All Chapters of Cincin terakhir istriku: Chapter 21 - Chapter 30
81 Chapters
21. Pembuka jalan
Tadir baik berpihak kepada Aya, pertemuannya dengan Sari dan Agung, membuatnya terkejut dengan permintaan kedua orang tua itu. Bahkan, kata-kata itu diucapkan di depan Lilis dan Ening yang begitu haru juga bahagia. “Aya, kami minta kamu tinggal dengan kami, kami akan menyekolahkan kamu untuk ambil kuliah jurusan lain. Kami tidak punya anak lagi setelah kepergian Jovanka, kami sangat terpukul saat itu hingga tidak memikirkan ingin memiliki keturunan lagi. Dan sepertinya, ini takdir kita untuk bertemu. Anggap kami orang tua angkat kamu, Aya, kami berdua paham kondisi kamu dan juga, kami tidak akan meminta pamrih. Kamu bisa lihat, suami saya dan saya sudah masuk usia senja. Kami berdua pensiunan PNS, tetapi, memang kami memiliki bisnis hotel dan restoran konsep keluarga. Bukan sepenuhnya milik kami, kami join bersama beberapa kolega, kami lelah, ingin ada seseorang yang bisa meneruskan usaha itu.” Sari menyudahi kata-katanya karena
Read more
22. Arisan berujung adu mulut
Wanita mana yang tak suka dengan kegiatan arisan, kegiatan yang mampu menunjukkan keakbraban juga saling tau informasi terkait cerita kehidupan masing-masing anggotanya. Bunda sudah begitu mempersiapkan diri, bahkan, ia sudah berada di salon sejak pukul Sembilan pagi, padahal arisan dimulai pukul sebelas siang. Ia sudah duduk tenang sembari menunggu mekapnya selesai dipoles pada wajahnya oleh seseorang yang sudah menjadi langganannya di salon mewah itu. “Arisan di mana Bu Arinda?” tanya wanita itu. “Di kafe timur tengah, yang di dekat apartemen mewah itu,” jawab Bunda yang beranama Arinda. “Ini arisan yang mana, Bu? Berlian, barang mewah, dollar atau—“ “Properti.” Jawabnya santai. “Rumah atau apartemen?” tanya mekap artis itu. “Rumah, seharga delapan ratus juta.” Ucapnya santai. Mek
Read more
23. Hukuman seumur hidup dari Rangga
Mita menghidangkan makan malam yang dimasak pembantu, catat, pembantu, bukan dia yang di elu-elukan Arinda saat arisan saat itu. Jangankan memasak, sekedar membuat mie instan saja ia tak bisa. Mita tipikal anak manja, egois, dan tak mau repot, selalu merengeh dan mau semua keinginannya terpenuhi.“Rangga, cobain, tadi Bibi masak ikan asam manis ini,” ujar Mita mencoba melayani Rangga yang justru beranjak dan memilih pergi untuk makan diluar rumah. Mita diam, ia menatap nanar punggung tegap suaminya yang pergi.Malam semakin larut, waktu menunjukkan hampir tengah malam, Mita sudah berada di kamar yang ditempati Rangga, berharap suaminya itu akan terkejut dengan pakaian minim yang ia kenakan malam itu. Ia sengaja tak tidur sebelum Rangga pulang. Terdengar pintu kamar terbuka, Rangga menatap datar tanpa rasa terkejut saat melihat Mita dengan penampilannya yang mencoba menggoda dirinya.“Rangga, kita belum… mmm…” Mita cukup malu
Read more
24. Mengabaikan
