Semua Bab Calon Istri Tuan Muda: Bab 51 - Bab 60
103 Bab
51. Suasana Lembah
Tidak banyak yang Vana lakukan di rumah itu ketika malam tiba. Hujan masih turun di luar sana. Hamparan alam terlihat gelap dari jendela yang tak bertirai. Tapi tempat itu hangat dan sejuk karena udara alam yang begitu alami. Tetes air terlihat di dedaunan yang tersorot cahaya lampu. Vana memperhatikannya sambil merenung. Tempat itu damai, menenangkan pikirannya yang sempat berkecamuk. Di sini, dalam ketenangan malam bersama alam, melodinya terdengar begitu indah di luar sana, suara derasnya air sungai yang tak jauh dari rumah, gemericik air, keciur angin, serta binatang malam yang terdengar. “Apa yang dia lakukan?” pikirnya penasaran dengan pandangan menyapu kegelapan di depan sana. Usai makan malam dan mendengarkan cerita Masayu tentang kepindahan mereka ke lmbah itu untuk menghabiskan watu tuanya setelah pensiun dari segala tekanan kota dan pekerjaan, mereka hidup damai di sana meskipun hanya berdua saja d
Baca selengkapnya
52. Tarikan Alam
Meskipun pagi itu hujan turun dengan gerimis, tapi mentari tetap menyinari bumi. Cahayanya yang kemerahan begitu indah terlukis di langit timur, kemunculan yang begitu menakjubkan.Vana berdiri diam di tempatnya berpijak. Dia masih bisa melihat matahari terbut itu dengan begitu jelas sekali di balik gerimis yang turun sedikit menaikan intensitasnya. Tapi hal menakjubkan terjadi seiring matahari terus naik, bias cahaya menembus rintik hujan itu menghasilkan lukisan indah yang begitu besar dan nyata. Kedua mata gadis itu berbinar, senyum haru terlukis di bibirnya.“Pelangi,” dia bergumam takjub melihat ke arah barat di mana pelangi melengkung begitu nyata dan dekat dari tempatnya berdiri walaupun dia tahu, itu hanyalah bias cahaya matahari. “indah.”Tak ingin melewatkan kesempatan langka itu, dia mengeluarkan ponselnya dari saki celana lalu mengabadikannya dalam beberapa jepretan kamera ponselnya dari berbagai angle dan memeriksanya. Tapi sesuatu menarik perhatiannya dari layar ponsel i
Baca selengkapnya
53. Kejutan
Seperti yang diduga, dan dikatakan pasangan itu, debit air sungai memang deras karena hujan. Suaranya juga terdengar begitu keras. Tapi airnya jernih. Lebarnya sekitar tiga setengah meter, panjangnya entar berapa. Vana menuruni undakan batu untuk ke sisi sungai yang berpasir kasar. Dia berdiri di sebuah batu pandangannya mengedar menyusuri area sungai itu. Dia mengatur napasnya tapi tersenyum puas. “Akhirnya,” desahnya. Tempat itu sepi, hanya terdengar suara air dan kesiur angin. Langit mendung di atas sana tapi hujan sudah berhenti dan cahaya matahari tertutup awan kelabu, tapi pancarannya masih terlihat di ufuk timur. “Aku penasaran dengan seberang sana. Tapi, bagaimana aku menyeberangi sungai ini?” gumamnya menganalisis setelah merasa cukup berdiam diri di sana. Dia melirik kanan dan kirinya, tidak ada jembatan. Hanya ada batu-batu besar yang mungkin bisa dia pijak untuk mengantarkannya ke seberang sungai. Tapi aliran air sungai yang deras membuatnya sedikit takut. Belum perna
