All Chapters of Mr. Airlangga: Chapter 31 - Chapter 40
46 Chapters
31. Terbangun
Aku sedang berada di padang rumput hijau dan sangat luas, Airlangga bersamaku. Tentu saja, dia selalu bersama denganku selama lebih dari satu bulan terakhir. Tidak ada hari yang aku lewatkan tanpa melihat senyum menawan dari wajahnya.Aku meletakkan kepala di atas pahanya, dengan lembut dia mengusap puncak kepalaku. Dunia milik kami berdua, perbedaan ratusan tahun itu tidak ada artinya. Tidak ada artinya ketika kami melewatinya berdua.Ada sesuatu yang hangat dari dalam tubuhku, energi hangat yang membuatku sangat bahagia. Membuat kami berdua bahagia. Airlangga tersenyum, senyum yang akan bisa membuatku melawan badai kehidupan. Tidak ada yang tidak mungkin dengan dia berada di sisiku.Tubuhku terguncang-guncang, sengatan lembut yang hangat menerpa wajahku. Aku menyukai sengatan hangat ini. Lagi-lagi tubuhku terguncang, lebih kencang dari sebelumnnya. Airlangga menghilang, dia tidak ada lagi di sini. Kepalaku tidak lagi terbaring di atas kedua pahanya yang kekar,
Read more
32. Setelah dia pergi
Termangu aku berdiri di depan pintu kamar hotel Airlangga, seperti sedang mengumpulkan keberanian untuk membukanya. Keberanian untuk menghadapi bahwa kamar itu akan kosong, tidak berpenghuni. Walaupun tahu bodoh, di dalam hati aku terus mengemukakan penolakan demi penolakan, memberi alasan kepada diri sendiri bahwa Airlangga hanya pergi sebentar dan dia akan segera kembali. Atau mungkin saat ini dia sedang berada di kamarnya, berjibaku dengan laptop dan buku-buku seperti biasanya, dan akan memberikan senyum lebar begitu dia melihatku.Aku mengeluarkan kartu kunci elektronik dari dalam tas, dengan ragu-ragu menempelkannya ke kunci pintu. Suara klik elektronik yang menandakan kunci terbuka membuatku terlunjak, memegang gagang pintu, aku menghela napas berat sebelum mendorongnya terbuka.Kamar Airlangga tampak rapi, petugas hotel pasti sudah merapikannya tadi pagi. Tempat tidur yang berbalut seperei putih tampak halus tanpa kerutan. Kaus putih yang kemarin dia pakai tampa
Read more
33. Sepi
Aku berdiri termenung begitu memasuki apartemen yang aku tinggalkan selama beberapa hari.Sepi.Apakah memang biasa tempat ini sesunyi ini? Buku-buku pinjaman dari Mas Boy masih tersusun rapi di sudut meja kerjaku, juga beberapa buku yang dibeli Airlangga. Semuanya masih ada di sini, hanya dia yang tidak ada.Aku berjalan memasuki kamar tidur, meninggalkan dua koper kecil yang aku bawa kembali dari Malang di depan pintu. Tidak berminat untuk membukanya, atau mungkin tidak akan pernah ingin membukanya.Merebahkan diri di atas tempat tidur yang pernah menjadi saksi kebersamaanku dengan Airlangga, aroma tubuhnya masih tertinggal di sini, di seperei, di bantal, bahkan mungkin di seluruh ruangan ini. Aku tidak akan pernah bisa melupakannya.Mataku terpejam, mengenang kembali saat-saat ini di sini, pertemuan pertama kami di tengah hujan deras di jalan tol Bandung, pertama kali aku menyadari betapa menawannya senyum Airlangga, persatuan pertama kali kami.
