All Chapters of Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut: Chapter 61 - Chapter 70
98 Chapters
Bab 61: Hati-Hati Qadzf
Aku masih menenangkan degup jantung yang berdetak lebih kencang. Sehingga pertanyaan Lek Titik tak langsung kujawab. Setelah meneguk air dalam botol yang selalu tersedia dalam tas, baru kujawab pertanyaan Lek Titik. “Dari sebelah Lek, nganter bubur ayam.” “Oh, lah kok seperti habis liat hantu. Sudah ketemu sama Ibu … eh … Mbahnya Rohim?” Lek Titik juga masih belum terbiasa atas perubahan statusku dengan kakak perempuannya.               “Belum, Lek. Mungkin lagi di dalam. Saya ndak berani masuk. Tadi buburnya saya taruh di meja tamu,” jelasku sambil menutup botol air. “Oalah … Ayo Lek anter ke sana. Pasti Mbak Yu seneng disambangi cucunya.” Lek Titik menggandeng tangan Rohim dan Rheza. Kuembuskan udara dari mulut. Apa yang terjadi, terjadilah. Lek Titik berjalan menuju
Read more
Bab 62: OTW Nikah
“Kamu kok ngelamun saja, Al. Mikirin apa?” Ibu menegurku. Saat ini aku sedang mengaduk teh hingga tak kusadari sebagian airnya tumpah.               “Ndak ada apa-apa, Buk. Tadi sempat mampir ke Mbahnya Rohim, lihat kondisinya mengenaskan,” jawabku tak sepenuhnya jujur.               “Strokenya belum sembuh?” tegas Ibu.              “Belum, Buk.”               “Ya wislah, didoakan saja. Siapa tahu itu jalan untuk melebur kesalahannya. Juga buat pelajaran bagimu. Kamu kelak ya jadi mertua. Jangan sampai tak bijak menyikapi kesalahan anak.” Ibu mulai melancarkan nasihatnya.  
Read more
Bab 63: Take Off Perdana
Orang-orang terdekatku pasti tahu, Alya Az-Zahra belum pernah naik pesawat sebelumnya. Zaman sekarang, fakta itu mungkin terlihat ndeso. Tapi beginilah denganku. Hari ini, pukul 06.15 WIB, untuk kali pertama sejak 33 tahun, aku datang ke Bandara Juanda bersama sahabat juga sosok yang menawarkan diri menjadi imamku. Tujuan kami adalah Bandara Soekarno-Hatta. Sesuai permintaanku, aku ingin mengenal keluarga calon suami dengan baik. Pengalamanku dulu dengan Mas Wildan tak boleh terulang.               Meski dengan melawan rasa takut, aku tetap berangkat. Apalagi kemarin ada berita pesawat meledak. Jujur, sesaat sebelum masuk ke dalam pesawat usai melakukan pengecekan tiket, data diri, dan menuju gerbang keberangkatan, perasaanku begitu mencekam. Sampai waktu keberangkatan tiba dan semua penumpang dipanggil untuk naik ke pesawat.         &nbs
Read more
Bab 64: Ujian Mantan
Menjelang Magrib kami baru sampai di rumah kembali. Di ruang tamu sudah ada sepasang suami istri yang sedang mengobrol ditemani teh manis dan pisang goreng.               “Al, perkenalkan ini orang tuaku!” ucap Coach Akmal sopan.               Segera kujabat tangan kedua orang tua di hadapanku itu. Mereka tersenyum ramah. Syukurlah. Bayangan mertua yang judes tak kutemui.               “Jam berapa tadi nyampe di sini? Maaf tadi Ibuk masih kerja,” ucap wanita dengan rambut yang mulai memutih itu.               “Jam sembilanan, Buk. Ini loh Buk, calon mantunya. Gimana, cantik enggak?” Coach Akm
Read more
Bab 65: Kabar Suka dan Duka
“Semua mama serahkan sama Kamu, Nak. Karena kamu yang jalanin.” Mama Coach Akmal memandang kami bergantian.               Kalimat terakhirnya itu menunjukkan bahwa beliau tidak otoriter. Jika mau, bisa saja Coach Akmal dipaksa menuruti keinginannya. Pada detik ini, aku seperti –bahkan menggambarkan dengan kata-kata pun aku tak mampu. Bagaimana aku harus mengungkapkannya. Saat kita berhadapan dengan seorang pria, kemudian ada dua wanita yang harus dipilihnya. Salah satu dari wanita itu adalah aku.               Siapa pun yang tak terpilih nanti pasti malu. Ditolak secara personal saja sudah sakit, apalagi jika di depan orang lain. Aku jadi mengasihani diriku sendiri dan Jasmin. Mengapa kami terjebak pada situasi ini? Jika bukan aku yang dipilih, efeknya mungkin tak seberapa. Seba
Read more
Bab 66: Wasiat
“Ibunya Mas Wildan, Mil,” jawabku.              “Innalillahi, kapan?” tanya Mila kembali.“Pagi ini.”              “Innalilahi, gimana? Apa langsung kuantar takziah ke sana?” Coach Akmal sigap menawarkan bantuan.               “Iya, Coach antar saja. Siapa tahu masih bisa ikut menyolati. Enggak apa-apa ya kami ikut?” Ekspresi Mila begitu berharap.               “Baiklah, tapi aku kabari Ibu di rumah dulu, ya. Soalnya tadi pas berangkat aku bilang jam delapanan dah nyampe rumah.”           