Baca selengkapnya
54. Terjebak Hujan
Entah Fandra hanya ingin menggoda Vana atau memang sengaja melakukan itu. Tapi setelah menyusupkan tangan kanannya di pinggang Vana dan memeluk gadis itu dari belakang, dia menyerukkan wajahnya di belakang leher Vana, menyembunyikan setengah wajahnya di rambut panjang gadis itu. “Hen- hentikan!” Sengal Vana ketika sesuatu yang lembut dan lembab mengecup tengkuknya. Seringai Fandra hadir, tapi tentu saja Vana tidak tahu. “Ap- apa yang kau lakukan, hm?” tanyanya terbatas. Susah payah menahan suaranya agar tak meloloskan sebuah desahan.  Fandra tak menjawab tapi menghentikan aksinya tanpa mengambil jarak. Vana bergerak gendak mengubah posisi tapi Fandra menahan gerakannya. Hujan mengguyur semakin deras, mengaburkan pandangan. Kabut juga mulai menutupi pandangan, membuat sekitarnya agak gelap. “K-kau itu, ap
Baca selengkapnya
54. Yang Menyusup ke Balik Kemeja
JDER!Kilat menyambar dibarengi gemuruh guntur langit, tepat di dekat mereka dan itu mengagetkan Vana yang seketika menjatuhkan ponsel yang di pegangnya untuk menutupkan kedua tangannya ke kedua telinga.“Simpan ponselnya, bahaya!” seru Fandra setelah gemuruh mereda.Vana patuh, tanpa kata, dia mematikan ponselnya. Suara keras yang begitu membuat jantungnya berdegup kencang menakutkan sekali.“Suaranya dekat sekali ya kalo dari sini,” katanya, memanjangkan lehernya untuk melirik sekitar.Sawah itu tenang, hanya tertiup angin pegunungan yang dingin, di tambah hujan, semakin dingin.“Itu sudah biasa di sini, jadi penduduk tidak ada yang menyalakan televisi, ponsel atau elektronik lain ketika hujan lebat seperti ini,” jelas Fandra yang juga mematikan ponselnya setelah mengirim pesan singkat pada sang nenek supaya tidak teralalu khawatir.[ Kami baik saja, Nenek tak perlu khawatir, aku akan menjaganya. ]Fandra juga mengedarkan pandangan ke sekitar. Ladang yang tak jauh dari sana juga tam
Baca selengkapnya
56. Suasana, Tarikan Tak Kasat Mata, atau Hatinya?
Bahkan di bawah pun, Vana tidak jauh dari Fandra, tetap menempelkan dirinya pada lengan pria itu yang tengah sibuk menyalakan tungku perapian. Dia sudah terbiasa menyalakannya secara manual, dengan korek api kecil yang ada di sana lalu membakar kertas, menimbunnya dengan jerami keringin yang dia dapatkan tak jauh dari tungku dan kayu bakar. Di saung itu persediaannya lengkap, ada apa saja di sana, bisa menemukan apa pun yang di butuhkan karena kedua suami istri tua itu sudah mempersiapkan segala kemungkinannya bila terjebak di sana ketika musim hujan tiba, sayangnya tidak ada selimut. Tapi, entah juga, Fandra belum memeriksa lemari kayu yang ada di atas itu, berada di sudut. Biasanya di sana ada bantal atau selimut. Ah, kenapa dia tak terpikirkan untuk itu? Api mulai membesar melalap kaku bakar. Barulah Vana melepaskan diri dari Fandra, tapi tak begitu jauh, masih menempelakn dirinya pada pria itu yang mengulurkan kedua tangannya ke tungku.
