Semua Bab Dinikahi Berondong Bucin: Bab 11 - Bab 20
100 Bab
11
"Sudah boleh mengatakan hal selain nama kamu, kan?" tanya Mentari setelah hari berganti menurut perhitungan masehi.Dengan mata terpejam Ranggi menjawab, "Mbak sudah mengucapkan hal lain saat bertanya."Mentari tertawa pelan. "Artinya boleh, kan?"Pria itu membuka kelopak matanya, lalu menggeleng. "Belum, Mbak. Waktu subuh saja masih sangat lama."Ya ampun! Mentari menghela napas lelah. "Saya sudah tidak memiliki tenaga, Ranggi."Ranggi mengangguk. Tangannya terulur mengusap kening Mentari yang berkeringat. "Istirahat sebentar. Nanti kita lanjut lagi," ucap pria itu, lalu menarik istrinya ke dalam dekapan.Mentari sudah lelah. Namun, dia tidak melontarkan protes. Dia membiarkan Ranggi memeluknya erat. Mentari bisa merasakan cinta dan kasih sayang yang besar dari sana. Sebuah rasa yang tidak pernah Mentari dapatkan dari pria yang sudah ditemuinya selama ini.Ranggi bukan pria hidung belang yang hanya tergoda karena kemole
Baca selengkapnya
12
"Sunshine, aku minta maaf," ucap Ranggi benar-benar merasa bersalah.Mentari mendengkus. Dia meletakkan secara kasar plastik segitiga berisi krim warna hijau ke meja. "Kalau kamu mau pergi, pergi saja! Tidak usah pakai cium-cium segala! Dekorasinya jadi hancur, kan?" Perempuan itu menatap sang suami dengan sorot mata marah.Ranggi sontak terperangah. Dia tidak menyangka Mentari akan semarah itu. "Kamu tinggal memperbaikinya, Sunshine."Jawaban Ranggi justru membuat Mentari semakin kesal. Bagaimana tidak? Perempuan itu sedang membuat daun di bagian atas kue. Akan tetapi, karena Ranggi menyenggolnya, krim warna hijau itu mengenai bagian pinggir kue yang sudah dilapisi krim putih dan ada hiasan krim lain berwarna pink."Memperbaiki tidak semudah merusaknya, Ranggi!" kata Mentari ketus. "Sasi bahkan tidak pernah mengacau seperti ini." Perempuan itu bergumam. Namun, Ranggi masih bisa mendengarnya.Ranggi berdecak. Kenapa Mentari harus membandi
Baca selengkapnya
13
"Separuh jiwaku rasanya ikut pergi."Mentari duduk termenung di tempat tidur yang biasa dipakai Sasi di rumah ini. Perempuan itu mengedarkan pandangan. Langit-langit kamar penuh oleh stiker glow in the dark. Di nakas, ada lampu tidur berbentuk bulan purnama pemberian Mentari tahun lalu. Sasi tidak membawanya entah lupa atau sengaja."Kamu masih bisa menemui Sasi kapan saja, Sunshine." Ranggi mencoba menghibur.Mentari melirik sekilas, lalu menghela napas. Dia tidak mengira masalah akan jadi serunyam ini. Apa memilih Ranggi adalah sebuah kesalahan? Mentari hanya ingin mengikuti kata hati."Aku harus membujuk Sasi agar dia kembali," ucap Mentari seraya menghapus air matanya."Sebaiknya besok saja. Beri Sasi waktu."Mentari mendengkus kasar. "Tapi aku tidak bisa menunggu sampai besok, Ranggi. Aku ingin anakku kembali."Ranggi segera duduk di samping istrinya. Dia kemudian menggenggam sebelah tangan perempuan itu. "Sasi buka
Baca selengkapnya
14
"Aku terlambat tahu gara-gara kamu, Ranggi! Ibu macam apa aku ini? Anaknya sedang kesakitan, aku malah ...."Mentari tidak melanjutkan ucapannya. Dia benar-benar kesal kepada Ranggi karena semalam melarangnya menerima panggilan. Sasi jatuh dari motor saat sedang belajar mengendarai kendaraan roda dua tersebut. Dia mengalami patah tulang tangan sebelah kanan, yang membuatnya harus memakai gips.Ranggi membasahi bibir bawahnya. Dia mengaku salah. Namun, alih-alih menyesal karena tidak memeriksa siapa yang menelepon, Ranggi lebih khawatir pada Mentari yang jadi menyalahkan diri sendiri."Iya, aku minta maaf, Sunshine," ucap Ranggi tulus seraya merangkul Mentari.Mentari mendengkus. Kenapa semalam dia harus menerima ajakan Ranggi? Tidak akan ada drama Ranggi yang mencegahnya menerima telepon dari Bentala. Mentari bisa datang tepat waktu, dan Sasi tidak mengambek kepadanya.Namun, Mentari juga tetap bersalah karena dia yang sudah terpancing tidak terlalu memedulikan panggilan itu. Mentari
Baca selengkapnya
15
