All Chapters of Jejak Luka: Chapter 21 - Chapter 30
57 Chapters
Bab 21
"Eh, Anak Setan! Siapa yang suruh kamu tidur di situ?!" pekik Ramon lantang, ketika mendapati Radit tidur pulas di atas kasurnya. Ramon baru pulang saja pulang dari kantor, tubuh dan pikirannya lelah, apalagi hari ini pekerjaannya lumayan banyak. Jelas dia marah besar melihat Radit seenaknya meniduri ranjangnya. Bukankah anak setan itu janji tidur lantai? Radit bergeming, sama sekali tak terganggu dengan suara Ramon yang lumayan keras itu. "Eh, anak setan! Bangun! Kamu tidur apa mati?" sekali lagi Ramon berusaha membangunkan Radit yang tidur begitu pulas itu. Pemuda sembilan belas tahun itu masih tak bergerak, rupanya dia begitu nyenyak. Hingga suara Ramon tak sanggup membangunkannya. Ramon yang sudah sangat jengkel dengan Radit itu, menarik kasar kaki Radit dan mengocangnya. Akhirnya tubuh pemuda itu merespon, dia mengeliat. Dan sialnya dia mengeluarkan suara menjijikkan. "Duuut .... " Radit mengeluarkan angin busuk dari pantatnya, yang membuat Ramon buru-buru menutup hidung.
Read more
Bab 22
Radit terbangun dari tidur nyenyaknya, saat mendengar suara gaduh entah dari mana. Seperti suara mesin, tapi Radit tidak tahu mesin apa. Dia melongok ke arah tempat tidur, dimana Ramon semalam tidur. Tapi tempat itu nampak kosong, diliriknya jam yang menempel di dinding. Masih pagi ternyata, baru jam 3. Batin Radit. Karena tak bisa tidur lagi, Radit memutuskan pergi ke dapur. Sepertinya suara gaduh itu dari arah sana, sekalian ambil minum. Radit tertegun melihat pemandangan di depannya. Lilik dan anak-anaknya sedang sibuk membuat kue, dibantu si jutek Ramon. Gila! Kalau tidak melihat dengan kepalanya sendiri, Radit tak akan percaya. Laki-laki gagah dan berwibawa, dengan wajah tampan dan karier cemerlang, tanpa sungkan sibuk di dapur. Mengangkat kue yang sudah matang, lalu menggantinya dengan adonan yang sudah siap dioven. Kegiatan yang biasa dilakukan wanita itu, nampak begitu luwes dilakukan Ramon. Jelas Terlihat kalau pekerjaan ini biasa dia lakoni. Sisi lain Ramon, yang baru Radi
Read more
Bab 23
"Brug!" Punggung Radit menabrak dinding di belakangnya, akibat didorong Ramon. Pemuda itu meringis kesakitan. Mereka sedang berada di toilet kafe sekarang. Untuk tidak ada orang lain, jadi tak ada yang melihat kegaduhan yang mereka ciptakan. "Aduh, sakit Mas," adunya, tapi Ramon tak ambil peduli. Dia justru mencengkeram leher baju Radit. "Kenapa nggak ngabari kalau kamu sudah di terima?" tanya Ramon dingin."Lepas dulu, Mas. Kita bisa bicara baik-baik," bujuk Radit, sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Ramon. Ramon melepaskan cengkeramannya, tapi sorot matanya masih menunjukkan amarah. "Jelaskan!" "Bukannya aku nggak mau ngabari, Mas. Aku hanya tidak mau merepotkan Mas Ramon dan Bu Lek Lilik." Sebelum berangkat ke Semarang, Hadia sudah berpesan untuk menemui Ramon dan Lilik. "Kenapa tidak tinggal bersama Masmu, saja? Lumayan kan bisa irit biaya kos," ucap Hadi kala itu. Hadi sangat ingin Radit dan Ramon tinggal bersama, dia ingin kedua anaknya akur. Biarlah Ramon ma
Read more
Bab 24
