All Chapters of Mr. Airlangga: Chapter 41 - Chapter 46
46 Chapters
41. Saatnya tiba
 “Mama cuman mau bilang bahwa kamu bisa cerita ke Mama kalau ada apa-apa.” Suara Mama terdengar sangat bijaksana.Aku memang sering bercerita banyak hal ke beliau, termasuk ketika aku lagi bokek tingkat dewa dulu yang berakhir dengan selipan beberapa lembar uang lima puluhan ribu di dompet. Tapi masalah yang ini bagaimana aku bisa mengatakannya ke Mama dan juga Papa, semua jalinan kata yang aku rangkai di otakku selalu kandas. Padahal aku ini penulis, tapi kemampuan merangkai kata sekarang mendadak sirna. Tidak ada kalimat yang sepertinya sesuai untuk memberitahukan kehamilanku.“Iya Ma,” kataku tercekat, berpura-pura sibuk menyendok sayur asem dari dalam mangkuk. Berharap Mama akan berhenti bertingkah bak seorang detektif.*Aku berdiri di depan kamar Mas Rio, dengan ragu-ragu mengetuk pintu. Kakakku ini selalu betah berada di dalam kamar, mengurung diri di dalam zona zen berupa teknologi. Di dalam kamarnya terdapat d
Read more
42. Tekat
Sendok di tangan Mama terjatuh, menimbulkan bunyi gemelincing yang membuat pendengaran terasa nyeri. Mama menatap ke arahku dengan pandangan marah, terkejut dan takut. Semuanya menjadi satu, mulut beliau ternganga.Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Mama terlalu lama apalagi Papa. Aku tidak berani menyaksikan ekspresi wajahnya, dia pasti marah. Oh bukan, marah sepertinya bukan kata yang tepat. Beliau pasti murka.“Hamil?” suara Papa terdengar menggelegar, lebih mencekam dibandingkan suara geledek di musim hujan.Aku mengangguk, menundukkan kepala semakin dalam.“Siapa yang be-. Pacar kamu, siapa pacar kamu. Kenapa dia tidak berani menampakkan batang hidungnya ke sini, seharusnya dia yang memberi tahu dan akan aku pastikan untuk mendapatkan pelajaran!” lanjut Papa lagi, masih murka.“Begini Pa, masalahnya pacar Lusia tidak akan bisa hadir di si—”“Kamu tahu adik kamu hamil?!&rdqu
Read more
43. Cinderella
 Makhluk aneh. Itulah aku sekarang.Tidak mudah menjalani hidup dengan hamil tanpa suami, bahkan di kota sebesar dan secuek Jakarta.Aku kembali ke apartemen, menjalani hidupku di sini, dan perut semakin membesar dengan bertambahnya hari. menegakkan kepala setiap kali bertemu dengan penghuni apartemen lain. Rata-rata mereka melayangkan pandangan risih ke arahku, apalagi ketika tahu bahwa tidak ada laki-laki yang akan menjadi bapak untuk bayi yang sedang berada di dalam perutku.Mas Rio sangat rajin bertandang, dia adalah figur penguat dalam hidupku yang sedang carut marut sekarang. Bagaikan jangkar kapal yang menjaga badanku supaya tidak karam ditengah gemuruh gelombang hidup. Dia selalu menawarkan untuk mengantar setiap jadwal kunjungan ke dokter yang tentu saja aku tolak. Rasanya aneh berkunjung ke dokter kandungan ditemani oleh kakak laki-lakimu, sudah cukup aku hamil diluar nikah, jangan sampai ada yang mengira aku berhubungan sedarah dengan kak
Read more
44. Kram perut?
 “Menurut saya, ini warnanya terlalu terang … terlalu ceria. Saya mau yang sedikit misterius tetapi tampak agung.” Aku mengomentari revisi sampul novel terbaruku.Entah karena semangat hamil, atau kerinduanku terhadap Airlangga yang semakin bertambah semakin hari bukannya semakin berkurang tetapi malah semakin membumbung, aku berhasil menyelesaikan novel terbaruku dalam waktu beberapa bulan. Dengan genre yang agak nyleneh dari cerita yang selalu aku buat dan ketebalan dua kali dari rata-rata novel sebelumnya.Mbak Dila, editorku mengerutkan kening ketika pertama kali membaca naskahku.“Bukan genre yang biasa kamu buat Lus, tapi brilliant!” serunya.Tentu saja brilliant, lha aku yang mengalami sendiri cerita di dalam tulisan itu. Sayangnya aku hanya bisa mengungkapkan itu di dalam hati, sedangkan Mbak Dila aku respon dengan senyuman rendah hati.Tetapi semangat Mbak Dila yang kemarin menyala-nyala dengan i
Read more
45. Rumah sakit
 Cengkeraman kuat ke jok mobil ternyata tidak bisa membantu mengurangi rasa sakit. Seandainya aku bisa menyalurkan rasa sakit ini ke tempat lain. Aku menggeram menahan dorongan kuat dari dalam sana.“Atur napas Lus, masuuuukk … keluar … masuuk … keluar,” kata Mbak Dila mencoba menenangkan.Aku mencoba mengatur napas seiring dengan perkataannya, berharap akan bisa mengurangi sedikit saja rasa sakit ini. Sedikit saja, aku tidak serakah untuk minta semuanya hilang. Tidak berhasil!!Entah karena cengkeraman atau dorongan yang terlalu kuat dari dalam perut, aku merasakan sesuatu yang basah di bawah sana.“Mbaaak …,” erangku.“Ya Lus, sabar. Kita sebentar lagi sampai,” dia menekan klakson dengan kesetanan. Sekarang entah mana yang lebih mengganggu, rasa sakit yang terasa menjalar ke seluruh badan atau suara klakson yang mengalahkan raungan ambulan.“Ada yang basah M
Read more
46. Pangeran kecil
 “Ambil napas Lus, lalu dorong yang kuat … doroooong,” suara Mama memberikan semangat entah untuk keberapa kalinya.Napasku tersengal-sengal, peluh bercucuran mengalahkan orang yang habis mandi keramas. Entah sudah berapa kali aku mencoba mendorong bayi yang masih bandel bergelung nyaman di dalam perutku ini, rupanya dia masih terlalu malas untuk keluar. Beberapa suster dan juga Dokter Astrid yang berada di ruangan ini, tak henti-hentinya memberikan aku semangat. Mereka bagaikan cheerleader yang sedang menyemangati atlit gymnastic, atlitnya adalah aku dan minus adegan gymnastic berjumpalitan di atas papan empuk, aku sedang terbaring setengah duduk dengan kedua kaki mengangkang lebar dan tangan Dokter Astrid yang dengan siap sedia akan menangkap si bayi lucu yang seharusnya sudah keluar sedari tadi.Aku mendorong lagi, sekuat yang aku bisa menimbulkan sensasi mati rasa selama sepersekian detik sebelum digantikan rasa sakit itu lagi. Tubuh
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status