Semua Bab Tawanan Sang Billionaire: Bab 11 - Bab 20
26 Bab
BAB 11
"Erza, aku akan menjadi pengikutmu mulai sekarang. Selama kamu mengucapkan memberikan perintah apapun padaku, aku tidak akan ragu-ragu untuk melaksanakannya," ucap Wika dengan penuh keyakinan. Pada saat ini, Wika telah memutuskan. "Lupakan, apa gunanya menjadi pengikutku?" tanya Erza. "Kamu adalah orang yang baik. Kamu menyelamatkan kakakku dan aku." Nada suara Wina juga sangat lembut. "Ya, kalian bisa kembali dulu. Ini nomor teleponku. Hubungi aku seminggu lagi. Wina seharusnya tidak akan kesakitan lagi," kata Erza. Usai Erza berpamitan, Wina bertanya pada Wika, "Saudaraku, siapa dia?" "Aku tidak tahu, ayo pulang," ajak Wika. Meskipun tidak jelas dari mana asal mula Erza, Wika sangat yakin bahwa Erza bukan orang sembarangan. Di sisi lain, Erza tampak sangat bersemangat dan kembali ke asrama. Bisa dibilang asramanya ini masih bagus, walaupun hanya asrama pegawai biasa, tetap saja ada satu kamar tidur dan satu ruang tamu. Tata letak ruangannya jug
Baca selengkapnya
BAB 12
"Aku akan mengabarimu lagi, kamu bisa keluar sekarang." Nada suara Lana menjadi dingin lagi. "Wah kamu menjadi sangat cuek sekarang, padahal malam itu di Malang, kamu terlihat sangat antusias," kata Erza menggoda. "Keluar!" teriak Lana. Lana langsung meraih cangkir, dan melemparkannya ke arah Erza hingga jatuh di bagian bawah kakinya. Tetapi ketika cangkir itu jatuh, Erza sudah melintas ke ambang pintu, dan bisa melarikan diri. "Juga, urusan kita jangan kamu sebarkan ke orang-orang diperusahaan ini!" pekik Lana. Ketika Erza hendak meninggalkan pintu kantor, suara Lana terdengar lagi. "Jangan khawatir, bahkan jika aku memberitahu orang lain bahwa kamu adalah istriku, mereka tidak akan mempercayaiku." Erza mengatakan kata-kata ini, membuka pintu dan pergi. Melihat punggung Erza, Lana menggertakkan gigi. Dia mengutuk dirinya karena telah memikirkan pria itu dari kemarin, padahal dia tahu bahwa Erza bajingan dan tidak tahu malu. "Gadis kecil, aku per
Baca selengkapnya
BAB 13
"Aku juga berharap seperti itu." Erza mengangkat bahu. Dia sebenarnya mengetahui bahwa dia diminta pergi ke ruangan Lana bukan untuk sebuah hal yang baik. Sejujurnya, meskipun Lana sangat cantik, Erza benar-benar tidak ingin pergi menemuinya karena gadis itu terlalu dingin. Tapi, dia tidak punya pilihan. Saat tiba di ruangan Lana, Erza kembali dicegat. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Sinta. Sekretaris Lana yang bernama Sinta itu memandang Erza dengan wajah bengis. Sinta masih ingat dengan jelas apa yang terjadi di pagi hari. Dapat dikatakan bahwa dalam hati Sinta, dia tidak memiliki kesan yang baik tentang Erza. "Bu Lana memanggilku kemari." Setelah selesai berbicara, Erza mengabaikan Sinta dan langsung masuk. "Hei, kamu… Bu Lana, orang ini memaksa masuk, saya tidak bisa menghentikannya!" teriak Sinta. Erza membuka pintu, dan Sinta memandang Lana dengan tatapan meminta maaf. "Tidak apa-apa, kamu keluar dulu, Sinta. Ada yang ingin aku bicarakan denga
Baca selengkapnya
BAB 14
