All Chapters of Aku Padamu, Gus!: Chapter 41 - Chapter 50
132 Chapters
Novel
Dari mana Anin mendapatkan benda lucknut seperti itu? Pantas saja Mbak Nur lama kembali. Mereka pasti sedang bersekongkol. Sebuah novel dan selembar kertas keluar saat aku melempar barang tersebut. Kuambil keduanya menyisakan baju tidur transparan warna merah muda yang tergeletak di lantai. Tanganku mengepal kala mebaca surat dari Anin. To : ShafiaSelamat atas pernikahannya. Semoga sakinah mawaddah warohmah. Ini ada sedikit hadiah dari kami. Wajib dipakai, yak! Kami udah iuran pake jatah uang jajan. TtdGeng TsadisHuaaa! Ingin rasanya aku berteriak. Bisa-bisanya mereka memberikan pakaian kurang bahan seperti itu kepadaku. Geng Tsadis adalah nama geng kami. Tsadis artinya enam, padahal hanya ada lima orang. Anggotanya adalah aku, Nadia, Anin, Mbak Nur, dan Lia, tetapi Anin menambahkan nama Gita sehingga menjadi enam orang. Masih dalam emosi yang membara, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Aku gelagapan karena tiba-tiba gus Azam sudah datang. Pandangan Gus Azam langsung tertuju
Read more
Malam Kedua
“Daripada kamu membaca novel seperti ini mending kamu pelajari lagi kitab ini. Di sini dibahas semua masalah rumah tangga, termasuk tentang hubungan suami istri. Kitab ini juga menjelaskan amalan apa saja yang harus dilakukan suami istri pada malam pertama,” ucapnya sambil menyodorkan kitab bertuliskan Uqudullujain.Bulan puasa kemarin aku sudah hatam kitab itu. Kitab Uqudullujain sengaja diajarkan kepada santri dan santriwati tingkat akhir sebagai pedoman jika sudah lulus dari pondok pesantren. Mereka semua pasti akan menjalani kehidupan berumahtangga kelak. Ucapan Gus Azam membuatku menunduk. Aku sangat malu, benar-benar malu karena telah melakukan kebodohan ini. Ingin rasanya aku menangis. Aku seperti maling yang ketahuan mencuri dan sedang disidang. Beginikah rasanya jika dimarahi seorang suami?“Maaf.” Hanya satu kata yang keluar dari mulutku. Aku tidak mampu berkata-kata lagi. “Maaf untuk?”“Maaf karena aku membaca hal yang tidak-tidak.” Air mataku sudah tidak bisa dibendung
Read more
Berkunjung
Suara lantunan ayat suci dari masjid menggema di seluruh penjuru pesantren. Mataku mulai mengerjap saat kurasakan ada sesuatu yang berbeda. Aku tidur seranjang dengan suamiku dalam satu selimut yang sama. Sebuah dekapan hangat terasa di tubuh ini. Dari dekat dapat kupandangi wajah suamiku yang masih terlelap. Tangannya masih dia letakkan di pinggangku. Hal yang baru kuketahui ternyata suamiku posesif. Kusibak selimut yang menutup tubuh, pakaianku masih utuh. Berarti tadi malam tidak terjadi apa-apa. Pikiranku terlalu negatif. Aku tersenyum membayangkan apa yang telah kami lakukan tadi malam. Kuberanikan diri membelai wajah suamiku, tetapi betapa terkejutnya ketika dia membuka mata. “Kamu sudah bangun?” tanyanya dan kujawab dengan anggukan.Saat aku hendak menarik tanganku, Gus Azam malah memegangnya. “Rasanya aku ingin menjadikan malam lebih lama lagi.”“Kita salat dulu, Mas.”“Sebentar lagi, belum azan.” Gus Azam merapatkan tubuhnya kembali.Aku menenggelamkan wajahku ke dadanya
Read more
Ke Rumah
