Semua Bab Tobat Terakhir Istri Kedua: Bab 11 - Bab 20
31 Bab
11. Janji Candra
Seorang pemuda berdiri di sebelah Indira. Melihat betapa licin wajahnya, Indira menduga umurnya hanya lebih tua sedikit di atas Aliando. Melihat wajah Indira yang pucat, pemuda itu ikut berjongkok di sebelah Indira. “Ibu sakit?” Pemuda itu mengulang pertanyaan. Indira menggeleng lemah. “Saya hanya pusing sedikit. Lihat, ban motor saya bocor. Saya bingung cara pergi ke bengkel.” Indira menunjuk ban belakang motornya yang sudah sangat kempes. “Saya tahu bengkel terdekat. Mari saya bantu Ibu membawa motor ke bengkel.” Pemuda itu bangkit lagi. Ia meminta kunci motor kepada Indira, lalu menyalakan kembali motor. “Mari ikut saya, Bu.” Pemuda itu menuntun motor dengan kondisi mesin motor menyala, sementara Indira berjalan tertatih-tatih di belakangnya. Pikiran Indira melayang ke rumahnya, kepada Cantika yang mungkin sedang menantinya pulang saat ini. Mbak Narti juga mungkin sudah gelisah menunggu kepulangannya. Indira berdoa dalam hati, semoga perbaikan motornya tidak berlangsung lama.
Baca selengkapnya
12. Permintaan Maya
Hawa pagi masih dingin menggigit saat aku turun dari sepeda motor dan memarkir di halaman kantor. Kulepaskan helm yang membungkus kepala, seketika rambutku terasa berantakan. Aku teliti penampilan dari kaca spion. Betul saja. Rambutku mencuat ke segala arah. Kukeluarkan sisir dari dalam tas, lalu tanpa malu aku menyisir rambut bercermin kaca spion. Aku ingin tampil sempurna ketika masuk melewati ambang pintu kantor nanti. Siapa tahu aku langsung berpapasan dengan Mas Candra, kan? Usai bersisir, aku juga memperbarui lipstik. Warna merah marun yang menjadi favoritku kupoleskan sekali lagi pada bibir. Bibirku kembali kilap. Sekali lagi aku meneliti penampilan di kaca spion. Sempurna. Aku tersenyum puas. Aku melepas jaket yang dari tadi melindungiku dari udara dingin. “Swiwiiit!” siulan terdengar dari jarak yang tak jauh. Aku menoleh ke sumber bunyi. Abang-abang ojek daring kudapati tengah nongkrong di sebelah bangunan. Kuhitung ada tiga abang ojek. Salah satunya bahkan terang-terangan m
Baca selengkapnya
13. Kejutan Dari Indira
Pukul satu siang. Jam ngantuk-ngantuknya, kata orang. Kikan baru pulang dari makan siang yang seorang diri. Sebetulnya dia bisa ikut pergi makan siang bersama rekan-rekan kerja lelaki, tapi ia enggan hari ini. Pamitnya Maya secara mendadak membuat suasana hatinya tidak karuan. Oleh karena itulah, Kikan memilih pergi makan siang sendirian, sambil mengenang masa-masa menjadi rekan kantor Maya yang hanya seumur jagung. Sedih juga rasanya kehilangan teman kerja dalam tempo sesingkat itu, apalagi teman itu termasuk tetangga. Ruangan masih lengang saat Kikan melangkahkan kakinya masuk. Baru saja Kikan duduk di kursi sambil menghirup hawa dingin penyejuk ruangan yang menguapkan keringat, pintu utama kantor kembali terbuka. Kikan mendongak. Ia menyangka akan melihat wajah rekan kerjanya yang lelaki, atau mungkin Pak Candra sendiri. Namun, raut wajah yang dilihatnya membuatnya terkejut. “Selamat siang,” kata sosok wanita berkerudung segi empat tersebut seraya tersenyum. Kikan balas tersenyum,
Baca selengkapnya
14. Rencana Maya
