Semua Bab GAIRAH ISTRI LIAR : Bab 61 - Bab 70
88 Bab
Part 61
Kahfi melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Berusaha bersikap tenang agar situasi di jalanan aman dan terkendali. Tak ingin tergesa-gesa atau membuatku semakin gugup. Sesekali ia menoleh ke arahku yang merasa ketakutan. Begitu cemas dengan berita yang baru saja kami dengar. Aku dan Kahfi bergegas berangkat, begitu menjawab panggilan dari Erik. Suaranya terdengar gelisah. "Elena kritis. Overdosis obat tidur!" serunya, memberi tahu kami.Elena sampai tak sadarkan diri. Apa yang dia lakukan? Mencoba bunuh diri? Apa dia sudah merasa tak sanggup lagi? Dasar bodoh. Seharusnya dia minum alkohol saja, lalu melupakan semuanya. Aku bahkan bisa membelikannya sebungkus rokok setiap hari. Kenapa harus berpura-pura suci, dan bersikap bak malaikat di hadapan semua orang. Apa dengan begitu, dia merasa semua orang menyayanginya? Lalu kemudian membenci, dan membanding-bandingkan hidupnya dengan hidupku?  Brengsek! Dasar jalang sialan. Bisa
Baca selengkapnya
Part 62
"Terima kasih, Key. Kau baik sekali mau datang menjenguknya." Bibir pucat itu kembali bergetar, lalu menatapku. Apa? Kenapa menatapku? Berharap aku peluk? Oh, shit! Kini tanganku bergerak sendiri dan meraih bahunya. Membawanya dalam setengah pelukan dan menepuk-nepuk pundaknya. "Terima kasih, Key...." Tangisnya semakin pecah di pelukanku. Oh, my God! Semudah itu menjadi orang baik? Dia sungguh-sungguh mengatakannya? Dia sama sekali tak menganggap kalau ini hanya sebuah pencitraan? Tidak. Aku benar-benar tulus. Dan kali ini aku benar-benar akan membantu Elena. Oh, astaga! Apa semua orang melihat kelakuan anehku saat ini? Apa Erik dan yang lainnya akan mentertawakanku karena memeluk wanita ini? Whatever!Bajingan tua itu! Kau akan segera membusuk di penjara. Atau di neraka sekalian. "Aku butuh mobil." Kuulurkan telapak tangan pada Kahfi yang juga terlihat cemas. "Mau kemana?" tanyanya kem
Baca selengkapnya
Part 63
 Aku tak menyangka bisa meninggalkan Kahfi begitu saja. Duduk bersandar di sofa empuk apartemen, tempat Soraya tinggal. Menyeruput segelas air sirup berwarna merah, dan tentunya... sebatang rokok kini terselip di antara bibirku. "Elena benar-benar nekat." Soraya ikut syok mendengar berita dariku. "Dan bodoh!" umpatku kesal. Jariku ikut bergetar memegangi batang nikotin yang baru saja kuhisap tadi. "Bagaimana jika dia tak kembali sadar?"Aku terdiam. Membayangkannya saja sungguh membuatku merasa ngeri. Apa ini? Sebuah kematian? Di rumahku? Oh, no. Ini lebih menyedihkan ketimbang kepergian Mama, dan masuknya keluarga mereka ke rumah itu. Apa nanti arwahnya akan gentayangan? "Hentikan itu, Soraya! Dia pasti selamat. Itu hanya obat tidur. Aku bahkan sudah minum ratusan liter alkohol, dan aku merasa sangat sehat sekarang ini," gerutuku. Soraya tergelak, sembari memainkan ponselnya. Sudah ham