"Ardia!" lantang suara Ramon memanggil gadis berambut sebahu itu, bukannya berhenti Ardia justru mempercepat langkahnya. Sampai hari ini, meski sudah tiga bulan berlalu, sejak peristiwa ciuman tak sengaja itu. Ardia masih malu kalau bertemu Ramon, kalau nggak penting banget, sebisa mungkin dia menghindari pria yang jarang senyum itu. "Anak itu kenapa, sih? Dipanggil kok malah kabur? Memang mukaku menyeramkan, apa?" gerutu Ramon dalam hati. Dia mencoba mengingat-ingat kembali, punya salah apa dia sama gadis berwajah lembut itu. Apa yang pernah dia lakukan? Hingga Ardia selalu menghindarinya? Nihil, Ramon tak menemukanya. "Bro!" Sebuah tepukan mendarat di bahu Ramon, yang masih menatap Ardia. "Lagi lihat apa, sih?" Anton mengikuti arah tatapan Ramon. "Oh, Ardia? Kenapa dia? Kok kayak dikejar hantu gitu?" Ramon mengangkat bahu, menjawab pertanyaan Anton. Dia sendiri tak tahu kenapa Ardia bisa begitu. "Kalian ada masalah?" tanya Anton lagi. "Aku juga nggak tahu, Ton. Ardia selalu ka
Read more
Bab 25
"Brug!" Punggung Radit menabrak dinding di belakangnya, akibat didorong Ramon. Pemuda itu meringis kesakitan. Mereka sedang berada di toilet kafe sekarang. Untuk tidak ada orang lain, jadi tak ada yang melihat kegaduhan yang mereka ciptakan. "Aduh, sakit Mas," adunya, tapi Ramon tak ambil peduli. Dia justru mencengkeram leher baju Radit. "Kenapa nggak ngabari kalau kamu sudah di terima?" tanya Ramon dingin."Lepas dulu, Mas. Kita bisa bicara baik-baik," bujuk Radit, sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Ramon. Ramon melepaskan cengkeramannya, tapi sorot matanya masih menunjukkan amarah. "Jelaskan!" "Bukannya aku nggak mau ngabari, Mas. Aku hanya tidak mau merepotkan Mas Ramon dan Bu Lek Lilik." Sebelum berangkat ke Semarang, Hadia sudah berpesan untuk menemui Ramon dan Lilik. "Kenapa tidak tinggal bersama Masmu, saja? Lumayan kan bisa irit biaya kos," ucap Hadi kala itu. Hadi sangat ingin Radit dan Ramon tinggal bersama, dia ingin kedua anaknya akur. Biarlah Ramon ma
Read more
Bab 26
"Kok kesini, Mas?" Radit menatap Ramon dengan wajah bingung. Pasalnya Ramon tidak membawanya ke apartemen seperti yang dia janjikan, melainkan ke rumah Lilik. Ya, Ramon memilih kabur daripada terus meladeni pertanyaan- pertanyaan dari Mira. Calon mertua yang disodorkan Anton. Dari bicaranya, Ramon tahu kalau Mira tipe mertua yang menilai segala sesuatu dari materi. Sedangkan Attaya, Ramon belum bisa menilai, karena gadis itu tak banyak bicara. Tapi kalau ibunya saja seperti itu, hampir bisa dipastikan anaknya pun tak jauh beda. Sedangkan Ramon mendambakan wanita yang tulus mencintainya, menerima dirinya apa adanya. Karena Ramon sadar, sebagai manusia dia punya banyak kekurangan, apalagi dia trauma terhadap pernikahan orang tuanya. Tak ingin salah mencari calon istri, Ramon memilih buru-buru pergi, setelah membayar semua tagihan. Tentu dia tidak ingin membuat Anton rugi. "Eh, Anak Setan! Kamu mau ke kampus ngesot? Kita kesini ambil motor dulu!" ketus Ramon. Radit langsung terdiam m
Read more
Bab 27
Baru saja Ramon beres memarkirkan mobil tiba-tiba seseorang memanggil namanya. "Ramon!" Ramon menoleh, mendapati Anton yang terburu-buru melangkah ke arahnya dengan wajah gusar. "Kenapa lagi kamu? Itu muka butek amat?" tanya Ramon sambil melangkah meninggalkan basement. "Kampret lo, ah! Pakai nanya kenapa. semalam aku diomelin Tante Mira gara-gara kamu main kabur, tau nggak!" Ramon menjengah, pagi-pagi bukannya disambut dengan senyum manis, ini malah kena omel Bapak-Bapak bermulut sadis."Derita, Lo!" sahut Ramon cuek. Siapa suruh main jodoh-jodohin tanpa konfirmasi, dia sendiri, kan? Kenapa sekarang menyalahkan Ramon? Aneh memang. "Sialan lo! Ngapain juga kamu pakai cerita, kalau bapakmu kawin lagi. Tante Mira jadi ilfeel sama kamu." Ramon terkekeh mendengar ucapan Anton. Memang itu yang dia inginkan, Tante Mira dan Attaya ilfeel dan langsung mundur teratur. Memang apalagi? "Bodo amat!" jawab Ramon santai, hingga memancing emosi Anton. "Plak!" Anton menggebuk punggung Ramon ker