“Shafia, ya?” tanya perempuan berambut putih. “Inggeh, Mbah.”“Mbah Rukmi dolan mahe Pak Irul. Lagi hajatan.” (Mbah Rumi sedang berkunjung ke rumah Pak Irul. Sedang ada hajatan.”Pantas saja rumah sepi. Ternyata mereka pergi ke rumah pakde. Syukurlah, kupikir mereka sakit. “Makasih, Mbah.” Wanita itu pergi setelah memberikan informasi kepadaku. “Mas Azam mau ke rumah pakde?” tawarku kepada Gus Azam. Aku tidak mau memaksanya karena dia pasti sudah capek. “Ke rumahmu saja! Aku mau istirahat.”Akhirnya kami pulang ke rumahku. Baru dua hari aku meninggalkan rumah, tetapi rasanya sudah lama tidak datang. Banyak dedaunan berserakan di depan rumah dan bunga milik Ibu berjatuhan. Aku harus rajin ke sini supaya rumahku tidak seperti kapal pecah. Rumah ini sudah khas seperti rumah hantu. “Aku akan bantu beresin rumah kamu.” Tiba-tiba Gus Azam berdiri di sampingku seolah mengerti apa yang ada dalam pikiranku. Mataku berbinar mendengarnya hingga tanpa sengaja kupeluk tubuhnya. “Terima kasi
Read more
Pak Rozaq
“Mobil siapa yang datang? Cepat sekali Mas Azam. Apa ada yang ketinggalan, ya?” Aku segera ke depan untuk melihat siapa yang datang. Namun, betapa terkejutnya aku ketika membuka pintu ternyata yang datang adalah Pak Rozaq. Dia bersama dua orang pengawalnya membawa tali dan senjata tajam. Sebuah linggis, pisau belati yang sangat menyilaukan mata, dan pistol berada di tangan keduanya.“Assalamu’alaikum, Shafia.” Lelaki tua bangka itu mengucapkan salam dengan senyum yang ramah, tetapi justru membuatku ketakutan. Kepalaku yang sudah sedikit membaik kembali pusing. Ingatan kejadian itu datang lagi.Aku langsung menutup pintu begitu saja tanpa mempersilakan dia masuk. Aku masih takut dengannya. Namun, dia menahan pintu dengan sepatunya. “Fia, kamu harus membayar semuanya!”“Tidak! Hutangku sudah lunas. Aku sudah tidak ada urusan denganmu lagi.” Kudorong pintu dengan punggungku hingga dia menarik kakinya. Hutang apa lagi? Bukankah hutang ayah sudah dilunasi semuanya? Dia pasti mengada-ad
Read more
Takut
“Kolong tempat tidur bersih, Bos!”“Siyalan! Cari dia sampai ketemu!” Aku berteriak kala seseorang menendang pintu almari. Namun, aku berharap mereka tidak mendengar jeritanku. “Sepertinya ada tikus di dalam almari.” Suara Pak Rozaq tertawa hingga menggema di ruangan ini. “Tikus berbaju kuning, Bos?” tanya salah seorang di antara mereka. Ketiganya semakin tertawa terbahak-bahak. Dalam hati kusebut nama suamiku berulang-ulang supaya dia lekas datang. “Aaa!” Aku berteriak dan menggeleng kala dua orang lelaki membuka pintu almari. Aku menepis tangan mereka saat hendak menyentuhku, tetapi aku mencoba melawan meski mereka terlalu kuat. Tanganku sakit ketika mereka menarik paksa tanganku. Aku diseret keluar dari almari kemudian dijatuhkan di lantai dengan kasar. “Ikat dia di ranjang!” perintah Pak Rozaq.“Sekarang, Bos?”“Tahun depan! Ya sekarang, Dodol! Buruan sebelum suaminya kembali.”Aku beringsut mundur dan hendak kabur, tetapi mereka lebih cepat dariku. Aku tidak mau mereka mel
Read more
Musibah
“Kurang Ajar!” Akhirnya Gus Azam berhasil masuk meski dengan lengan yang berdarah. Aku takhenti-hentinya mengucapkan syukur kepada Allah. Suamiku telah datang dan berusaha menyelamatkanku. “Bodoh! Kenapa kamu masih hidup?” Pak Rozaq menutup celananya kembali dan turun dari atasku. “Kamu mau melihat istrimu melayaniku?” tanya Pak Rozaq sinis. “Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi!” ucap Gus Azam kemudian melayangkan sebuah pukulan di wajah Pak Rozaq. Mereka saling beradu pukul hingga Pak Rozaq mengeluarkan pisaunya. Dia menyerang suamiku hingga beberapa bagian tubuhnya berdarah terkena sayatan pisau. Aku hanya bisa menangis melihat perkelahian mereka. Semoga suamiku selamat dan tua bangka itu mendapatkan ganjaran atas perbuatannya. “Rasakan ini!” teriak Pak Rozaq sambil mengarahkan pisau tepat di perut Gus Azam. Aku menjerit histeris melihatnya. Pak Rozaq kabur begitu saja setelah suamiku tergeletak di lantai.“Mas Azaaam!” Aku tidak bisa menolongnya karena tubuhku terikat