Read more
Bab 67: (Bukan) Janda Haniyah
“Maaf Mas, aku sudah ada yang minta. Permisi. Assalamu’alaikum.” Aku segera pergi. Sebelumnya, sekilas kulihat aura kecewa di wajahnya. Maaf, Mas. Semua sudah terlambat. Aku tahu ini pasti tidak mudah bagimu. Aku hanya bisa mendoakan, semoga musibah yang beruntun menimpamu bisa jadi pelajaran.                 Mensyukuri apa yang kita miliki sekarang itu memang sulit, sebab manusia tak pernah merasa puas. Namun, jika kita tahu itu bisa menambah kenikmatan, maka akan tetap dilakukan. Ketamakan, justru akan membuat seseorang terjebak dalam kehausan tak bertepi.   Kuayunkan kaki menuju mobil di pelataran tetangga depan rumah. Beberapa pasang mata menatap kepergianku. Kuanggukan kepala untuk menghargai mereka.                 “Sudah siap pulang?” tanya Coach Akmal yang bersandar di pintu m
Read more
Bab 68: Bimbang
Kali ini kuabaikan pesannya. Pesan dari Mas Wildan benar-benar merusak mood-ku. Kuakui pemahaman ilmu agamanya memang lebih baik dariku, tetapi yang tak kusuka, dalam beberapa hal dia justru memelintir sesuai kehendaknya. Kutunggu saja, apa maksudnya mengajakku membahas hadis itu.   Agar aku kembali fokus ke pekerjaan, maka ponsel kunonkatifkan. Nanti saja pas jam istirahat kuaktifkan kembali paket datanya.   Tepat saat jarum pendek di angka sebelas dan jarum panjang di angka sembilan, ponselku berbunyi. Ada panggilan dari mode telepon biasa. Di layar tertera nama Coach Akmal. Panggilan itu kuangkat. Setelah berbalas salam, dia langsung berkata, “Ada apa W*-nya kok enggak aktif? Aku sedari tadi kirim pesan masih centang satu.”   “Iya, kumatiin paket datanya, Coach.” “Kenapa?” “Biar fokus kerja. Tar balesin chat saja kalo enggak gitu,” jawabku asal. “Emang ch
Read more
Bab 69: Planning Honey Moon
“A-apa yang membuatmu berubah pikiran, Al?” tanya Coach Akmal gelagapan.   Sementara itu, masih kupandangi bunga krisan ungu di meja sebelah. “Sepertinya aku masih butuh waktu untuk sendiri, Coach,” sahutku tanpa memandangnya.   “Aku yakin bukan itu alasanmu, Al. Apa kamu takut jika menikah dalam waktu dekat lantas aku akan mengambil banyak waktumu bersama anak-anak?”   Aku kini menunduk. Tak sanggup menatap wajah Coach Akmal. Dari suaranya saja terdengar ada amarah dan kecewa.   “Eh … masih ngobrol saja. Ayo dimakan dulu ini! Nanti keburu dingin enggak enak loh.” Dini memang sangat tanggap mencairkan ketegangan.   Kuambil sepiring gado-gado yang sudah kupesan. Bukan karena aku lapar. Hanya untuk mengalihkan pembicaraan dengan Coach Akmal. Aku tahu dia bukan laki-laki bodoh. Jelas dia paham apa yang melatarbelakangi ucapanku tadi.  
Read more
Bab 70: Sebar Undangan
Hari H pernikahan tinggal seminggu lagi. Acara lamaran rencananya akan dilakukan sejam sebelum akad nikah. Ini untuk menghemat waktu karena jarak rumah keluarga Coach Akmal cukup jauh. Cincin pernikahan dan seperangkat hantaran lamaran sudah disiapkan. Undangan resepsi pun sebagian sudah disebarkan.   Awalnya aku mengingnkan acara resepsi yang sederhana saja. Sebab diri ini sudah janda. Malu rasanya jika harus dipajang di pelaminan. Cukup mendirikan tenda di rumah. Namun, setelah di-list, tamu undangan membludak. Sebab Coach Akmal menghendaki seluruh kenalannya yang dekat daerah sini diundang. Sampai ke tataran tukang dan kuli bangunan yang menggarap proyek perumahannya juga masuk daftar undangan. Khusus untuk mereka, Coach Akmal juga membelikan kemeja untuk dipakai ke acara resepsi. Pertimbangannya dia menginginkan berbagi hari bahagia. Ada pesan khusus untuk para pegawainya itu, di undangan diberi keterangan tidak menerima s
Read more
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status