All Chapters of Desah Di Kamar Sebelah: Chapter 111 - Chapter 120
146 Chapters
111
111 POV INA “Ini mahal, Nyonya. Sangat mahal,” ucapku agak tersinggung. “Oh, tentu tidak, Ina. Ini ada yang harganya tiga juta lima ratus. Limited edition. Hanya keluar di musim gugur bulan lalu. Kamu mau? Cuma, aku sudah pakai sekitar lima kali.” Nami lalu menyambar satu lipstik dengan wadah yang terbuat dari plastik berwarna hitam mengkilap dengan bagian tengah yang diberi warna silver plus inisial huruf brand mahal tersebut. Oke, tingkahmu semakin sengak, Nami. Kamu sekarang bahkan memamerkan lipstik seharga ponsel pintar kelas standar. Semoga, sebentar lagi dirimu merasakan keterpurukan seperti yang aku rasakan sekarang. “Jangan, Nyonya. Terlalu mahal untukku. Aku ambil yang murah ini saja,” ucapku pura-pura malu. Padahal, ingin sekali kuempaskan seluruh peralatan make up milik Nami ke lantai. “Ah, tidak apa-apa, Ina. Santai saja. Bukankah, dulu kamu juga pengguna merek-merek ini? Sekarang, kamu juga bisa
Read more
112
112POV INA “Baiklah kalau begitu, In. Aku akan mencoba sering-sering berpenampilan natural. Biar lebih bervariasi,” ucap Nami sambil sedikit membungkuk sehingga kepala kami sejajar. Kusenyumi dia dengan singkat. Aku lalu mengedarkan pandangan ke atas meja. Menyapu dengan lirikan ke arah setiap inci barang-barang yang tertata apik dan sangat rapi. Lihatlah, semua lengkap di atas sini. Ada lipstik yang jumlahnya lebih dari satu lusin. Kuteks beragam warna, bedak, foundation, maskara, pensil alis dengan merek yang sangat terkenal, sampai bulu mata palsu yang masih tersimpan rapi di dalam kotak-kotaknya. Sontak aku merasa minder dan rendah diri. Aku ingat dengan kata-kata milik almarhumah Lia saat dia masih hidup dulu. Kalau melihat orang yang lebih darinya, dia sering curhat kalau seketika dia mendadak insecure. Ya, seperti itulah penggambaran diriku sekarang. Insecure dengan kemegahan hidup yang dicicipi oleh Nami saat ini.
Read more
113
113POV INA “Iya, aku sudah datang. Nalen juga sudah duluan ke ruang makan. Aku nyari-nyari kamu, Ma. Ternyata ada di sini, toh.” Mas Anwar kulihat sok mesra kepada Nami. Dengan memendam kecemburuan yang mendalam, terpaksa aku harus memperhatikan betapa manisnya perlakuan mantan suamiku kepada istri barunya tersebut. Mas Anwar peluk si Nami. Tak lupa juga dia kecup kedua pipi perempuan berkulit putih itu. “Maaf, Pa. Ini lho, Sayang. Aku ajak Ina ke kamar supaya dia pilih-pilih make up yang cocok buat dipakai sehari-hari. Kasihan dia, Pa. Masa wajahnya polosan kaya orang sakit? Aku jadi khawatir kalau melihat wajah orang pucat pasi begitu. Jadi, aku kasih dia bedak, foundie, lipstik, dan parfum. Nggak apa-apa kan, Pa?” Lembut nian ucapan Nami kepada suaminya. Tak lupa, perempuan itu juga melingkarkan tangannya ke perut Mas Anwar. Pokoknya, mereka seolah-olah sedang sengaja memanasiku. Sialan sekali. “Lho, nggak apa-apa, dong. Santai saja. Malah
Read more
114