Erza agak mati kutu sekarang. Dia tidak paham bagaimana orangtua Lana bisa bersikap demikian. "Ya, meskipun kalian sudah menikah di Malang, tapi kalian tidak bisa tinggal bersama sekarang. Untuk itu, aku sudah menyiapkan sebuah rumah di pusat kota untuk Lana dan kamu agar bisa tinggal bersama," ayah Lana menjelaskan. Erza membuka mulutnya lebar-lebar ketika melihat ayah mertua di depannya. Dia bertanya-tanya apa yang baru saja ayah Lana katakan? Jika dia sudah menyiapkan sebuah rumah, bukankah itu berarti dia setuju agar Erza tinggal bersama putrinya? "Ayah, kenapa ayah membicarakan ini? Aku akan tinggal di rumah saja." Lana mengerutkan kening, tetapi pipinya agak merah. "Dasar kamu ini. Kamu sudah menikah, dan masih sangat egois? Apa kamu tidak ingin memberikan aku dan ibumu cucu lebih awal agar kita berdua bisa bersenang-senang?" tanya ayah Lana dengan nada menggoda. "Ayah…" ucap Lana berusaha menghentikan ayahnya. "Erza, tolong jaga Lana. Kami menyayang
Baca selengkapnya
BAB 15
Saat melihat punggung Lana, Erza merasakan dorongan untuk memeluknya Lana, lalu memasuki ruangan. Namun, tentu saja Erza tidak melakukannya. Jika dia benar-benar melakukan itu, dia tidak akan bisa hidup lagi besok. Melihat Lana berjalan ke lantai tiga, Erza tetap di lantai dua. Dia berjalan hingga menemukan sebuah ruangan. Lalu, dia mandi dan tertidur. Erza tidur nyenyak malam ini. Bisa dibilang, berada di rumah seperti ini benar-benar semacam kenikmatan. Keesokan paginya, Erza bangun dan mandi sebentar, lalu turun. "Tuan, Anda sudah bangun?" Bu Siska sedang berada di ruang tamu sambil menatap Erza dengan ekspresi yang sangat santai. "Bu Siska, jangan panggil aku tuan. Kedengarannya canggung, panggil saja Erza," ucap Erza. "Oke, ya, Erza. Nona sudah pergi bekerja," jelas Bu Siska. Erza langsung melihat ke lantai tiga, tetapi tidak menyangka gadis ini pergi bekerja sepagi ini. Saat ini bahkan belum jam delapan. Ketika Erza ke dapur, dia makan semangkuk mie buata
Baca selengkapnya
BAB 16
"Erza, pagi." Ketika Erza sampai di depan pintu kantor, dia melihat Alina berdiri di sana. "Hei, Alina, kenapa kamu di sini? Apakah kamu menunggu seseorang?" tanya Erza. "Ya, aku menunggumu," jawab Alina singkat. Wajah Alina sedikit kemerahan. "Menungguku? Alina, apa maksudmu?" tanya Erza lagi. "Erza, ada hubungan apa antara kamu dan Bu Lana?" celetuk Alina tiba-tiba. Melihat tatapan bertanya-tanya di mata Alina ini, Erza merasa sedikit linglung karena tidak tahu apa yang telah terjadi. "Jika aku bilang bahwa Bu Lana dan aku sudah menikah, apakah kamu percaya?" kata Erza balik bertanya "Itu terlalu mustahil." Alina menatap Erza tak peduli. Dia melanjutkan, "Oke, jangan bercanda. Bu Lana memberitahuku bahwa hari kamu akan menjadi bagian dari Departemen Perencanaan dan menjadi wakil manajer, jadi aku di sini untuk menyambutmu." Alina sebenarnya merasa sedikit aneh. Meskipun Departemen Perencanaan bukan bagian paling besar dari perusahaan ini, tapi
Baca selengkapnya
BAB 17
"Hei, Jamal, aku telah melihat anak itu. Seharusnya dia tidak ada hubungannya dengan Bu Lana. Dia hanya menyelamatkan Bu Lana, jadi dia bisa naik jabatan. Tampaknya tidak ada masalah, dan dia mungkin bisa menjadi salah satu budak kita," ujar Doni di telepon. Ketika Erza meninggalkan hotel, Doni juga mengangkat telepon dari Jamal. Erza tidak mendengarnya. Saat ini, Erza juga sedikit cemas. Meskipun dia dan Wina baru saja kenal, Erza memiliki kesan yang baik tentang Wina. Terlebih lagi, Wina adalah pemilik tubuh yang murni, jadi hanya Wina yang dapat sepenuhnya menyembuhkan luka Erza. Tidak peduli apa pun, Erza harus melindungi keselamatan Wina. Setelah tiba di tempat parkir, Erza memacu mobilnya. Mobilnya melesat keluar. Masih agak jauh untuk sampai di pinggiran kota. Jika ingin sampai di sana dalam waktu sepuluh menit, maka Erza harus melaju dengan kecepatan tinggi. Di sisi lain, Farina sedang duduk di atas sepeda motor. Dia berkacak pinggang dengan ekspresi marah di waj