Baca selengkapnya
Part 64
 Aku mengemudikan mobil, menuju tempat yang dijanjikan Soraya. Masih kulihat motor besar Kahfi terparkir di bagian samping rumah. Ada apa dengannya? Marah, tapi masih saja menuruti keinginanku, untuk tak naik motor dengan setelan jasnya. "Hai," sapaku, saat sampai di sebuah rumah yang cukup luas. Ada banyak orang di segala area. "Keyra?" Dia membalas sapaanku dengan sangat ramah. "Yes, i am. Satya, kan?""Ya." Dia mengulurkan tangannya, dan dengan penuh senyum aku menyambutnya. Soraya sialan! Menjebakku dengan drama konyol seperti ini. Konten youtube? Riset tentang psikologis anak? Kenapa tak langsung saja pada duduk persoalan. Apa harus menunggu Elena mati dulu? "Terima kasih untuk waktunya. Aku pikir kau setiap hari berada di sini.""Tidak. Hanya saat senggang saja.""Kau tidak keberatan aku mengambil gambar di tempat ini? Tidak merasa, bahwa ini ranah pribadi?""Tidak apa-apa
Baca selengkapnya
Part 65
 Dia masih fokus menyetir, meski aku telah memanggil namanya. Seolah kata demi kata yang tadi dia ucapkan, sudah jelas dan tak terbantah. Begitu dalam, hingga membuatku berpikir, bahwa ia ingin melepaskan aku begitu saja. Dasar sialan! Dia seperti bisa mendengar pikiranku malam tadi. Apa dia cenayang? Bisa membaca pikiran orang? Damn! Membuatku menjadi tidak fokus dengan masalah ini. Aku menyandarkan kepalaku dengan kasar, lalu membuang pandangan ke jendela. Menatap arah jalan yang kami lewati. Aku dan dia, masih terjebak dalam suasana hening. ."Belum ada perubahan?" tanyaku, pada Mamanya Elena, begitu kami tiba. Wanita bertubuh mungil itu, masih terlihat pucat. Seperti tak bergerak dari posisinya berdiri, semalam. Tapi tentu saja tidak. Pakaiannya kini sudah berganti. Hanya saja wajahnya terlihat polos, tanpa riasan tipis yang biasa dia pakai. Ia menggeleng. Seperti tak kuasa mengeluarkan suara. L
Baca selengkapnya
Part 66
 "Jangan sok perhatian!" ketusku. Lalu melirik kembali ke arah Kahfi yang terdiam dengan ucapan Erik. "Kau masih ingin menemani Elena di sini?" Aku kembali mengintimidasinya. "Kau bisa masuk ke ruangan itu, dan tidur seranjang dengan si jalang itu!" umpatku kasar. "Aku bisa pulang sendiri."Aku bangkit, dan langsung berjalan  meninggalkan mereka. Aku bahkan tak pamit pada Mamanya Erik. Mengesalkan! Terdengar suara langkah yang mengikutiku dari belakang. Dan itu pasti suamiku, yang mengatur langkah agar tetap berada di belakangku. Kembali pada posisi seperti dulu. Kami saling terdiam, saat kendaraan kembali melaju. Aku bersandar tanpa suara. Merasakan dadaku yang masih terasa panas. Tak adakah yang peduli pada perasaanku? Aku juga butuh perhatian. Bukan hanya Elena. Oh, damn! Aku benci situasi ini. Membuatku kembali membayangkan sesuatu, yang bisa membuatku melupakan semua masalah.