Read more
34. Pramuka Siaga
Mas Rio tidak pernah meninggalkan aku, dia tidur di sofa depan sementara aku meringkuk di dalam kamar yang menurut definisinya sudah berbau apek. Beberapa kali dengan gerakan sangat pelan, seperti slow motion di the Matrix dia mendorong pintu kamarku, mungkin untuk memastikan bahwa aku masih bernapas.Setelah berhari-hari didera tangisan, aku insomnia. Memejamkan mata mendadak menjadi hal yang sangat sulit dilakukan, mataku tetap terbuka, walaupun pikiranku mengelana ke mana-mana, menjelajah setiap detail kebersamaanku dengan Airlangga. I miss him so bad. Sebelum ini aku tidak pernah benar-benar tahu bagaimana rasanya merindukan seseorang.Aku melirik jam digital kecil di meja nakas, sudah jam tiga pagi dan aku belum tidur sedetikpun. Turun dari tempat tidur aku berjalan ke arah ruangan kecil yang aku pergunakan sebagai ruang ganti, membuka laci di mana aku menempatkan baju-baju Airlangga. Semuanya masih tertata rapi, aku menarik salah satu kaus berwara biru g
Read more
35. Interogasi
 Arini dan Inge duduk terpaku di hadapanku dengan raut muka menuntut penjelasan, tentang lingkaran hitam di bawah kedua mataku yang beresiko menjadi permanen, badanku yang sekarang agak mirip dengan anak kekurangan gizi dan pastinya wajahku yang bermuram durja persis seperti tampang penyanyi melankolis di tahun 80an.Menerangkan ke dua anak ini akan menjadi sesi interogasi yang mungkin tidak akan cukup satu malam. Sedikit demi sedikit aku menggeser tempat duduk, berharap bisa melarikan diri sebelum mereka berdua menyadari, walaupun tentu saja itu tidak mungkin.“Jadi si Airlangga itu ninggalin elo?” Arini langsung to the point.“Hush …,” seru Inge, memberikan tatapan memperingatkan ke Arini yang sepertinya tidak dia gubris.Aku diam, memikirkan jawaban tepat yang bisa aku katakan ke dua sahabatku ini. Tentunya aku tidak bisa mengatakan bahwa Airlangga pergi untuk kembali ke jamannya, ke Singosari, ratusan tahun
Read more
36. Pelari kamar mandi
 Menuruti saran Mas Rio, hari ini aku pulang. Setelah keadaan sudah agak membaik, wajah terlihat lebih cerah dan badan mulai memberat setelah nafsu makan yang lebih teratur. Tentunya kakakku yang sekarang menjadi over protective itu tidak mengijinkan aku mengemudikan mobil sendiri, dengan tekun dia menjemput dan aku hanya tinggal duduk manis seperti sedang naik taksi online.Dia tidak pernah menyebut nama Airlangga, atau apapun yang berhubungan dengannya sepertinya takut kalau-kalau itu akan membuatku galau mengharu biru lagi. Aku mengikutinya, walaupun tiada hari tanpa ada Airlangga dalam pikiranku. Aku masih sering tidur dengan memeluk salah satu bajunya, atau sekedar melihat foto-foto yang memang sengaja aku ambil untuk waktu seperti ini, di saat dia sudah pergi.Kedua orang tuaku masih tidak tahu, buat mereka aku jarang pulang karena sedang sibuk bukan karena berhari-hari meringkuk di tempat tidur akibat patah hati.Aku memeluk Mama yang sedang
Read more
37. Kotak Pandora
