All Chapters of Secret of Five Gods (Princess of the Black Blood): Chapter 101 - Chapter 110
136 Chapters
Act. 100. Sebuah Kisah (2)
Agenda pertemuan sudah selesai tepat sepuluh menit yang lalu, tetapi semua peserta sangat betah duduk di bangkunya masing-masing sembari sibuk dengan catatannya masing-masing. "Bagaimana kita sudahi saja?" ucap Cerberus yang mulai jenuh menunggu. Pasalnya, ia memang tidak mencatat apa pun. Dragon tidak memberinya tugas yang harus sampai ia catat karena tidak ada yang berbeda dari tugas-tugas dia sebelum ini. "Silakan kau duluan, Cerberus. Aku masih memiliki hal-hal yang harus kucatatkan dalam kertas-kertas ini," ucap Phoenix kembali tenggelam dalam tumpukan kertasnya. "Kita sudah tiga hari menggelar pertemuan ini. Apa kalian tidak bosan, huh?" "Bagaimana aku bisa bosan bila pekerjaan ini terlalu menyita waktuku?" Kali ini Kraken ikut menimpali.
Read more
Act. 101. Kejutan!!!
Anastazja terdiam menelan ludah. Mendengar cerita Helio barusan, rasanya seolah Anastazjalah yang berperan sebagai Cerberus di sana. Entah karena ia pernah menemuinya, atau karena ia adalah salah satu klan Alastor, klan asal Cerberus. Tubuhnya terus menegang tiap kali Helio menyebut nama Cerberus dari bibirnya. Entah apa alasannya, tetapi ia merasa ada sedikit rasa marah yang terpendam dari Helio. Setitik amarah yang tidak bisa Helio sembunyikan dari kedua mata Anastazja. Anastazja merasa penasaran. Apa yang membuat Helio si Manusia Santai begitu marah? Apa memang ini ada hubungannya dengan Cerberus? Kalau begitu, semua kekacauan yang terjadi, termasuk Black Blood adalah ulah Cerberus sendiri? "Kau ...," potong Anastazja ragu-ragu. Namun, Helio segera menghentikan bicaranya dan mendengarkan Anastazja.
Read more
Act. 102. Dua Orang Kakak-beradik (2)
Mengetahui Cesar memasuki kamarnya tiba-tiba, Cleon segera menutup buku bersampul hijau yang hampir selesai dibacanya selama sebulan ini. Wajah Cesar menyorotkan api kemarahan. Sama seperti kali terakhir mereka bertemu. Wajahnya menghitam seolah hangus oleh kobaran amarah. "Ada apa gerangan engkau kemari wahai Kakak?" ucap Cleon mendramatisir keadaan. Kedua mata Cesar melotot. Mengisyaratkan bahwa rencananya untuk memboikot penobatan Cleon gagal. Tentu saja! Karena Cleon telah mengirim Vahmir untuk menyelesaikan segalanya. Apa Cesar pikir Cleon hanya berpangku tangan? Ha! Jangan mimpi! Mulai sekarang dan selanjutnya, Cleon tidak akan lagi diam jika diinjak-injak olehnya. Dia telah memupuskan segala harap dan doa akan keakrabannya dengan sang kakak. Namun, sepertinya sang kakak tidak begitu senang memil
Read more
Act. 103. Pembawa Sial
"IBUUU!!!" Cleon terbangun dengan sentakan kuat. Seolah ia bermimpi terjatuh dari tempat yang tinggi. Ia mendudukkan dirinya bersandar pada kepala tempat tidur. Napasnya terengah-engah. Bajunya basah dengan keringat. Namun, ia merasakan kehangatan sentuhan tangan seseorang pada telapak tangan kirinya. Ketika menoleh, ia dapati Aldephie tertidur di sana. Sesaat dia mencerna terlebih dahulu sebelum bertanya pada Aldephie. Atau lebih tepatnya, ia tidak tega membangunkan gadis itu. Namun, tak lama ia sadar sepenuhnya begitu rasa nyeri di pipinya seolah meningkat. Cleon refleks memegangi pipi kanan yang ternyata sudah diolesi obat oleh Aldephie. Gadis itu bahkan merawatnya dengan benar-benar baik hingga memarnya tidak terasa sakit seperti awal. Mungkin karena Cesar membahas Ibu, aku jadi bermimpi tentang Ibu, ungkap Cle
Read more
Act. 104. Generasi Pertama
Pada akhirnya, pembicaraan antara Anastazja dan Helio saat makan malam terhenti. Anastazja yang kehilangan selera makan, memilih untuk tidak melanjutkan dan berlari ke kamarnya. Meninggalkan Helio yang mematung sendirian di sana. "DASAR HELIO JELEEK!! JELEEKK!!" jerit Anastazja dari balik bantalnya. Tangannya aktif memukul-mukul bantal. Membayangkan wajah bodoh Helio dengan apa yang dilakukannya barusan sungguhlah menyebalkan baginya. Anastazja membalik tubuh, lalu memeluk bantal yang sedari tadi menjadi korban dari ganasnya kemarahan Anastazja. Menatap langit-langit kamar yang putih bersih seolah laba-laba pun merasa malu untuk membangun sarangnya di sana. Sesaat, Anastazja mengagumi ruangan bersih yang tidak pernah benar-benar ia pehatikan sebelumnya. Apa mungkin Helio selalu membersihkan ruangan ini?