Sudah lama Candra memikirkan rencananya hari ini. Ia akan menemui Maya. Ia sudah tak tahan untuk segera bertemu wanita itu. Entah mengapa, wajahnya yang tersenyum selalu terbayang di pelupuk mata Candra. Siang maupun malam, hanya wajah Maya yang dikenang Candra. Entah apa yang telah dilakukan Maya hingga Candra merasa takluk terhadapnya. Perasaannya terhadap Maya sekarang lebih kuat daripada perasaannya dulu. Kali ini, Candra merasakan dorongan yang amat kuat untuk menyanding Maya sebagai istri kedua. Setelah sekian lama berpisah, Candra baru menyadari bahwa hasrat di dalam dirinya untuk Maya tidak pernah betul-betul padam. Saat bertemu kembali, hasrat itu justru semakin kuat. Candra tahu bahwa ia telah disetir oleh nafsu, namun ia tak kuasa untuk menolak. Bukan lantaran ia tak cinta lagi terhadap Indira. Sama sekali bukan. Cintanya terhadap Indira akan terus ada. Perempuan itu telah menemaninya melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Indira juga gambaran sempurna seorang ibu ideal
Baca selengkapnya
15. Tawaran Mengejutkan
Jam menunjukkan pukul 11 siang saat Candra kembali ke kantornya. Hal pertama yang dilakukannya yaitu bertanya kepada Kikan yang kini menjadi satu-satunya wanita di kantor. “Kikan, ada yang mencari saya?” “Tidak ada, Pak.” Kikan menjawab lugas. Candra mengangguk, lalu memutar tubuh untuk masuk ke dalam ruangannya. Tatapannya menangkap sosok Niko yang tampak sedang sibuk mengerjakan sesuatu di depan monitor. Pemuda berkacamata dan berambut ala tentara tersebut serius menatap layar. Candra baru ingat, Niko merupakan satu-satunya karyawan yang diterimanya lewat jalur rekomendasi. Candra kembali terkenang pada waktu Indira meminta Niko diikutkan bekerja kepadanya. Kata Indira, Isma teman kuliah mereka dulu yang meminta pertolongan kepada Indira. “Ingat Isma, Pa? Teman kita yang menikah di semester 1? Dia punya keponakan baru lulus kuliah dan sedang mencari kerja. Apa bisa kerja di kantor Papa?” Suara Indira bergema kembali di kepala Candra. “Keponakan Isma? Jurusan apa kuliahnya?” Can
Baca selengkapnya
16. Rencana Sempurna
“Bagaimana, Ma?” “Tidak perlu mengalihtangankan usaha itu. Tetap Papa saja yang pegang. Papa bisa mengontrol kantor seminggu sekali. Selama Papa tidak hadir di kantor, Mama bisa mengontrol kerja karyawan.” “Betul juga ya, Ma. Lagi pula, sulit mencari orang kepercayaan untuk menangani usaha itu. Belum tentu juga orang yang dipercaya nanti mengerti tentang bisnis ini,” aku Candra. “Betul itu, Pa.” Indira menyemangati. Di dalam hati, Indira bersorak karena dengan cara ini Candra akan memiliki kewajiban pulang seminggu sekali. Ada keharusan untuk mengontrol usaha, selain menjenguk keluarga. “Mama memang pintar. Tidak salah Papa memilih Mama menjadi istri,” puji Candra seraya tersenyum. Candra sendiri memiliki pertimbangan lain tentang usulan Indira. Dengan menuruti keinginan Indira, Candra berharap Indira akan senang dan merasa sudah dapat mengendalikan suaminya. Indira tidak akan lagi fokus mengawasi dirinya. *** Satu bulan kemudian, Candra kembali menerima telepon dari Bang Hermans
Baca selengkapnya
17. Pernikahan Rahasia
“Sudah siap, May?” Suara Mama memanggil dari ambang pintu. Aku menoleh. Mama memasuki ruang rias pengantin, beliau tampak cantik dalam riasan tipis bernuansa natural. Hari ini hari besarku. Akhirnya setelah sekian lama memimpikan hari ini, aku akan menikah dengan Mas Candra. Menjadi istri keduanya, alangkah bahagia rasanya. “Sudah, Ma. Bagaimana wajahku? Cantik?” tanyaku sambil tersenyum. “Kamu cantik, bikin pangling,” puji Mama dengan senyum di bibir merahnya. Mama merupakan pendukung utamaku dalam keputusan menikah dengan Mas Candra, meskipun beliau tahu Mas Candra sudah beristri dan beranak dua. Aku tersenyum ceria. Tubuh aku tegakkan, berdiri dari kursi rias lalu mengangguk anggun pada perias pengantin yang sedari tadi berupaya membuatku menjadi secantik ratu. “Terima kasih, Mbak Riri,” ucapku kepada perias yang apabila menilik wajah, umurnya tak berbeda jauh denganku. “Sama-sama, Mbak,” balas Mbak Riri sebelum menyingkir ke sudut ruangan, ke kursi yang disediakan untuknya.
