Semua Bab Calon Istri Tuan Muda: Bab 31 - Bab 40
103 Bab
32. Fandra Punya Kekasih?
Beberapa saat di posisi itu. Fandra membalas pelukan Vana, mencengkram pinggang gadis itu lembut. Tangan Vana masih bergerak di punggungnya mengusap dengan lembut penuh perasaan menenangkan pria itu.Setelah merasa sudah cukup, kedua tangan Fandra bergerak menjauhkan tubuh Vana darinya kemudian meraih kedua tangan gadis itu.“Terima kasih,” ucapnya pelan tanpa menatap wajah gadis itu.Vana sendiri tidak mengatakan apa pun, perhatiannya tertuju pada wajah Fandra yang tertekuk, dia merasa masih ada yang disimpan Fandra tapi dia tak akan mendesak pria itu untuk mengatakannya. Vana ingat dengan janjinya kalau akan berusaha membuat Fandra membuka hatinya tapi dia tak akan menjaminnya sebab bila diperhatikan, pria itu bukanlah seseorang yang akan dengan mudah membuka hati setelah terluka.“Kau lelah,” kata Vana masih menatap wajah Fandra di remangnya cahaya senja.Tangan Fandra terangkat untuk menyentuh pipinya dan mengarahkan pandangan pada gadis itu.“Aku baik-baik saja. Kau istirahatlah,
Baca selengkapnya
33. Kau Di Sini
Apa yang baru Vana ketahui itu membuatnya termenung sambil berendam di air hangat. Pikirannya berkelana mencari percakapan yang mungkin mengarah pada alasan mengapa kekasih Fandra tidak di sini, dan mengapa nenek ingin Vana menjadi tunangan Fandra alih-alih bersama kekasihnya.Menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Vana tidak tahu mengapa dia begitu serius memikirkannya padahal dia di sana bukan untuk peduli akan kehidupan atau masa lalu Fandra, tapi dia di sana untuk menepati beberapa janji yang pernah dia buat, salah satunya adalah atas janjinya pada Kakek Alatas.“Huft! Apa peduliku coba? Udahlah. Itu urusannya,” kata Vana pada dirinya sendiri lalu dia menenggelamkan kepalanya di bak.Kilasan tentang sikap aneh Fandra dari mulai pagi dan sore setelah pulang kerja bahkan beberapa saat lalu sebelum Vana masuk ke kamar mandi, kilasan itu terulang dalam benaknya membuat Vana memunculkan kembali kepalanya ke permukaan dan megap-megap lalu mengusap wajahnya perlahan.“Ini sunggu
Baca selengkapnya
34. Bernapaslah
Hening. Tidak ada yang bicara dan Fandra kembali sibuk dengan kaki Vana membalutnya perlahan.“Sebenarnya, sudah tidak terlalu sakit,” kata Vana begitu Fandra selesai membalukan kain di kakinya.Fandra menumpukan tangannya di lutut lalu menatap Vana.“Meski begitu, tetap pakai itu untuk beberapa hari. Kulihat bengkaknya masih ada. Kakimu masih sedikit sakit,” katanya. Tapi Vana mengakui apa yang Fandra katakan itu memang benar.Jam menunjukan pukul enam sore, saatnya makan malam. Pelayan Mega masuk dan menyampaikan pesan nenek untuk segera turun. Fandra hanya menolehkan kepalanya tanpa menatap pelayan itu dan masih di posisi jongkoknya, sedangkan Vana di kasur menatap pelayannya.“Hampir semua sudah hadir. Nenek menunggu Nona dan Tuan Muda untuk turun,” katanya menyampaikan.“Baiklah. Kau bisa pergi. Aku akan membawanya turun,” kata Fandra.Vana menatapnya. “Aku bisa berjalan sendiri,” sela gadis itu.Membayangkan Fandra kembali membopongnya dari kamar ke lantai satu ruang makan yang
Baca selengkapnya
35. Pesan Dari Sentuhan