Read more
Act. 105. Sean Alastor
Ramirez berlari secepat mungkin begitu mendengar suara benda jatuh dan pecah dari kamar Sean. Namun, setibanya di sana ia melihat Sean sudah tersungkur tepat di sebelah kaki meja. Kursi kerja yang begitu ia banggakan pun berada dalam posisi tidak semestinya. Sepertinya ia terjatuh dari kursinya begitu saja. "Sean!" panggil Ramirez berlari mendekat sesaat setelah memasuki ruang kerja Sean. Ramirez cepat membalik tubuh Sean yang tertelungkup dan menyandarkan kepala Sean pada lengannya. Wajahnya pucat, bibirnya mengeluarkan darah. Ramirez kembali memperhatikan meja dan tempat Sean terjatuh. Benar, Sean kembali batuk darah. Sigap, Ramirez langsung meletakkan kepala Sean yang pingsan kembali ke lantai dengan perlahan, lalu berkeliling membuka laci demi laci, kotak demi kotak hanya untuk menemukan obat milik Sean.
Read more
Act. 106. Sean Alastor (2)
Sean POV "Lebih baik aku mati daripada harus membantumu!" Entah sudah berapa juta penolakan yang kudapat dari orang sekitar selama aku memulai hidup hingga saat ini. Bagiku, penolakan bukan lagi sesuatu yang bisa mengoyak hati. Aku tidak tahu bagaimana pendapatnya mengenaiku, yang aku tahu, aku hanya bisa menatap lelaki di balik jeruji dalam diam. Sejak dulu, orang-orang selalu menyalahartikan diamku sebagai sesuatu yang menakutkan, tidak terkecuali dengannya. Kulihat, ia begitu takut menatap mataku dari balik jeruji besi dengan ketebalan tidak sampai dua sentimeter. Kenapa aku tahu? Karena aku sendiri yang merancangnya. Lelaki yang pernah mengisi masa kanak-kanak dengan bermain dan tertawa bahagia bersamaku. Lelaki yang menjadi orang p
Read more
Act. 107. Sean Alastor (Akhir)
Sean POV Aku tidak tahu, apakah alam turut berduka dengan kematian Ayah atau hanya bersimpati padaku dan Ibu? Pemakaman Ayah diiringi oleh rintik-rintik rindu yang berakhir sendu. Telah beristirahat dengan tenang dalam tidurnya. Ayah, saudara, saudara, sahabat kami,Savarior AlastorKedamaian dan kebenaran akan selalu menyertaimu Terheran aku melihat kalimat terakhir pada batu nisan milik Ayah. Kedamaian dan kebenaran? Siapa yang menuliskan hal seperti ini pada batu nisan, huh? Aku melirik ke arah batu nisan yang berada dekat dengan makam Ayah, tetapi tidak ada tulisan yang berkonotasi negatif seperti milik Ay
Read more
Act. 108. Kedatangan Ramirez
"Jangan bodoh! Jangan gegabah! Mereka tidak akan memulangkanmu semudah itu." Helio sudah tidak mampu lagi menahan amarahnya. Matanya melotot. Tidak peduli bagaimana perkataan si kakek tua, dia akan tetap pulang. Bukan, dia harus pulang! Tidak peduli meski dua pasang mata di seberang sana melarangnya sambil berteriak-teriak. Helio tetap mengepak barang-barang yang sekiranya perlu dibawa untuk kembali. "Sudah kubilang, kau tidak bisa—" "Maka aku akan menuntut mereka atas ketidakadilan!" Ya, inilah Helio Elysian. Bukan hanya usulan rencananya yang menakutkan bagi keselamatan Kota Central, atau lebih tepatnya bagi keselamatan orang-orang yang memiliki kepentingan. Helio juga menjadi menakutkan ketika
Read more
Act. 109. Berita Kebangkitan
"H-hah?" Bukan saja terkejut, Anastazja bahkan membeku di tempatnya. Coklat panas yang baru diteguknya beberapa saat lalu seakan tidak mempan menghangatkan dirinya. Ia membeku, bersama dengan kabar duka yang Ramirez bawa padanya. Ia menatap wajah Ramirez dengan raut wajah yang sangat terpukul. Sean? Sean Alastor yang itu? Apa maksudnya dengan meninggal? Bukankah ia memang sudah seharusnya meninggal? Tapi tunggu dulu, kalau begitu seharusnya Ramirez juga sudah tiada. Apa benar Sean Alastor masih hidup? Apa benar? Suara-suara dalam otak Anastazja mendadak bertanya-tanya tanpa menemui jawaban, bahkan sekedar tanda titik. "Sampai beberapa hari yang lalu ia masih hidup. Umurnya ... jangan ditanya.
Read more
PREV
1
...
91011121314
DMCA.com Protection Status