 Semua serba putih. Plafon, tembok, tirai, lantai, entah kenapa warna putih ini membuat aku tertekan. Terlalu terang, terlalu bersih. Dingin stetoskop bersentuhan dengan kulitku, Ibu dokter yang juga berpakaian putih mendengarkan irama detak jantungku dengan seksama. Berkunjung ke dokter bukan menjadi sesuatu yang aku nanti-nanti, suasana putih bersih ini entah kenapa selalu sukses membikin aku depresi. Termasuk tangan si Ibu dokter yang notabene orang asing dan sekarang dengan semena-mena menekan-nekan perutku, membuatku jengah. Aku tahu dia adalah ahlinya, tapi aku benar-benar tidak mau ada tangan-tangan asing yang meraba-raba tubuhku. Kecuali tangan Airlangga.Si Ibu dokter kembali ke arah meja kerjanya yang lagi-lagi berwarna putih, dengan serta merta aku bangkit dari tempat tidur kecil berlapis kertas panjang sekali pakai, dengan patuh duduk di seberang Ibu dokter, menunggu dia menerangkan pandangan ahlinya.“Semua baik-baik saja,&r
Read more
38. Kehamilan dan kebingungan
 Mas Rio tertegun mendengar tiga kata ucapanku, raut wajahnya bercampur antara syok dan bingung. Dia seperti kehilangan kata-kata, tidak tahu harus merespon bagaimana. Hal sama yang aku rasakan saat ini, tidak tahu bagaimana harus merespon kehamilan yang aku ketahui beberapa jam yang lalu.“Ba—”Mas Rio tidak menerukan perkataannya. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa, aku berhubungan sex dengan Airlangga yang dengan bodohnya kami lakukan tanpa pengaman. Tentu saja aku tidak bisa menyalahkan Airlangga, di jamannya mana ada pengaman, aku yakin dia tidak tahu kondom itu apa. Harusnya aku lebih pintar, bodohnya. Merutuki diri sendiri memang tidak ada guanya saat ini, tetapi hanya itu yang bisa aku lakukan, merutuki diri, karena aku tidak tahu harus berbuat atau merespon apa tentang kehamilan ini.“Kamu sudah memikirkan mau bagaimana?” kata Mas Rio setelah terdiam cukup lama.Aku mendongak ke arahnya den
Read more
39. Pulang
Aku pulang. Kening Mama berkerut ketika melihat koper kecil yang dijinjing Mas Rio, dia memberikan alasan ke Mama bahwa aku sedang kurang sehat dan diam sendirian di apartemen tanpa asupan makanan yang terjamin akan membuat kesehatanku sulit membaik. Alasan yang ada benarnya sebagian. Tentu saja Mama senang dengan kepulanganku, apapun itu alasannya. Melihat anak-anaknya yang sudah besar berkumpul kembali mungkin mengingatkan beliau tentang masa-masa kecil kami. Masa yang sangat dirindukan oleh Mama setelah aku memutuskan untuk hidup mandiri. Walaupun tidak banyak ekspresi di wajah Papa, aku tahu beliau juga sangat bahagia bisa melihat puterinya berlalu lalang di rumah ini. Aku langsung menuju kamar dengan alasan ingin beristirahat, walaupun alasan yang sejujurnya aku tidak berani menatap wajah kedua orang tuaku. Tidak berani membayangkan bagaimana reaksi mereka ketika mereka tahu aku hamil. Untuk saat ini yang bisa aku lakukan adalah menghindar, entah sampai
Read more
40. Mama sang Detektif
 “What?!” respon Arini dan Inge hampir berbarengan diiringi wajah syok dengan mulut melongo membentuk huruf O besar yang berlangsung beberapa lama.Aku menyeruput sisa-sisa orange juice dari dalam gelas untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering. Dua makhluk di hadapanku ini masih belum bangun dari keterkejutan mereka, ini hampir seperti film fantasi di mana pemeran utama yang adalah aku bisa menghentikan waktu, saat ini aku bebas berbuat apapun karena buat kedua temanku waktu sedang berhenti.“Loe … hamil betulan?” Arini masih tidak percaya, seandainya aku tidak betulan hamil tentulah aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia saat ini, tidak perlu memusingkan mau aku apakan makluk mungkin yang sedang bertumbuh di dalam perutku.“Iya,” kataku parau.“Anak Airlangga?” Inge bertanya, aku jawab dengan anggukan lemah.“What the … dia udah ngehami- &helli
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status