Semua Bab KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU: Bab 51 - Bab 60
78 Bab
Kesempatan Terakhir
Tanpa berpikir lebih lama lagi ia berjalan setengah berlari menuju mobil. Menginjak tuas gas cukup keras untuk segera sampai di kantor. Bambang adalah manager HRD di perusahaan tempat Rio bekerja. Membayangkan laki-laki yang terkenal dingin dengan wajah sangar itu mampu membuat Rio bergidik ngeri. Sepanjang jalan kepalanya penuh sesak dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sesampainya di kantor. Mungkin dirinya akan diturunkan menjadi staf biasa. Atau kemungkinan terburuknya akan dipecat secara tidak hormat dari kantor. Jika itu terjadi artinya semua yang ia banggakan selama ini akan segera lenyap. Pekerjaan yang ia rintis selama bertahun-tahun akan sirna tak berbekas. Tangan kirinya mengusap wajah kasar. Keringat dingin membasahi dahi serta jemarinya. Dua puluh menit berselang mobil Rio terparkir di depan kantor. Ia bergegas turun dan berjalan cepat memasuki gedung bertingkat itu. Tak ia hiraukan beberapa pasang mata yang menatap aneh ke arahnya. Yang terpenting sekar
Baca selengkapnya
Berita Buruk
Hening beberapa saat. Hanya helaan napas panjang keluar dari bibir Diana yang terdengar menderu. "Ibu rasa Rio tengah menikmati penyesalan atas ulahnya terhadapmu. Sekarang dia baru tahu kalau perempuan yang ia puja-puja dulu jauh lebih buruk darimu. Dengar-dengar dia juga memintamu untuk kembali," ucap Diana hati-hati. "Ya, Bu. Tapi Hana menolaknya," jawab Hana jujur. Ia tak ingin Diana menyimpan tanya dalam hal itu. Terlebih ibu dan ayahnya-lah yang selama ini begitu peduli, hingga ia merasa tak pantas merahasiakannya dari keduanya. "Selama kau masih sendiri, Ibu rasa Rio akan terus datang dengan berbagai alasan, terutama anak," keluh Diana. "Maksud Ibu?" tanya Hana seolah tak paham. Ia sedikit tak nyaman dengan kalimat sang ibu barusan. Kembali helaan napas panjang terdengar. Diana berusaha mengurai sesak di dada. Setiap mendapati Rio berusaha mendekati Hana, kekhawatirannya kembali muncul. "Selama kau masih sendiri, Rio akan terus berusaha kembali. Terlebih istri barunya yan
Baca selengkapnya
Bersikap Akrab
Telepon sejak beberapa menit lalu telah ditutup. Namun, Hana masih juga mematung di belakang kemudi dengan wajah syok-nya. Tangannya sedikit bergetar seiring jantung yang kini berdegub cepat. Setelah dirasa lebih Baik, Hana memacu mobilnya perlahan ke arah sekolah Abi. Dari kejauhan nampak anak laki-laki itu sudah duduk di halte, persis depan sekolah. Tubuh jangkung anak kelas 1 SMP itu kini berjalan mendekat ketika mobil sang mama berhenti beberapa meter darinya. Ya, postur tubuh Abi cukup tinggi untuk anak seusianya. Bahkan ia lebih tinggi dari Hana. Tinggi badannya bahkan hampir setara dengan Rio yang memiliki tinggi badan 167 sentimeter. "Maaf, ya, Bang. Mama agak telat," ucap Hana kala anak sulungnya itu duduk di sampingnya. "Nggak apa-apa, Ma," jawab Abi seraya melepas tas yang sedari tadi berada dalam gendongannya. Kita langsung ke rumah sakit, ya, Bang," ucap Hana. "Mau ngapain, Ma?" tanya Abi dengan alis bertaut. "Kakek keserempet motor, Nak. Atau Abang mau Mama anter
Baca selengkapnya
Dia Akan Menyesal