Read more
Mulai Menerima
Tangisku yang sudah mereda kembali pecah. Aku dan umi merasa jika kami adalah orang yang paling tersakiti ketika Gus Azam terluka.“Ini semua gara-gara Fia, Umi. Ini salah Fia karena keras kepala ingin pulang ke rumah.”“Umi tidak menyalahkanmu, Fia. Jangan berkata seperti itu. Semua ini takdir Allah. Kita harus sabar dan ikhlas,” ucap umi sambil memelukku. “Kita ke kantor polisi sekarang, Nam. Abah tidak akan membiarkan penjahat sepertinya berkeliaran di luar sana.”Abah dan Gus Anam akhirnya pergi meninggalkan kami. Pak RT pun undur diri karena sudah ada keluarga yang menemaniku. Aku meminta tolong padanya untuk menghubungi nenek dan kakek. “Fia, kamu harus segera diobati!” ucap umi sambil memegang kedua tanganku, tetapi aku menggeleng.“Nanti saja, Umi. Fia mau lihat keadaan Mas Azam dulu.” “Azam akan sedih melihatmu terluka. Kamu adalah hidupnya, dia akan hancur jika melihatmu terluka.”Berkali-kali umi memaksaku, tetapi aku menolak hingga akhirnya keluar seorang suster dari ru
Read more
Takut Kehilangan
“Di mana suamiku?” Aku terperanjat kala bangun tidur tidak mendapati Gus Azam di sisiku. Kemarin dia masuk rumah sakit, tetapi kenapa sekarang aku ada di kamarnya? Siapa yang memindahkanku di sini?Seharusnya aku masih di rumah sakit. Lirih kudengar suara tangisan umi. Aku meraih jilbab yang tergantung di belakang pintu kemudian memakainya. Saat aku keluar, tidak kudapati batang hidung suamiku. “Mas Azam di mana, Umi?”Bukannya menjawab, umi semakin terisak kemudian memelukku. Aku semakin kebingungan melihat perlakuan umi.“Ada apa, Umi?” Ketiga adik Gus Azam saling tatap. Mengapa mereka ada di rumah semuanya? Seharusnya dua adiknya masih mondok. “Fia, kamu yang sabar, ya, Nak. Azam sudah meninggalkan kita,” ujar umi. Bagaikan disambar petir di siang bolong, duniaku runtuh. Untuk apa aku hidup jika tanpa suamiku? Kami baru saja mulai dekat, tetapi mengapa dia pergi secepat ini?“Tidak, Umi! Ini tidak mungkin terjadi, Mas Azam tidak akan pergi meninggalkanku sendiri.”Aku tertund
Read more
Olahraga Malam
“Assalamu’alaikum.” Tiba-tiba umi masuk bersama Gus Anam. Aku dan suamiku menjawab salam bersamaan. Mereka tersenyum menatap kami hingga membuat wajahku memerah. “Alhamdulillah kalian sudah bangun. Umi ada kabar baik,” ucap umi antusias. “Alhamdulillah, kabar apa, Umi? Azam sudah boleh pulang?” tanya suamiku. “Bukan! Dasar pengantin baru, udah nggak sabar bulan madu kayaknya,” ujar Gus Anam sambil melirik tangan kami. Bahkan aku tidak sadar jika sedari tadi tangan kami masih berpegangan. Aku ingin melepasnya, tetapi Gus Azam tidak mau. Dia malah membawa tanganku ke wajahnya. Diusapkannya telapak tanganku di pipinya. “Makanya buruan nikah. Nyesel kamu kalau kelamaan. Nikah itu enak, Nam.” Ucapan suamiku membuatku ingin menyembunyikan wajah di bawah brankar. Rasanya aku sangat malu. “Dih!” Gus Anam mencebik kesal. Ternyata dia juga menginap di rumah sakit ini, tetapi umi bilang Gus Anam tidur di luar membawa selimut karena di ruangan ini ada aku. “Sudah, sudah! Tadi abah bilang
Read more
PREV
1
...
34567
...
14
DMCA.com Protection Status