini tetap mempertahankan kehamilannya tapi sayangnya dia meninggal waktu melahirkan. Bayinya juga nggak selamat.” Wajah Marco tampak memucat. “Setelah itu, Mama kepikiran bikin Puan Derana.”Ada banyak pertanyaan yang terasa menusuki kepalaku. Untuk kesekian kalinya, Cliff mengulurkan martabak telur ke arahku. Penganan itu masih berada di dalam kotak karton dan menguarkan aroma yang menggoda indera penciuman. Sayang, kali ini aku kebal. Aku tak merasa tertarik sedikitpun untuk mencobanya. Aku cuma menggeleng sebagai bentu
Read more
Just Friends [1]
Kunjungan ke Puan Derana itu betul-betul memengaruhiku. Kembali ke Rumah Borju, aku baru tertidur setelah lewat tengah malam. Membayangkan orang-orang yang terpaksa tinggal di tempat itu, setelah melewati banyak tragedi, membuatku merinding dan kehilangan kata-kata. Rasa ngeri membayangiku.Efek lainnya, meski aku belum mengenal ibu kandung Marco, tapi aku menaruh hormat pada perempuan itu. Karena memiliki hati yang dipenuhi kasih sayang sehebat itu. Aku juga bersyukur karena tidak harus melewati hidup mengerikan seperti orang-orang di Puan Derana itu. Karena mengimajinasikan seperti apa rasanya pun, aku tak mampu.“Ya Tuhan, Nef,” kata Joyce saat kami berjalan menuju mobil untuk pulang. Tangan kanan gadis itu memeluk lengan kiriku. “Aku ngeri dengar cerita Marco tadi. Hatiku rasanya ikut sakit ngeliat cewek-cewek yang jadi korban itu,” aku Joyce.“Sama! Aku nggak berani bayangin rasanya kayak apa. Apalagi cewek yang hamil tadi. Mas
Read more
Just Friends [2]
“Iya, sih. Cuma, lama-lama aku merasa dia nggak suka sama aku, Nef. Padahal aku udah usaha nunjukin perhatian,” gumam Joyce dengan nada lirih.“Nggak juga. Kalau dia nggak suka, aku yakin Marco nggak bakalan mau capek-capek berbasa-basi,” balasku. Saat itu, aku terkenang lagi pertemuan pertamaku dengan Marco.“Mudah-mudahan aja kamu benar.” Joyce mendesah. “Karena aku hampir merasa ini semua sia-sia. Percuma nunjukin perhatian, Marco kayaknya nggak peduli. Dia baik, sih. Sopan. Tapi ya cuma sebatas itu doang.”Aku tidak benar-benar paham perasaan Joyce karena Marco tidak merespons seperti keinginannya. Maklum, aku belum pernah terlibat dalam untuk urusan asmara. Aku pernah lumayan dekat dengan lawan jenis sebanyak dua kali. Yang pertama saat masih SMA. Kali kedua ketika aku duduk di semester dua. Namun, semua tidak sampai tahap pacaran. Perasaan sukaku telanjur lenyap dalam waktu singkat.“Joyce, aku d
Read more
Eh, Eh, [1]
Jika berkaitan dengan Marco, hubunganku dengannya mungkin pantas diberi label “siapa sangka”. Itu karena ada terlalu banyak kejutan yang tak terduga. Diawali perseteruan yang membuatku masih mual jika mengingatnnya. Detik ini, kami malah bisa disebut berteman. Walau tidak benar-benar akrab.“Cliff bilang, kamu sengaja pindah jurusan supaya bisa total bantu Puan Derana?” Pertanyaan itu sudah lama bergema di kepalaku tapi baru kali ini ada kesempatan untuk bertanya langsung kepada Marco. Cowok itu tampak kaget. Tidak mencolok, sih. Hanya ditandai dengan pupil mata yang melebar.“Nggg ... begitulah kira-kira. Aku nggak nyangka kalau Cliff ngomong soal itu sama kamu.” Marco tersenyum tipis. “Nggak banyak yang tau detail soal ini. Cuma teman-teman dekat doang sama keluarga.”“Itu hal yang menurutku hebat, lho,” pujiku. Ya, pindah jurusan kuliah supaya bisa maksimal membantu orang lain, bukan alasan sepele, k
Read more
Eh, Eh, [2]
Sarannya kurespons dengan tawa kecil. “Nggak perlu. Tenang aja, kamu udah kumaafin. Dan aku sekarang tau alasanmu suka sama Thea. Oke, bisa diterima. Berhubung aku juga pernah kena tipu sama orang yang sama. Saat dia pengin, Thea bisa berubah jadi cewek manis yang menyenangkan.”Marco mengibaskan tangan kanannya. “Udah ya, ini terakhir kali kita bahas masalah itu. Aku beneran malu, tau. Setelah ini, nggak usah ngomongin soal Thea lagi.”Obrolan kami diinterupsi oleh Levi. “Nef, kamu beneran mau nginep di sini?” tanyanya. Cowok itu baru saja menuntaskan perbincangan di telepon dengan orangtuanya. Levi meletakkan gawainya di meja tinggi yang berada di sebelah kanan ranjang. “Nggak apa-apa? Padahal, udah ada Marco. Aku bakalan aman. Nggak ada bahaya sama sekali,” selorohnya.Aku menggeleng. Tawa kecilku pecah karena kata-kata Levi. “Aku tadi udah nelepon ke Rumah Borju. Minta izin sama ibu kos. Kan nggak ada sal
Read more
What's Up? [1]
Aku benar-benar tertidur sambil duduk. Tadinya, Marco mempersilakanku terlelap di sofa bed. Namun, tentu saja kutolak usulnya mentah-mentah. Mustahil aku bisa leluasa membaringkan tubuh di ruang rawat inap itu dengan Marco ada di tempat yang sama dan takkan bisa tidur dengan nyaman. Karena aku perempuan, bukan berarti harus diutamakan.Esok paginya, aku pamit lebih dulu sekitar pukul tujuh pagi. Tepatnya setelah Yuma dan Cliff datang. Hari ini, aku tidak ada kelas. Namun, tadi malam Nike menelepon. Kakakku akan datang hari ini tanpa menyebut jam pastinya. Ini salah satu kebiasaan Nike yang kubenci. Dia terobsesi memberi kejutan pada semua orang. Padahal, aku tak menyukai hal semacam itu.“Yuma, aku udah tau rahasia gelapmu,” godaku setelah berpamitan dengan semua orang. Ekspresi bingung Yuma membuatku tertawa.“Rahasia apa, Nef? Jangan ditelan mentah-mentah semua omongan Levi.”“Kok langsung nuduh Levi, sih? Bisa aja
Read more
PREV
123456
...
29
DMCA.com Protection Status