Baca selengkapnya
57. Akan Rindu
Sepanjang sisa hujan yang mulai berangsur mereda itu yang Fandra lakukan hanya diam saja di atas kepala Vana yang masih tidur. Sesekali dia memainkan ponselnya setelah merasa kalau guntur dan kilat tak terdengar begitu keras. Sampai lenguhan kecil dari gadis itu terdengar, Fanda pura-pura sibuk dengan tungku yang sudah mulai kehabisan kayu bakarnya. Kedua kelopak mata Vana mulai terbuka perlahan. Hal pertama yang dia lihat adalah arang di tungku perapian karena posisinya menyamping. Dia mengerjap beberapa saat, lantas menggerakan kepalanya ke atas, melirik Fandra yang menoleh padanya. “Kau bangun,” sambut Fandra, datar, terkesan agak kesal. Tapi sebenarnya tidak. dia cukup menikmati kebersamaan tanpa kata itu. “Ya. Maaf, aku tidur,” ujar Vana, bangun dari rebahannya. Tapi udara masih dingin dan dia mengeratkan selimutnya. Mengedarkan pandangan ke segala arah, hujan tak lagi se
Baca selengkapnya
58. Waktunya tak Tepat
Kembali ke Mansion Alatas, Fandra dan Vana bersikap seperti biasa, cuek, dingin, atau berdebat kecil dan cekcok untuk beberapa hal sepele. Tapi itu bukanlah apa-apa bagi yang lain, sudah terbiasa dan menyadari kedekatan di balik perbuatan keduanya. Mungkin terlihat tak dekat ketika sedang bersama anggota yang lain, tapi ketika hanya ada berdua saja, mereka seperti pasangan kasmaran yang kaku. Tapi karena Vana masih bersama ketiga pelayannya dan kembali menjalankan pelatihan di sela jadwal kerjanya. Sejauh ini, Vana bisa mengimbanginya. Berlatih dan bekerja. Namun, dia sama sekali belum memberi tahu Fandra soal kerjanya dan Vana juga tidak tahu di hotel siapa dia bekerja, dia hanya ingin memasak lagi, itu saja. Meskipun tidak tahu di mana dia bekerja, tapi ada Arzal yang selalu ada bersamanya. Dapur hotel itu cukup besar dan luas serta peralatannya juga lengkap dengan bahan-bahan berkualitas yang sempurna memudahkan tim dapur menyajikan makan
Baca selengkapnya
59. Kebersamaan yang Singkat
Fandra sedikit terlambat pulang saat makan malam. Dia segera bergabung ke ruang makan yang hampir selesai. Dia sempat terdiam ketika menghampiri mejanya di mana Vana berada, dia melihat punggung gadis itu dan teringat dengan seseorang yang berada di pinggir jalan sore tadi.“Akhirnya kamu pulang,” sambut nenek.“Ya, rapatnya agak lama,” kata Fandra.“Tidak apa-apa, setidaknya masih sempat makan bersama kita,” kata Nenek Xu Mei.Hanya anggukan kecil dari Fandra. Dia menerima piringnya yang telah di isi oleh Vana.“Makasih,” dia berucap.Vana hanya membalasnya dengan senyuman. Perhatian Fandra sesaat tertuju pada piring milik gadis itu yang sudah habis.“Kau tak tambah?” tanya pria itu sambil menyendok nasinya dan menyuapkannya ke mulut.“Tidak, udah kenyang,” jawab Vana. Dia juga menyediakan air minum untuk Fandra dan menunggu pria itu menghabiskan makanannya sedangkan yang lain sudah selesai.Melihat apa yang Vana lakukan, nenek dan Diana saling tatap begitu juga Alan, ayahnya Fandra
Baca selengkapnya
60. Keputusan Nenek
Semua orang sudah berkumpul di ruang tengah yang biasa mereka gunakan untuk bersantai setelah makan bersama, tapi suasananya tampak serius sekali, melihat ekspresi nenek yang terdiam, juga ayahnya Fandra serta ibunya. Seperti biasanya, Fandra dan Vana duduk berdampingan di sofa bersama Fiona yang tidak ingin jauh dari Vana dan selalu menempel di jam usai makan malam sehingga Fandra tak punya kesempatan untuk menjahilinya, tapi itu bukanlah masalah, dalam diamnya, dia menarik tangan Vana ke belakang tubuhnya untuk dia pegang. Nenek menarik napasnya panjang lalu mengangkat wajahnya dan menatap wajah-wajah yang hadir di sana bergantian, ada keharuan di matanya, menyusup ke hati Vana. “Baiklah, tanpa menunda lagi, Nenek akan menyampaikan keputusan yang sudah Nenek ambil setelah memikirkannya cukup lama,” katanya lalu menjeda dan mengarahkan tatapannya pada Fandra. Mereka semua menunggu apa ya
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
11
DMCA.com Protection Status