Baca selengkapnya
BAB 18
"Tunggu dulu. Sebelum bernegosiasi, aku akan membereskan gadis kecil ini dulu," kata preman itu pakda Farina. Mendengar apa yang dikatakan si preman, kali ini Farina benar-benar ingin meledak, dan dia bergegas menuju ke arah si preman. Langkah Farina juga mengejutkan Erza. Erza tidak menyangka gadis ini begitu pemarah. Ada lebih dari 30 orang di hadapannya. Saat ini, gadis itu benar-benar berani mendekati mereka. Dalam sekejap, Farina tiba di depan para preman itu. Tidak ada yang menyangka bahwa seorang gadis seperti Farina bisa begitu berani. Tapi, para preman itu tidak berpikir demikian. Ketika Farina tiba di depannya, dia dengan cepat mencengkeram kerah pemimpin mereka, dan kemudian tiba-tiba ditarik ke bawah. Pemimpin preman itu merasakan tubuhnya jatuh ke depan, dan Farina dengan cepat menggunakan lututnya untuk menendang perut pria itu. "Ah." Dengan teriakan dari mulutnya, pemimpin preman itu terbaring kesakitan di tanah. Rangkaian aksi serangan Farina benar-b
Baca selengkapnya
BAB 19
Para preman itu akhirnya menyetujui tawaran Erza, dan mereka bersedia membebaskan Wika dan Wina. Wika berkata pada Erza dan Farina, "Terima kasih." Dia sedikit takut dengan Farina. "Aku akan membiarkan kalian pergi untuk saat ini," kata Farina pada kelompok preman itu. Setelah itu, dia menatap Erza, "Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu tidak membawa teman-temanmu pergi?" Entah kenapa, saat melihat ekspresi Erza saat ini, Farina merasa sangat bangga. "Tidak ada mobil, bagaimana aku bisa pergi?" tanya Erza. Farina sedikit jengkel mendengarnya. Erza berkata lagi, "Bagaimana kalau kamu mengantar kami ke mobilku? Aku rasa mobilku masih ada di tempat tadi." Erza memiliki ekspresi waspada di wajahnya. Pada saat ini, Erza juga sedikit takut. Jika Farina tidak bisa emosinya, gadis itu akan meledak ketika saatnya tiba. Farin menjawab dengan senyum terpaksa, "Baiklah." Dia segera menelepon kantor polisi. Setelah menjelaskan semuanya, petugas di sana bergegas datang. Seben
Baca selengkapnya
BAB 20
"Terima kasih banyak, Erza." Mata Wika tiba-tiba berbinar. "Ayo pergi, cari tempat makan. Kamu sepertinya belum makan siang." Erza melihat jam. Saat ini sudah sekitar jam empat sore, jadi dia tidak perlu kembali ke perusahaan. Begitu mereka tiba di sebuah restoran, telepon Erza berdering. "Erza, kamu pergi ke mana? Mengapa kamu tidak masuk kerja pada hari pertamamu sebagai wakil manajer?" Suara kecewa Alina terdengar di telepon. "Alina, aku ada urusan mendesak di sini. Aku tidak bisa kembali ke kantor sore ini," jelas Erza. "Apa ada yang tidak beres saat kamu makan siang dengan Pak Doni?" tanya Alina khawatir. Erza menjawab singkat, "Tidak, kok." "Ya sudah. Tidak apa-apa. Aku akan meminta izin untukmu, tapi kamu harus masuk kerja besok." Nada suara Alina sangat menenangkan. "Terima kasih, Alina," jawab Erza. Setelah menutup telepon, Erza mulai makan. Setelah selesai makan, dia langsung mengeluarkan lima ratus ribu yang diberikan oleh polisi
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123
DMCA.com Protection Status