"Boleh milih, Om?" tanya Abi sambil nyengir. "Boleh, Bi. Enjoy, aja, Bi. Nggak perlu kaku," ucap Hakim sambil menepuk pundak remaja tanggung itu. Ia tengah berusaha membuat anak laki-laki itu nyaman bersamanya. "Bakso yang di sana itu, Om," ucap Abi pelan, seolah takut ada yang mendengar. Telunjuknya terangkat, mengarah ke gerobak bakso di seberang jalan. "Udah pernah makan di sana?" tanya Hakim memastikan. Abi menggeleng. "Kalau Om ajak makan bakso di tempat langganan Om, mau?" tanya Hakim lagi. Kali ini Abi mengangguk. Lagi pula tak ada alasan untuk tidak mempercayai Hakim, sedang ia tahu jika keluarganya pun sudah sangat kenal Hakim. "Ya, sudah, yuk," ajak Hakim sambil melangkah menujuk mobilnya yang terparkir di sebah kanan mereka. Mobil dengan tampilan mewah itu terparkir di ujung dekat gerbang. "Yuk, masuk."Hakim berusaha seramah mungkin. Hakim mulai paham bagaimana karakter anak-anak Hana yang kesemuaannya terbilang pendiam. Mobil Hakim keluar gerbang rumah sakit. Me
Baca selengkapnya
Perbedaan yang Mencolok
Rumah sepi laksana kuburan dirasakan Rio. Tak ada riuh suara anak-anak di dalamnya. Namun, tidak dengan rumah Hana. Di sini, suara riuh rendah anak-anak Hana tengah belajar mengaji terdengar sejak selesai magrib tadi. Mulai dua bulan terakhir Hana memanggil guru ngaji untuk mengajarkan anak-anaknya, karena kesibukannya yang bertambah. Hana sendiri baru saja usai melaksanakan shalat magrib. Bersiap-siap akan kembali ke rumah sakit untuk menemani sang ibu menginap sebentar lagi. Fitri, kakak perempuannya sibuk dengan bayi kecilnya. 15 tahun menikah Fitri baru dikaruniai seorang anak perempuan, hingga satu bulan lalu mengadopsi bayi laki-laki yang baru berusia 2 bulan. Sedangkan Firdaus, abang tertuanya sedang berada di luar kota. Hingga Hana lah yang berperan memenuhi apa-apa yang dibutuhkan ibu dan ayah mereka sekarang. "Mama jadi ke rumah sakit?" tanya Ira yang tiba-tiba menyembul di balik pintu. Hana menoleh. Senyum lembut mengembang di bibirnya. "Ira sama Bik May, ya, ada Kak M
Baca selengkapnya
Suasana Canggung
"Eh, Tante Hana," ucap Shanum sambil tersenyum hangat. Hana diterpa rasa canggung. Untung saja sang ayah tengah tertidur di ranjangnya. Husni tertidur setelah meminum obat pereda nyeri sore tadi. Terdapat balutan perban cukup besar di bagian kaki, tangan dan bagian pelipisnya. "Nenek di mana?" tanya Hana dengan senyum yang dibuat semanis mungkin. "Nenek tadi shalat magrib dulu. Tante duduk dulu," tawar Shanum sambil bangkit dari duduknya. Ia kemudian naik ke pangkuan sang ayah. "Shanum udah lama sampai?" tanya Hana demi mengurai perasaan tak biasa yang semakin pekat terasa. Hana meletakkan barang bawaannya di atas lemari pasien. Lalu duduk tepat di samping Hakim. "Sekitar lima bela menit lalu, Tante. Eh, kenapa Ira sama Ica nggak ikut? Kan bisa main bareng," celetuk Shanum. Tangannya merangkul lengan sang ayah. "Ira sama Ica ngaji, jadi nggak bisa ikut," jawab Hana dengan senyum manis. Shanum terdiam sejenak."Pa, kalau Shanum ngaji sama-sama Ira boleh nggak?" tanya Shanum tib
Baca selengkapnya
Beristikharhlah
Hana berusaha menguasai diri. Sesaat kemudian ia tersenyum tipis."Shanum mau panggil 'mama' juga?" tanya Hana lembut. Ia tengah duduk berhadapan dengan Shanum di lantai beralaskan karpet. Shanum menganggup pelan. "Boleh. Mulai sekarang silakan panggi mama," ucap Hana dengan senyum lembut. Terlalu jahat rasanya bila ia sampai melarang Shanum memanggilnya dengan panggilan demikian. Panggilan yang sama sekali tak merugikan baginya, sebaliknya menambah sayangnya pada anak piatu itu. Tanpa Hana kira sebelumnya, tiba-tiba Shanum memeluknya erat. Membuat Hana dan Diana saling bertatapan, lalu saling melempar senyum canggung. Sedang Hakim kini menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. *Pagi mulai beranjak meninggi. Bau asap knalpon kendaraan beroda menghiasi sepanjang jalan yang Hana lalui. Sesekali debu berterbangan bersama dedaunan kering tanaman penyejuk yang ditanam di pinggir jalan karena tiupan angin. Hana tengah mengendarai mobilnya menuju rumah sakit. Siang ini sang ayah su