Rangga menepati janjinya, rasa sakit hati, sedih, dan kecewa menjadikan hatinya semakin membatu dan sikapnya pun sedingin kutub es. Ia memang tak pernah pergi dari rumah lagi, atau sekedar duduk di club atau bar bersama beberapa temannya hanya untuk berbincang. Setelah bekerja, ia tak langsung pulang, memilih duduk santai di ruangannya, merenungi sikap bodohnya yang meninggalkan Aya saat itu karena takut dengan ancaman bunda. Setiap malam, tepatnya pukul sembilan, barulah ia beranjak untuk pulang ke rumah.Tiba di rumah, ia juga langsung menuju ke kamarnya. Makanan bibi antar ke kamar juga. Tak sudi berada satu meja dengan Mita yang memilih di rumah saja dengan alasan jika itu tugas utama istri. Masa bodoh, Rangga tak peduli hal itu.“Aku hamil.” ucap Mita seraya menyerahkan amplop putih ke atas meja di hadapan Rangga yang sedang menikmati sarapan paginya, masakan bibi, bukan Mita yang selalu tak ingin ke dapur.Rangga bergeming, ia makan sembari men
Read more
25. Faraya Cempaka
Wanita itu berjalan masuk ke area kampus tempatnya mengemban ilmu jurusan bisnis. Jurusan yang bukan jalurnya sama sekali, tetapi karena ia sudah berjanji kepada Sari dan Agung, ia mantap terjun ke dunia yang sama sekali tak ia ingin sentuh sebelumnya.Jemari tangannya mengarah ke papan pengumuman mahasiswi yang lolos mengikuti seminar bisnis. Namanya muncul menjadi salah satu peserta. Ia akan terbang ke Singapura, menghadiri seminar itu, perwakilan dari kampusnya bersama enam orang lainnya dan dua dosen wanita.Dua tahun sudah ia mengenyam pendidikan di sana. Ia melupakan masa lalu juga cerita kelamnya, dan fokus menata hidupnya lagi. Setiap bulan, ia mengirimkan uang untuk kedua orang tua dan Jani, adiknya yang kini sudah masuk SMK jurusan tata busana. Sari dan Agung bahkan sudah pernah Aya ajak ke kampong halaman. Bertemu serta menjelaskan tujuan mengapa mereka ingin mengangkat Aya menjadi anaknya.Selama kurun waktu itu, Aya perlahan mampu melawan rasa getir
Read more
26. Waktu terbuang
5 tahun kemudian.Rangga duduk di meja makan, menatap putranya yang kini sudah masuk TK, tangannya mengusap kepala bocah yang wajahnya mirip sekali dengannya. Di samping bocah itu, duduk Mita yang sedang menyiapkan bekal makanan untuk putra mereka – Sean – yang mengunyak macaroni keju sebagai menu sarapannya.“Pa,” panggi Sean.“Hm?” jawab Rangga.“Papa sama Mama, kenapa tidurnya beda kamar? Sean tanya ke temen-temen di sekolah, Papa dan Mama mereka tidur satu kamar?” tatapan bocah itu penuh rasa penasaran. Rangga tak menjawab, hanya tersenyum lalu beranjak.“Papa duluan, Sean, belajar yang serius, ya,” ucap Rangga sembari mengusap kepala Sean.“Papa nggak pamit ke Mama?” tanya bocah itu.“Nggak perlu.” Jawab Rangga tak acuh. Ia masa bodoh jika anaknya suatu hari akan membencinya karena bersikap mengabaikan Mita – mamanya – karena nantinya
Read more
27. Teguran orang tua Mita
“Kamu pikir, anak saya hanya pajangan dan pelampiasan kamu atas perjodohan ini, Rangga?” tanya wanita yang ia panggil mama, karena ia ibu dari Mita. Rangga masih diam. Ia hanya menatap kelat kedua orang tua Mita, sembari menghela napas, tatapannya datar, bisa dikatakan lebih tak ingin menunjukkan ekpsresi apa pun juga.“Mau mu, apa? Anak saya juga perasaan, dan cucu saya, Sean sudah semakin besar dan mengerti keadaan orang tuanya. Apa kamu nggak bisa, sedikittt… saja mencoba mencintai Mita? Seburuk itukah Mita di mata kamu, Rangga? Lima tahun, bukan waktu sebentar untuk menahan segalanya sendirian.” Kini papa mertuanya yang bicara. Rangga masih menatap lekat, bahkan ia duduk dengan begitu santai.Mita dan Sean tak ikut, mereka di rumah kedua orang tuanya. Ranggang tak bergeming, ia terus menatap bergantian. Membuat kedua orang tua itu merasa salah tingkah sendiri.“Papa dan Mama, saling cinta?” tanya Rangga yang akhirny
