Semua Bab Rombongan Pengantin dari Alam Gaib: Bab 11 - Bab 20
36 Bab
Menepati Janji
Sudah tiga hari lamanya pencarian Nilam terus dilakukan. Untuk menghindari warga yang kelelahan, Pak Lurah sampai mengatur jadwal layaknya jadwal ronda. Begitu juga Bah Karsun, setiap malam beliau mencoba berzikir agar bisa berinteraksi dengan 'mereka' yang membawa Nilam, sayangnya mereka belum ingin terbuka. Bu Rodiah terlihat lebih kurus, seharian ia hanya duduk di teras—menatap jalanan, berharap semoga anaknya segera datang. Untung saja Nur dan Indah bersedia bulak-balik dari desa mereka ke Desa Wangunsari untuk mengurus Bu Rodiah. Untuk Pak Wahyu, beliau sudah tidak terlalu menunjukan kesedihannya, bahkan masih ikut aktif mencari. Pagi-pagi sekali Indah sudah datang membawa beberapa sayuran mentah untuk dimasak di rumah ibunya. Wanita berjilbab segitiga merah itu memarkirkan motornya di halaman, lantas menyalami Bu Rodiah yang masih duduk di teras. Kantung matanya tampak turun, akibat kurang istirahat. "Ibu, masuk, yuk. Teh Indah bawa bubuk cokelat, oleh-oleh dari A Hafiz. Past
Baca selengkapnya
Rahasia Bu Rahayu
Sebelum Bu Rahayu bercerita tentang kejadian semalam, Ela sadar dari pingsannya. Cepat-cepat Teh Rita membantu gadis itu berdiri lalu merebahkan badannya terlebih dahulu di ranjang agar lebih baikan. Tak lupa Bu Rahayu meminta putrinya membuatkan teh manis hangat untuk Ela. "Makanya, jangan ngelamun. Harus banyak istigfar," ucap Bu Rahayu sembari memijat kaki Ela. "Gak usah dipijat atuh Bu. Ela teh gak enak sama Ibu kalo kayak gini," ucap gadis itu berusaha bangkit dari posisi berbaringnya, tetapi Bu Rahayu menahan supaya Ela tetap diam. "Kamu udah Ibu anggap anak sendiri. Jangan ada bahasa gak enak segala. Sok diem sekarang mah. Namanya orang kesurupan, sebadan-badan sakit." Bu Rahayu beranjak dari ranjang, lantas berjalan ke arah nakas untuk mengambil minyak cengkeh di laci. Beliau dan Teh Rita selalu punya minyak itu untuk menghilangkan masuk angin dan juga pegal di badan. Tak berapa lama, Teh Rita datang membawa segelas air yang masih mengepul, ia menyimpan air tersebut di nak
Baca selengkapnya
Pertikaian Antar Saudara
Kedatangan Hafiz dan dua orang asing di jam malam itu disambut oleh keluarga Pak Wahyu. Nur sampai menyimpan ponsel milik Nilam di tempat paling aman. Tadinya, ia ingin langsung mencari nomor Putri, tetapi waktunya sangat kurang tepat. Nur dan Bu Rosidah dibuat saling pandang ketika melihat penampilan salah satu tamunya. Pria itu memiliki rambut putih dan panjang sampai pundak. Ia memakai ikat kepala batik, bajunya serba hitam, ditambah segala macam aksesoris dari batu-batuan membuatnya terlihat begitu ramai. Belum lagi janggut tangannya sibuk mengusap janggut yang senada dengan warna rambut. "Pak, Bu," ucap Hafiz sembari menyalami mertuanya dengan takzim. "Perkenalkan, ini namanya Abah Padri, beliau akan membantu kita untuk mencari Nilam."Ada senyum keterpaksaan dari Pak Wahyu. Bukan tidak senang, ia bersyukur banyak orang baik yang ingin menolong, apalagi ini menantunya sendiri. Hanya saja, ia tidak mau menambah beban dengan melibatkan lagi orang luar. "Silakan duduk dulu," ucap
Baca selengkapnya
Masa Lalu yang Membekas (1)