Makan malam itu berlangsung seperti biasa. Vana juga tak banyak bicara, begitu pun dengan nenek juga orang tua Fandra dan pria itu sendiri. Namun, Vana mencuri pandang pada Fiona, sedikit ragu untuk mengatakannya. Sampai mereka beralih tempat ke ruang keluarga, Vana tak berhasil mengatakannya pada Fiona dan tak ada yang menyadari hal itu.Di ruang keluarga itu mereka sibuk mengobrol dan tertawa mendengarkan cerita Fiona tentang kesehariannya di sekolah, dan menonton tayangan komedi di TV yang membuat semua orang terfokus ke layar datar itu, rupanya nenek menyukai tayangan itu, seluruh keluarganya juga. Mereka tahu kapan tayang. Sedangkan Fandra, apa lagi yang dia lakukan selain diam di tempatnya sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Perhatiannya teruju pada TV juga, tapi dia menahan tawanya.Vana berpikir, apa susahnya untuk tertawa? Dia dan pria itu lagi-lagi tersekat Fiona. Gadis kecil itu duduk di antaranya, tertawa begitu keras sampai membuat Vana menatapnya dan ikut terta
Baca selengkapnya
36. Dari Fiona
“Ini kamarku,” ujar Fiona begitu sampai di kamarnya. Dia membuka pintunya lebar.   Vana mengintip. Dekorasi kamar Fiona masih seperti pelajar. Warna fastel mengiasi dinding. Gadis kecil itu menyukai warna hijau dan terdapat boneka Keeropi. Rupanya Fiona menyukai karakter kartun itu, bahkan seprai, tirai, dan bantal gulingnya berkarakter sama, hanya selimut hijau yang bergaris.   “Ayo masuk sini,” ajak Fiona meraih tangan Vana.   Sedikit takjub karena warna yang memenuhi ruang kamar gadis itu lebih banyak hijau. Luas kamar Fiona sama seperti luas kamarnya dengan sofa, rak TV, rak buku, meja belajar, dua pintu di dalam kamar, itu adalah kamar mandi dan ruang pakaian. Bedanya, kamar Fiona tidak ada sekat apa pun, seperti kamarnya.   “Duduk sini,” katanya mengarahkan Vana yang berjalan tertarih ke sofa. “Tunggu sebentar, aku akan segera kembali,” lanjut gadis itu lalu melesat keluar dari kamar. &
Baca selengkapnya
37. Tak Bisa Tidur
Jam menunjukan pukul dua belas lewat sepuuh menit, tapi Vana sama sekali tak bisa memejamkan matanya. Dia hanya diam di atas tempat tidur Fiona yang cukup besar tanpa bergerak. Perhatiannya terpusat pada langit- langit kamar yang di tempeli bintang- bintang yang bercahaya ketika gelap. Hanya ada remang dari lampu hias kecil di dekat TV.Vana mengerjapkan matanya, pikirannya sibuk menerka berbagai hal, mencari potongan puzzle dari setiap cerita yang dia dengar tentang Fandra. Kekasihnya pergi meninggalkannya ketika dia membutuhkan seseorang untuk tetap berada di sampingnya saat masa terburuk di tinggalkan sang kakek.Usai bercerita Fiona tidur, tapi Vana sama sekali tak bisa memejamkan matanya.“Kekasih mana yang tega melakukan itu?” gumam hatinya.Fiona berkata kaau semua keluarga tahu apa yang di lakukan gadis itu tapi Fandra menolak mempercayainya sebelum dia melihat dengan mata kepalanya sendiri apa yang salah dari kekasihnya itu.“Namanya Asheila Tamara. Sisi baiknya, dia pintar,
Baca selengkapnya
38. Di Atasnya
Fandra memperhatikan punggung Vana yang diam di tempatnya.“Aku pernah ke sana, ke pondok itu,” kata Vana memecah hening.Apa yang dia katakan itu semakin membuatnya menatap Vana.“Ke pondok?” Fandra ingin tahu bagaimana Vana bisa ke sana.“Ya. Bersama Nenek,” aku Vana seilas menoleh pada pria itu sambil tersenyum kecil dan sesaat Vana bisa melihat keterkejutan dari ekspresi wajah Fandra.Dia kemudian melanjutkan.“Tapi, Nenek bilang tidak bisa masuk karena kuncinya ada padamu,” katanya sambil menoleh pada Fandra lagi dan tersenyum. Kini dia menghadapkan wajahnya pada pria itu yang masih diam di tempatnya. Entah mengapa Fandra lega mendengar apa yang Vana sampaikan terakhir itu, bahwa dia tidak masuk ke pondok tersebut. Membalik tubuhnya menghadap Fandra dan menyantarkan bahunya di pingkai jendela, Vana memperhatikan ekspresi wajah pria itu dalam keremangan cahaya yang begitu minim. Dia tahu Fandra sedikit gelisah. Vana menduga Fandra tidak suka bila ada yang mendekati pond