Read more
28. Kekecewaan Mita
“Nggak! Sean harus sama Mita,” tolak wnaita itu tegas saat kedua orang tuanya memberikan penjelasan setelah bertemu dengan Rangga. Bahkan, sang papa begitu detil menjelaskan jika Rangga tak akan mencintai putrinya itu.“Mita nggak apa-apa cerai, Pa, tapi jangan pisahin Mita dari Sean,” pintanya dengan mata berkaca-kaca.“Mita, ini bukan selamanya. Rangga hanya mau Sean tidak selalu ada di bawah pengasuhan kamu, kamu juga bisa ikut Papa dan Mama ke Belanda, di sana kamu bisa kerja lagi, dan bangun karir kamu. Rangga juga membolehkan kamu untuk komunikasi setiap saat dengan Sean. Rangga, dia cuma mau kamu kasih dia waktu untuk mendidik Sean supaya tidak menjadi seperti dirinya dikemudian hari.” Papa menatap dengan penuh memohon. Mita sesenggukkan, ia takut jika Rangga mengambil Sean darinya. Ia tahu kesalahannya di lima tahun lalu, tetapi tidak begini caranya.“Mita…, Rangga tidak mau Sean menjadi seperti dirinya ya
Read more
29. Senyuman Rangga dan Sean
Rangga menunggu putranya berjalan keluar dari dalam rumah keluarga Mita, ia tak sudi masuk ke dalam rumah itu, malas bertemu Mita. Bocah lima tahun itu berjalan sembari menyeret satu tas koper sekolahnya bergambar spiderman dan tangan satunya digandeng mama mertua Rangga.Pintu pagar terbuka, Rangga menatap Sean, lalu berjongkok. Putranya tampak bingung dan kaku, tak tahu apakah papanya hanya sekedar memeluk lalu melepaskan lagi atau kali ini justru erat mendekapnya.“Pa,” sapa Sean. Rangga segera menggendong Sean, memeluk erat dengan mata terpejam.“Tinggal sama Papa ya, Sean,” lirihnya.“Papa nggak pulang malam terus, kan?” tanya bocah itu.“Nggak. Sean jangan khawatir,” jawab Pandu. Ia mencium punggung tangan wanita yang sebentar lagi tak menjadi ibu mertuanya.“Jaga Sean, ya Rangga, hati-hati kalian,” tampak kesenduan, namun Rangga segera menjawab dengan anggukan sembari berucap
Read more
30. Muncul dengan sendirinya
Decitan suara sepatu bertemu dengan lantai lapangan basket indoor itu terdengar begitu serahutan. Rangga tampak ngos-ngosan, ia dan Reno sedang bermain basket sekedar membuat tubuh keduanya bugar. Sean terkejut hingga menganga saat melihat papanya selincah dan jago dalam olahraga itu.“Sean, kaget ya, lihat Papanya jago main basket?” senggol Ghania dengan bahunya ke bahu Sean yang duduk di bangku penonton.“Iya. Mama nggak pernah bilang atau cerita, kata Mama, Papa sibuk kerja terus.” Sean menoleh ke Ghania yang tersenyum. Ia tak mau membalas ucapan Sean. Biar itu menjadi urusan Mita yang banyak menutupi hal tentang Rangga.“Yuk! Udah pakai sepatunya, kan, Tante kenalin sama teman-teman seumuran Sean, ya. Ayo kita latihan basket….” Ghania menggandeng tangan Sean yang begitu senang. Rangga dan Reno melihat hal itu dari sisi lapangan lainnya.“Bang, Sean seneng banget diajak ke sini,” ujar Reno.
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status