114POV INA“A-aku pikir … Nyonya tidak menyukai Bu Ina. Jadi, makanya aku bisa bersikap demikian. Aku minta maaf, nggeh Bu?” “Aku maafkan kesalahanmu, Rah. Aku akan bilang kepada Nyonya untuk tidak memecatmu. Namun, ada satu syarat yang harus kamu lakukan.” Rahima langsung mendongak. Wajahnya yang sudah kusut masai itu memperhatikanku dengan penuh rasa penasaran campur harap yang membumbung tinggi. “A-apa itu, Bu?” “Jangan lancang berbicara di rumah ini. Hormati tuan rumah. Begitu juga dengan aku. Jangan pernah sekali pun kamu membahas tentang masa laluku. Ingat, Rahima. Respek Nyonya kepadamu sudah hilang sejak kejadian tadi. Bahkan dia bilang kepadaku bahwa posisimu akan segera dia singkirkan. Mudah bagi Nyonya untuk mencari penggantimu. Itu hal yang kecil!” kataku sambil menjentikan kelingking. “A-aku paham, Bu,” ucap Rahima lagi sambil menunduk dalam. “Maka dari itu, bersikaplah patuh kepadanya. Hormati perinta
Read more
115
115POV INA “Mama sama Papa udah nunggu di ruang makan.” Nalendra berucap kepadaku. Sorot matanya terus terarah menatap wajahku. Semula agak dingin. Namun, lambat laun terbit senyuman manis di bibirnya yang kemerahan. “Oke. Panggil aku Bu Ina. Mulai detik ini, sebut saja aku dengan panggilan itu. Kamu paham kan, Nalen?” tanyaku sambil mendekat ke arahnya. Kutepuk bahu tegap lelaki bertubuh tinggi tersebut. “Baik, Bu Ina.” Nalen menyahut lembut. Kepalanya mengangguk patuh, sedangkan senyumannya tak kunjung padam dari kedua bibir merah itu. Hebat, pikirku. Ternyata, seorang Ina memiliki kekuatan magis yang cukup sakti. Kalau begini ceritanya, aku akan semakin percaya diri untuk tinggal di rumah Mas Anwar. Hahaha! Sepertinya aku harus cepat-cepat mengirimi Mbak Rusmina uang agar mereka menyampaikan titip salamku ini kepada Mbah Legi. Ya, hitung-hitung supaya Mbah Legi tidak kapok menolongku terus-terusan. “Ayo, kita ke
Read more
116
116POV INA “Lho, Papa gimana, sih? Kok, malah jadi untuk peternakannya Bayu segala?!” Suara Nami akhirnya mencelat. Tercetus juga pertengkaran di antara mereka. Aku suka ini! Aku benar-benar akan menikmatinya! “Bukan gimana-gimana, Ma. Itu nanti kita urun rembuk lagi. Tunggu Bayu pulang. Nanti, setelah Bayu pulang, semuanya akan Papa bagi-bagi secara adil. Bagaimanapun juga, Bayu itu kan, pewaris sahnya Papa.” Muka Mas Anwar berubah semakin gelap. Terdengar nada yang agak-agak ragu pada bicaranya. Mas Anwar, memang selalu begitu. Penuh kebimbangan dan ketidakadilan. Syukur-syukur si Nalen sudah dipercaya untuk mengembangkan usaha kainnya. Coba kalau aku dan Lia dulu? Jangankan untuk ikut campur urusan bisnis, masalah uang saja bisa ribut ke mana-mana. Mas Anwar memang pecinta harta. Baginya, seluruh hasil kerja kerasnya tersebut kalau bisa dia saja yang menikmati sendiri. Tumben juga sekarang baru kepikiran untuk menyerahkan aset ini dan itu
Read more
117
117POV INA Mendengar ucapanku, Mas Anwar langsung terlihat kikuk. Dia jadi salah tingkah. Tangannya pun cepat menyambar selembar tisu dari kotak akrilik yang diletakan di tengah-tengah meja. Diusapnya pinggiran bibir tebal legamnya dengan gerakan yang tergesa. “Mas, maaf jika kata-kataku menyakitimu, ya. Bukankah, saudara yang baik itu harus selalu mengingatkan saudaranya? Tujuanku tidak lain adalah ingin melihat keluargamu selalu harmonis, Mas. Biarlah aku yang luluh lantak. Biarlah aku yang kehilangan keluargaku sendiri. Asal jangan kamu, Mas.” Kalimatku lirih. Sebenarnya, perih sekali perasaanku saat mengungkapkan hal tersebut barusan. Ini bukanlah sekadar bualan semata. Namun, curahan hatiku yang paling dalam. “Jangan bicara begitu, In. Jangan membuatku jadi merasa bersalah begini.” Aku tersenyum pahit. Kugelengkan kepalaku cepat sambil berkata, “Tidak, Mas. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu merasa bersalah. Bukan kamu yan