Baca selengkapnya
Peresmian
Pagi ini terasa hangat. Sinar matahari nampak cerah menembus celah dedaunan pohon akasia berukuran cukup besar di depan sana. Kicauan burung-burung kecil sesekali terdengar di antara deru mesin kendaraan yang melaju melewati jalan di sebelahnya. Hari ini tepat di hari peresmian rumah makan yang dibangun Hakim bersama Hana. Tepuk tangan membahana dari para tamu yang hadir, kala pita peresmian terpotong menjadi dua. Tangan Hana nampak sedikit gemetaran sambil menjepit gagang gunting di sela jadinya. Wajah cantik berdagu lancip itu menampakkan gurat haru yang luar biasa. Hakim yang sedari tadi berdiri di samping Hana kini berucap, "Selamat, Na. Semoga usaha bersama kita bisa sukses." Bibirnya tersenyum manis. Jauh di relung hati, ia berharap suatu saat dirinya akan berdiri bersisian persis sekarang dengan Hana, untuk kedua, ketiga, bahkan tak terhitung jumlahnya. "Aamiin. Terima kasih untuk kepercayaannya, Bang," lirih Hana dengan bibir bergetar. Haru yang memuncak membuat kedua bol
Baca selengkapnya
Bertemu Keluarga Hakim
Hakim tersentak. Degub jantungnya berlompatan."Mama Hana siapa, Sayang?" tanya sang nenek dengan rasa penasaran. "Itu, Nek. Yang pake jilbab ungu itu Mama Hana namanya," ucap Shanum dengan entengnya. Telunjuknya terarah pada Hana yang tengah sibuk berbagi kisah dengan keluarga besarnya. Marwah menelisik wajah Hana, berpindah pada anak-anak yang duduk di dekatnnya. Setelahnya berpindah menatap Hakim, yang ditatap berusaha membuang muka.Ingatannya kembali pada ucapan Hakim beberapa bulan lalu. "Bagaimana kalau janda dengan tiga anak?" Kalimat yang hingga sekarang masih lekat di kepalanya. "Hakim," panggilnya pelan. Hakim terpaksa menoleh. "I—iya, Ma," jawabnya dengan terbata-bata. Desi dan Irham kini ikut menatap lekat pada Hakim. Setelahnya keduanya saling tatap, lalu melempar senyum. "Nggak jadi. Biar nanti sampai rumah kita bicarakan," ucap Marwah membuat Hakim seketika menghela napas lega. "Boleh, kan, Pa, Shanum nemuin Mama Hana," rengek Shanum untuk kedua kalinya. "Kasi
Baca selengkapnya
Usaha Menggoyahkan
Malam baru saja datang. Rintik hujan sisa tadi sore masih terlihat turun perlahan, menciptakan aroma dingin dan lembab. Hakim melangkah masuk setelah membuka pagar besi setinggi dada orang dewasa. Di belakangnya Shanum mengekor dengan langkah riang. "Assalamu'alaikum," ucap Hakim sambil memutar gagang pintu utama. Di jam seperti ini pintu itu rumah memang belum dikunci. Terdengar jawaban salah dari ruang tengah. Hakim berjalan masuk, sedangkan Shanum kini berjalan mendahuluinya. "Eh, ada cucu Nenek," ucap Marwah sambil mengusap pucuk kepala Shanum. Dengan manjanya Shanum duduk di samping Marwah. Menyandarkan kepalanya di pundak sang nenek. "Eh, Kak Shanum," ujar Fiona yang berjalan dari arah dapur. "Main, yuk, Kak. Fiona ada mainan baru," ajak anak perempuan itu sambil duduk di samping Shanum. "Mainan apaan?" Wajah Shanum menampakkan rasa penasaran. "Fiona baru dibeliin Mama kutek kuku yang bisa di lepas itu," ucapnya sumringah. "Yuk," balas Shanum dengan mata berbinar. Den
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status