Semua orang seolah membeku ketika seseorang memanggil dari luar. Gegas Nur berlari ke arah pintu lalu membukanya. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan ketika mengetahui siapa yang datang saat ini. Yaitu Teh Rita. Memang tidak dipungkiri, suara Teh Rita dan Nilam memiliki kemiripan.Ada desah kecewa dari Bu Rosidah. Wanita itu menjatuhkan diri di sofa, merasakan ulu hatinya sakit, juga asam lambung yang kembali naik akibat cemas berlebihan. Kalau sudah seperti ini, kakinya ikut mendadak lemas. Indah yang melihat wajah pucat ibunya buru-buru menghampiri. "Assalamualaikum. Maaf kalau saya teh sudah menganggu malam-malam. Sebenarnya saya tidak enak, tapi saya lihat lampu rumah ini masih menyala. Jadi, terpaksa saya ke sini buat nganterin ini." Teh Rita membuka tote bag yang ia bawa lalu menyerahkan kebaya putih dan kain milik Nilam yang diantar secara gaib. "Waalaikumsallam." Dahi Nur mengernyit, ia menatap pakaian yang dipakai oleh adiknya terakhir kali saat dia pergi. Bu Rosidah langsung
Baca selengkapnya
Masalalu yang Membekas (2)
Tepatnya sekitar 44 tahun yang lalu, saat itu Rahayu berumur 16 tahun. Namun, keterbelakangan status sosial membuat anak pada zaman itu menikah di usia dini. Umur 16 tahun dianggap sudah sangat matang untuk berumah tangga.Rasa bahagia tentunya tengah menyelimuti perasaan Rahayu karena sang kekasih yang bernama Jaya, datang melamar. Dengan lantang Jaya meminta Rahayu pada Abah Yusman dan Mak Dasimah, pria itu ingin mempersunting Rahayu dengan segera."Abah mah gimana Rahayu saja. Kalau putri Abah mau, ya, silakan," ucap Abah Yusman sembari menghisap cerutu. Bau tembakau menguar, asapnya memenuhi rumah dengan dinding bilik tersebut. Rahayu tampak malu-malu di samping sang ibu ketika abah dan emaknya menatap ke arah Rahayu, seakan meminta jawaban. Perasaan cinta untuk Jaya terlampau besar, rasanya Rahayu sudah sangat mantap untuk menjalani hari-hari sebagai istri. Gadis berkebaya cokelat dengan motif bunga kecil itu mengangguk, membuat Jaya tersenyum bahagia. Pekerjaan sebagai buruh t
Baca selengkapnya
Asmara yang Sulit
Langkahnya terhenti kala ia melihat Kusuma memeluk Jaya begitu erat. Tak ada kata yang keluar, hati Rahayu seperti teriris belati. Bibirnya bergetar, bebarengan dengan telapak tangan yang dingin dan berkeringat. Kedua insan itu berdiri di jalan setapak yang memisahkan ladang kanan dan kiri. Sementara itu, Rahayu langsung bersembunyi di sebelah kanan, tetapi masih bisa menyaksikan pemandangan mesra di depan sana. "Kenapa Akang malah mau nikah dengan Rahayu? Padahal, selama ini Akang tahu kalau Kusuma cinta sama Akang," ucap Kusuma, suaranya terdengar bergetar, tetapi masih ada desah manja yang keluar. Tangan Rahayu langsung mengepal di dada, merasa degup jantungnya mengencang. Ia tidak menyangka, padahal selama ini Kusuma terkesan mendukung hubungannya dengan Jaya. Jika saja Kusuma bilang, mungkin pantang bagi Rahayu untuk membuka hati. "Kita itu bagai bumi dan langit. Nyai anak Juragan, sementara saya hanya buruh tani. Tidak mungkin akan ada kisah cinta seperti dongeng. Nyai Kusum
Baca selengkapnya
Tentang Takdir
Kendaraan roda empat milik Putri sudah sampai di halaman kos-nya. Karena tempat kuliah yang jauh, Putri terpaksa tinggal sendirian di ibu kota. Gadis berdarah Sunda itu tidak terlalu menyusahkan orang tua, sebab ia mendapatkan penghasilan dari kegiatannya di sosial media. Kosan Putri terbilang tempat yang cukup bagus, memiliki empat lantai dengan tipe C—di mana tipe ini mempunya fasilitas lengkap seperti AC, TV, ranjang yang bagus, dan pastinya tidak perlu memikirkan pakaian kotor. Semua sudah dijamin oleh pemilik kos. Putri yang sudah sampai di kamarnya, menjatuhkan diri di ranjang berseprai putih. Ia terdiam sejenak, merasakan keheningan yang membuat suasana semakin sepi. Sama seperti kehidupannya saat ini. Kesepian. Orang yang paling rajin menanyakan kabar adalah Ayu, apalagi saat mengetahui postingan Putri, saudaranya itu selalu meminta Putri untuk menghapusnya. Namun, tidak pernah Putri gubris sama sekali. Putri mulai bangkit dari tempat tidur, ia meraba remot AC yang tergele