Read more
118
118 POV INA Makan siang kali ini memang sungguh terasa sangat berbeda sekali dari makan siang-makan siangku sebelumnya. Betapa tidak. Sekarang, aku telah menemukan kembali sosok Mas Anwar yang begitu sangat peduli dan mudah iba kepadaku. Dia bahkan mengajakku untuk nyekar ke kuburannya Lia segala besok hari. Betapa aku terkejut dibuatnya. Takjub juga pastinya. Aku yakin sekali, ini pasti sebab ilmu-ilmu yang telah dikirimkan oleh Mbah Legi. Dukun satu itu memang topcer! Tak lagi bisa menolak inginnya Mas Anwar, aku pun mengangguk setuju bahwa kami akan pergi nyekar ke kuburan anak semata wayangku tersebut. Entah bakal seperti apa reaksinya Nami nanti. Aku tidak peduli. Sepertinya, inilah waktu bagiku untuk kembali meraih sukses besar di rumahnya Mas Anwar. Diam-diam aku berharap agar Nami dan Nalen lekas tertendang dari rumah mewah ini, lantas akulah yang akan menggantikan posisi mereka. Ya, untuk kedua kalinya, aku bakalan menjadi seorang nyonya plus pen
Read more
119
119 POV INA Tok! Tok! Tok! Pintu kamarku diketuk tiga kali. Padahal aku sedang enak-enaknya tertidur lelap. Namun, saat melihat jam dinding di atas pintu sana, ternyata sudah pukul enam belas sore. Astaga, ternyata sudah lama juga aku tidur siang. Buru-buru aku membenarkan ikatan rambutku. Kubenarkan pula letak kerah dasterku yang agak melorot sebab pulas tertidur barusan. Bertanya-tanya benakku. Siapa gerangan yang mengetuk pintu di depan sana? Tidak bersuara pula. Hanya kedengaran bunyi ketukan di daun pintu saja. “Sebentar!” ucapku seraya turun dari ranjang. Kulap terlebih dahulu sisa iler di tepian bibir. Takutnya kentara sekali kalau aku habis tidur selama ini. Yah, namanya juga belum resmi menjadi nyonya rumah. Masih menjadi babu! Kubuka kunci pintu kamar dan betapa kagetnya aku ketika melihat Nami telah berdiri di depan pintuku sambil tersenyum kecil. “Nyonya,” panggilku sam
Read more
120
120POV INA “Kami hanya bicara biasa saja, Nyonya. Terus, Mas Anwar juga bertanya tentang apakah aku rindu kepada Lia atau tidak? Aku jawab tentu saja aku sangat rindu. Aku ditawarkan untuk berziarah ke makamnya anakku besok, Nyonya. Kujawab, aku tidak enak kepada Nyonya Nami. Takut beliau keberatan.” Aku langsung memasang wajah sedih. Kepalaku pun menunduk sambil menarik napas dalam-dalam. Kuharap, gayaku yang menyedihkan ini akan membuat Nami semakin jatuh iba. Ayolah, Nami. Semakin terperosok kamu ke dalam lubang jebakanku. Aku tidak akan keberatan untuk membelenggumu dengan tali kelicikanku! “Oh, jelas aku tidak keberatan, Ina. Pergi saja. Tidak apa-apa. Itu adalah anakmu. Wajar jika kamu ingin ziarah ke makamnya. Lakukanlah,” ucap Nami penuh kelembutan. Dia merangkulku lagi. Mengusap-usap lenganku dengan penuh perhatian. Perempuan anggun ini memang mudah sekali kasihan sama orang, ya. Kenapa kok, dia bodoh sekali? Apa dalam hidupnya dia ti
Read more
PREV
1
...
101112131415
DMCA.com Protection Status