Baca selengkapnya
Part 67
 Aku semakin sesenggukan berada dalam dekapannya. Kini aku tahu ia masih Kahfi-ku yang dulu. Aku bisa merasakan itu. Berada dalam pelukannya, terasa begitu menenangkan. Membuatku dadaku yang tadi sesak, menjadi lega. Dan aku tak ingin hal ini berakhir sampai kapan pun. "Kau masih percaya padaku kan, Fi?" Aku mendongak, menatap wajahnya. Kuusap rambutnya lurusnya, yang tampak masih rapi. "Ya. Apa ada sesuatu yang sedang kau lakukan?" Senyum manis terulas dari bibir seksinya. Membuatku merasa semua permasalahan telah berakhir. Tak ada lagi amarah dari raut wajahnya.Ya. Hanya senyum dan kepercayaan itu yang kubutuhkan saat ini. Aku mengangguk, mengiyakan. "Aku hanya tak ingin masalah Elena melibatkan keluarganya, Fi. Aku juga tak ingin berita ini ikut mencoreng nama Papa. Dia bahkan menamparku hanya karena masalah foto. Bagaimana jika video Elena ikut tersebar? Dia mungkin akan mengamuk, atau bahkan mengusir keluarga itu. Papa
Baca selengkapnya
Part 68
 "Aku akan lebih mendalami kasus ini," sahutnya, penasaran. "Bisakah aku kau membawanya untuk menemuiku?"Aku menarik sudut bibirku. Jelas laki-laki yang baru kukenal ini, begitu merasa tertantang dengan segala penuturanku tentang Elena. Kuharap dia akan fokus, dan meluangkan lebih banyak waktu untuk masalah ini. "Itu yang membuatku semakin merasa cemas, Dokter.""Ada apa?""Dia sedang kritis saat ini," ucapku begitu saja.Dia terlihat begitu terkejut. Lalu aku kembali menceritakan apa yang telah dilakukan gadis bodoh itu, hingga harus berakhir di ruang ICU. "Malang sekali nasibnya," lirihnya. Raut wajahnya terlihat merasa begitu prihatin. "Ya. Tidakkah bajingan yang membuatnya seperti itu pantas untuk mati?" Aku mulai tersulut emosi, sembari menatap wajahnya. .Aku menghempaskan diri di ranjang, begitu pulang ke rumah. Menscroll satu persatu follower Dokter Satya. Mencari tahu, apa saj
Baca selengkapnya
Part 69
 Mereka serempak menoleh ke arahku. Gurat keterkejutan terlihat jelas di wajah wanita berbibir pucat itu. "Key? Tante...." Dia terlihat ragu meneruskan kata-katanya. "Kenapa di sini? Siapa yang menjaga Elena?" ketusku."A_ada Erik dan Papamu di sana." Wanita itu terlihat gugup, kemudian tertunduk diam. "Masuk saja. Kenapa menemui pria lain tanpa sepengetahuan Papa? Ingin kembali menjalin hubungan di belakangnya?" Tiba-tiba saja wajah garang Papa melintas di benakku. Membuatku merasa... iba. Ya. Entah mengapa rasa sedih menjalar di hati ini. Teringat saat dulu Mama ketahuan selingkuh, dan Papa hanya terdiam. Tanpa menghiba, dan memaksa Mama tuk kembali. Sikap tegasnya tak sedikit pun mengguratkan kesedihan. Hanya sikap dingin saja yang saat itu ia tunjukkan. Termasuk padaku. Kini aku menyadari, rasa sakit itulah yang membuat Papa menjadi sedingin itu. Tak ada lagi kehangatan, dan perhatian di dalam k
Baca selengkapnya
Part 70
Aku kembali masuk ke dalam mobil. Menelungkupkan wajah ke stang kemudi. Menangisi apa yang baru saja terjadi. Aku bahkan tak dapat lagi membedakan mana yang tulus dan hanya berpura-pura. Oh, no. Aku benar-benar hampir gila. Aku benci dengan mereka semua. Aku mengangkat wajah, dan mengusap air mata, saat kudengar suara ketukan dari kaca jendela. Kulihat Kahfi berdiri, sembari tersenyum dari balik sana. Segera kutekan tombol untuk membuka kunci, lalu membiarkannya masuk. "Kau baru sampai?" Dia kini telah duduk di sampingku. "Tidak. Sudah dari tadi.""Ibu tak jadi ikut? Kenapa tak masuk?"Aku menceritakan apa yang baru saja terjadi. Dan hatiku masih saja terasa sakit. "Jangan dipikirkan, Key. Biarkan saja mereka.""Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Papa?""Kau mengkhawatirkannya?" Kahfi menatapku penasaran. "Kau ingin aku menjawab 'ya'?"Dia tersenyum, lantas mencubit pipiku seperti an
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
456789
DMCA.com Protection Status