Read more
Bab 28
Jam menunjukkan pukul 9 malam, saat Ramon keluar dari ruangannya. Suasana terlihat sepi, sepertinya dia orang terakhir yang berada di kantor ini. "Tolong ....! Tolong ....!" Saat Ramon sampai di basement, terdengar suara wanita minta tolong. Buru-buru Ramon berlari menuju sumber suara. Di depannya nampak wanita yang sangat dia kenal sedang ditarik-tarik oleh seorang pria. Ardia. "Lepaskan!" bentak Ramon dengan suara menggelegar. Sontak laki-laki menoleh ke arah Ramon, hingga menyebabkan pegangannya mengendur, dan langsung dimanfaatkan oleh Ardia untuk melepaskan diri, lalu sembunyi di belakang punggung Ramon. "Jangan ikut campur, kamu! Ini urusan keluarga!" sentak laki-laki itu tak terima."Pak Ramon, tolong saya, Pak! Saya nggak mau ikut orang ini," melas Ardia, tangannya memegang erat baju Ramon bagian belakang. "Pergi, atau aku panggil security!" ancam Ramon, tapi sepertinya laki-laki itu tak takut sama sekali. "Silahkan! Silahkan panggil security, atau polisi sekalian. Saya
Read more
Bab 29
"Oke, oke, saya mengerti. Lalu apa yang bisa saya lakukan untuk membantumu, Ar?" Ardia mengangkat kepala, menengadah menatap Ramon lekat-lekat. Laki-laki itu menawarkan bantuan? Bantuan yang seperti apa?"Mas, mau bantu saya?" Ramon mengangguk mantap. "Bantu apa?" Ramon tergagap. "Mm .... Apa yang bisa aku lakukan? Maksudku kalau kamu ada masalah, jangan sungkan-sungkan minta bantuan padaku" ucap Ramon akhirnya.Ardia mengangguk, lalu membuang pandangan ke tempat lain. Suasana jadi serba canggung, apalagi tangan Ramon masih bertengger di pundaknya. Entah mengapa, dia merasa nyaman dipeluk Ramon begini. Ardia menatap pundaknya, kemudian beralih menatap Ramon. Membuat laki-laki itu segera menarik tangannya. "Maaf," ucapnya canggung. Hening, tak ada lagi percakapan di antara keduanya. "Kita pulang sekarang," ucap Ramon tegas. Dia kembali pada mode songongnya. "Ah, iya. Kita pulang sekarang, Pak. Eh, Mas." Kalau tadi Ardia merasa nyaman, dan tak canggung menceritakan permasalahannya
Read more
Bab 30
"Tega, kamu! Dia itu papa tirimu, kenapa kamu rayu!" Renita yang dibutakan cintanya pada Roy, justru menuduh Ardia yang menggoda Roy. Dia tidak melihat wajah lebam Ardia, dan luka di beberapa tubuh Ardia. Tiba-tiba Roy bangkit dari posisinya. "Hai Nenek peyot! Kamu sudah pulang," ucap Roy, sambil cengengesan khas orang mabuk. "Diam kamu, Roy!" bentak Renita emosi. "He ..., he ..., jangan marah, Sayang. Nanti keriputmu tambah banyak." Roy memeluk tubuh Renita dan menciumi wajahnya. "Dasar laki-laki sinting! Mabuk aja kerjamu! Apa kamu lakukan di sini, heh!" Aroma alkohol yang menguar dari mulut Roy, membuat Renita sadar, kemungkinan bukan Ardia yang menggoda Roy. Melainkan Roy yang memaksa Ardia. Apalagi dia bisa melihat dengan jelas beberapa bekas cakaran di tubuh putri semata wayangnya. "Plak!" Tamparan Renita melayang di pipi Roy. "Dasar laki-laki tidak tahu terimakasih! Aku capek-capek kerja memberimu makan, tapi kamu malah menggagahi anakku!" "Kamu berani menamparku Nenek P
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status