Baca selengkapnya
Pulang (1)
Motor ninja merah melenggang masuk melewati jalanan setapak di Desa Wangunsari. Udara segar serta hijaunya lahan pertanian membuat si pengendara terus saja tersenyum. Tidak ada lagi tempat ternyaman selain kampung halaman. Suasana kota yang terasa penat, menjadikan desa sebagai tempat healing terbaik.Kendaraan roda dua tersebut berhenti di depan rumah Lurah Agus. Pria itu membuka helmnya, memperhatikan rumah yang sudah tiga bulan tidak dikunjungi. Tampak sepi, padahal sebentar lagi masuk waktu Ashar. Namanya Ridwan, anak Lurah Agus yang pertama. Pria itu sibuk bekerja di kota sebagai kepala bagian administrasi di salah satu perusahaan makanan online. Sengaja Ridwan jarang pulang menemui kedua orang tuanya karena selalu ditanya perihal pernikahan. Padahal, ia masih betah menyendiri setelah hubungan kandas bersama seorang wanita yang juga berasal dari Desa Wangunsari. Biasanya deru motornya akan disambut hangat oleh Bu Inggit, tetapi wanita itu tak kunjung keluar. Setelah membuka sar
Baca selengkapnya
Pulang (2)
Di bawah pekat malam, tak ada cahaya bintang yang berkelipan. Konon, penanda hari akan hujan. Nur duduk di teras, memikirkan segala masalah yang menimpa keluarganya saat ini. Belum lagi, Bu Rosidah menjadi sakit-sakitan. Suara batuk Bu Rosidah terdengar dari dalam. Badannya demam. Indah dan Nur bergantian menjaga sang ibu. Sengaja Nur berdiam di luar karena menunggu Pak Darsan membelikan obat ke rumah dokter desa. Tadinya Nur mau pergi sendiri, tetapi baru sampai teras, ia bertemu Pak Darsan yang kebetulan mau membeli obat batuk untuk anaknya. Pria itu pun menyuruh Nur untuk menjaga Bu Rosidah, biar dia saja yang membelikan obat. Suasana malam ini terasa berbeda. Entah kenapa sedari siang Nur selalu ingat pada Nilam. Ada rasa khawatir yang sangat berlebih, membuat ia menghabiskan waktu melamun seharian. Desir angin dan gemerisik daun seakan menciptakan intensitas tersendiri. Nur melirik bulan yang bulat sempurna, mengeluarkan cahaya utuh layaknya bulan purnama. Awan-awan gelap tamp
Baca selengkapnya
Ke Mana Ridwan
Entah kenapa malam ini suasana Desa Wangunsari begitu hening. Para penghuninya terlelap, seakan tersihir oleh rasa kantuk yang luar biasa. Para pria yang seharusnya melakukan ronda, kompak tidak datang dengan macam-macam alasan. Semua mengunci pintu dan jendela secara rapat. Tubuh yang terlentang di kasur, ditutupi selimut tebal, menyembunyikannya dalam sepoi angin yang terasa menusuk tulang. Para warga merasa lelah karena seminggu ini sibuk mencari Nilam sampai tengah malam. Karena memang pencarian dihentikan sementara, mereka memilih menggunakan waktu untuk istirahat. Namun, bagi yang masih terjaga, seperti ada hawa aneh yang sulit dijabarkan. "Kang, kenapa obat punya Bu Rosidah malah dibawa pulang?" tanya Eulis, istrinya Darsan. Meski waktu sudah menunjukan jam sebelas lebih, tetapi keduanya belum tidur karena menjaga anaknya yang tengah sakit. "Keueung, Neng. Tadi aja dari rumah Bu Dokter, Akang teh setengah lari saking takutnya. Gak tahu, hawanya beda aja. Terus tadi di depan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status