Baca selengkapnya
39. Lebih Dalam
Alih-alih mengikuti maunya Vana untuk lepas, Fandra mulai menggerakan bibirnya perlahan. Tapi ketika gerakan Vana akhirnya berhenti tapi sama sekali tak membalas apa yang Fandra lakukan, dia akhirnya bergenti menggerakan bibir lalu melepaskannya perlahan, menjauhkan wajahnya dari gadis itu. “Kau …,” Vana terengah, dadanya naik turun karena marah ketika Fandra melepaskan ciumannya dan sedikit menjauhkan wajahnya. “Apa yang kau lakukan, hah?” tuntutnya dengan nada marah. Vana mendorong dada Fandra tapi tak begitu kuat sehingga hanya membuatnya satu langkah mundur. Vana menepis tangan Fandra yang berada di tengkuknya, napasnya masih naik turun dan tatapannya tajam tertuju pada pria itu. “Apa yang sebenarnya kau lakukan? Kau pikir, aku siapa?” kata Vana masih marah tapi dia tak melepaskan satu tangan Fandra dari tangannya sendiri. Pikirannya kacau karena Fandra dan sebenarnya Vana k
Baca selengkapnya
40. Kau Janji?
Sepasang kelopak mata Vana bergerak ketika sesuatu mengusiknya dan perlahan terbuka. Keremangan ruangan menyambutnya, dia melihat sekitar lalu pandangannya tertuju pada jam weker di atas meja nakas, pukul lima lewat tiga puluh pagi. Dia menahan napasnya ketika menyadari sesuatu memberatkan di bagian tubuhnya dan mendapati lengan kekar di atasnya. Kemudian dia mengingat kembali apa yang sempat terjadi semalam lalu mengintip ke balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya dan menghela napas lega, pakaiannya masih lengkap.Namun, kejadian semalam yang begitu hangat dan dalam membekas begitu jelas dalam benaknya membuat kedua pipinya menghangat, dia malu, tentu saja. Betapa memalukannya ketika teringat kalau dia juga sempat memulainya, sebuah pagutan yang membawa mereka ke pelukan dalam tidur.Dengan hati- hati Vana menggerakan kepalanya untuk menoleh ke belakang dan mendapati wajah yang tak asing itu tengar tertidur lelap. Dia bergerak tanpa membangunkan Fandra yang tidur di belakangnya. B
Baca selengkapnya
41. Mencari Celah
Namun, selewat jam enam lebih lima belas menit pagi, Vana tak kunjung datang ke kamar Fandra lagi, sampai pria itu sendiri sudah siap dengan setelan jasnya untuk berangkat kerja, sama sekali tidak ada yang membuka pintu kamarnya.Dia keluar dari kamar dengan perasaan bingung, Vana berjanji, tapi nyatanya tidak membuat Fandra bertanya- tanya ke mana gadis itu. Tapi pertanyaannya kemudian terjawab begitu dia penutup pintu kamarnya bersamaan dengan Vana yang menutup pintu juga di belakangnya para pelayan berdiri.Dahi Fandra mengerut, pandangannya lurus pada gadis itu yang sedang meminta maaf lewat ekspresi wajahnya. Vana mendekat, melempar senyum kecil padanya yang masih berdiri di tempat.“Pagi, Tuan Muda,” sapanya seperti biasa.Fandra tak menjawab, memasang wajah datarnya. Dia kemudian melengos, mendahului Vana sampai membuat gadis itu berdecak sebal, sudah diramahi malah dicueki, batin Vana sembari memutar bola matanya. Tapi dia tak tersinggung dan mengekori pria itu. Jalannya masih
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
11
DMCA.com Protection Status