Baca selengkapnya
18. Rahasia yang Terkuak
Kaki Indira terasa sangat pegal. Ia mengurut-urut pelan bagian betisnya yang telah membengkak tiga kali lipat dari semasa gadis. Beberapa kali ia menekan pedal rem dan beralih ke kopling selama mengantarkan Cantika ke sekolah pagi ini. Jalanan yang macet membuat Indira tak banyak pilihan selain bersabar. Terkadang Indira ingin mengantarkan putrinya dengan sepeda motor saja seperti dulu. Namun, apa gunanya dibelikan mobil bila tidak pernah digunakan? Lagi pula dengan mengendarai mobil, bajunya tidak akan berbau asap knalpot maupun terik matahari pagi. Sudah satu tahun Candra bekerja di Bekasi, Indira telah dilimpahi berbagai fasilitas yang membuat hidupnya lebih mudah dalam mengurus kedua buah hati, meskipun tidak ada suami di sisi. Tidak seperti perkiraan awal Indira yang merendahkan kemampuan sendiri, ternyata ia sanggup menjalani hari-hari mengurus dua anak tanpa kendala berarti. Candra pulang seminggu sekali, rutin dan hampir tak pernah absen. Selama satu tahun, terhitung hanya du
Baca selengkapnya
19. Pertengkaran
Candra melongok ke dalam kamar tidurnya bersama Maya. Ia lihat istrinya sedang memasukkan baju-baju yang akan dibawanya pulang ke Bandung nanti. “Sudah selesai belum, May?” tanya Candra tak sabar. Ia berjalan mendekati kasur dan duduk di atasnya. Maya menoleh sekilas ke arah Candra, kemudian tangannya kembali sibuk memasukkan sebuah sweater berwarna hitam keabu-abuan. Sweater itu mereka beli bersama di Plaza Indonesia, saat mereka berjalan-jalan berdua usai pernikahan mereka dulu. “Sebentar lagi, Mas. Ini tinggal memasukkan sweater, kok. “ Maya menutup ritsleting tas ransel yang sarat isi hingga menggelembung. Tas itu siap. Maya mengangkatnya dan meletakkan ke sebelah tempat tidur, dekat dengan kaki Candra. “Kenapa buru-buru sih, Mas? Kangen ya dengan istrimu yang di sana. Apa aku kurang cantik selama di sini?” tanya Maya seraya memajukan bibir. Ia sengaja berekspresi sedih agar terlihat mengibakan. “Bukan begitu, May. Baru kali ini aku pulang naik kereta api, bukan mobil seperti
Baca selengkapnya
20. Keputusan Indira
Candra menganga mendengar ancaman Indira. Sepasang matanya juga melebar. Ia bergegas maju menghampiri Indira yang tangannya kini bersedekap di depan dada. Candra meraih Indira dengan tangan kanan, tapi Indiria menghindar dengan cara mundur dua langkah. Tangan Candra menggapai angin kosong belaka. Candra segera menyadari bahwa istrinya tak ingin tersentuh oleh jarinya. Tangan Candra terkulai. Candra pun memilih berdiri di hadapan Indira. Sejarak dua meter di depan Indira. Lalu, dengan suara yang berat namun tenang, ia berucap. “Jangan begitu, Ma. Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik antara kita saja? Tidak baik bila sedikit-sedikit mengadu kepada orang tua.” Seketika Indira merasakan panas di dadanya berubah menjadi gelegak amarah. “Sedikit-sedikit, Papa bilang? Coba, Pa. Sejak kita menikah apa pernah aku mengadukan masalah rumah tangga kepada orang tuaku? Pernah?!” sergah Indira dengan mata melotot merah. Bibirnya membentuk cemberut yang amat masam. Candra terdiam. Dia tak dapat
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status