"Bapak menjadikan aku jaminan utang-utangnya ke rentenir," ungkap Vanya sambil sesenggukkan. "Aku harus gimana, Ranggi? Aku tidak mau jadi istri keempat kakek-kakek yang sudah bau tanah."Ranggi sebenarnya tidak ingin peduli. Dia sendiri sudah memiliki beban pikiran. Kenapa juga harus memusingkan masalah orang lain? Namun, nuraninya tidak mau diajak bekerja sama. "Terus aku harus gimana?" tanyanya."Tolong carikan aku tempat persembunyian yang benar-benar aman," jawab Vanya.Ranggi lantas berpikir sejenak. "Kayak ... lubang tikus?"Vanya mengentak-entakkan kakinya ke lantai. Dia merengek manja. "Ranggi ... aku serius!""Kalau bapakmu melaporkan kehilanganmu ke polisi, gimana? Nanti aku yang disalahkan."Vanya menggeleng. "Aku akan bikin surat kalau aku sengaja pergi.""Kamu bisa cari kosan, kontrakan, atau apalah yang sejenisnya."Perempuan itu manyun. "Aku, kan, menganggur, Ranggi," jawabnya berupa gumaman.Pantas saja bapaknya menjadikan Vanya jaminan utang. Tidak berguna, sih. Rang
Baca selengkapnya
16
"Sudah sarapan?"Setelah memastikan kebutuhan Sasi, Mentari lekas pergi ke rumah Ranggi. Dia harus berbicara lagi dengan pria itu yang entah kenapa tidak mau mengerti kondisinya."Belum," jawab Ranggi datar."Mau sarapan apa?""Kamu," jawabnya lagi. Sebenarnya Ranggi tidak sungguh-sungguh mengatakan hal itu. Dia asal bicara karena rasa kesalnya belum hilang.Bagaimana tidak? Ranggi dituduh sudah membuat keributan di rumah Nawang, padahal dia hanya melakukan tugasnya sebagai seorang suami. Apa salah jika Ranggi ingin memastikan tidak ada pria lain yang dekat dengan istrinya?Bukankah kemarin yang memulai juga Sasi dan Bentala? Anaknya tidak suka Ranggi ada di sana, sedangkan bapaknya lebih dulu mengibarkan bendera permusuhan. Ranggi hanya menanggapi ucapan Bentala yang berpikir jika Ranggi menjadikannya saingan."Baiklah kalau itu yang kamu inginkan," ujar Mentari. Perempuan itu beranjak mengunci pintu. "Sebentar, aku siap-siap dulu," sambungnya seraya pergi ke lantai atas.Ranggi meng
Baca selengkapnya
17
"Kamu kekasih gadis ini?" tanya pria tua itu sambil memandang Ranggi dengan tatapan sinis.Dengan sangat terpaksa Ranggi menjawab, "Iya, dan Vanya sedang hamil anak saya.""Kalau begitu, artinya kamu harus membayar utang ayah gadis ini kepada saya. Semuanya 150 juta."Ranggi sontak membelalak. Dia lantas memicing tajam pada Vanya yang masih memeluk tubuhnya."Uang itu harus ada besok. Kalau tidak, gadis ini dan orang tuanya akan saya habisi." Setelah mengatakan itu, pria tua tersebut keluar dari kafe Ranggi."Saya bukan--" Ranggi hendak mengatakan yang sesungguhnya. Dia tidak sudi membantu Vanya jika seperti ini akhirnya. Namun, Vanya segera membungkam mulut Ranggi dengan tangannya.Vanya menggeleng dengan tatapan mengiba. "Please," ucapnya tanpa suara.Dari dinding kaca Ranggi bisa melihat pak tua itu sudah benar-benar pergi. Dia lekas mendorong Vanya. "Apa ini, Van? Bukannya kamu sedang bersembunyi di rumah Reta? Kenapa malah ketemuan dengan orang yang kamu hindari?""Aku tadi ke min
Baca selengkapnya
18
"Sunshine?"Ranggi sontak melebarkan mata begitu istrinya memanggil dengan suara dingin. Orang yang menyaksikan reaksi Ranggi mungkin berpikir jika pria itu seperti sedang melihat algojo yang akan mengeksekusi mati dirinya.Ranggi menelan ludah. Mentari datang di saat yang tidak tepat. Semua ini gara-gara si kakek bau tanah yang kembali lagi ke kafe. Dia meminta pembuktian jika Ranggi dan Vanya betulan sepasang kekasih dengan menikah langsung di hadapannya.Gila, bukan? Vanya memang biang masalah!Ranggi segera berlari mendekati Mentari. Digenggamnya kedua tangan kurus perempuan itu. "Sunshine, ini tidak seperti yang kamu lihat. Aku bisa jelaskan semuanya," ucap Ranggi, "Aku cuma akting demi membantu perempuan itu," sambungnya.Ranggi lalu menjelaskan cepat kronologi kenapa dia bisa terjebak dalam situasi tidak menyenangkan seperti ini. Masa bodoh dengan Vanya. Pernikahannya dengan Mentari jauh lebih penting."Percaya padaku, Sunshine." Ranggi menciumi punggung tangan Mentari. "Aku ti
Baca selengkapnya
19
"Kamu kenapa melamun, Sunshine?"Mendapati istrinya bengong di depan cermin, Ranggi segera mendekat. Mentari tetap tidak bereaksi sampai Ranggi merebut sisir dari tangannya, lalu merapikan rambut panjang perempuan itu."Bukan apa-apa," sahut Mentari.Mendapat jawaban yang kurang memuaskan, Ranggi cemberut. Bibirnya benar-benar maju seperti bebek. "Apa kamu masih menganggapku orang asing, Sunshine? Sehingga kamu belum bisa percaya padaku."Mentari mendongak menatap tepat di mata pria itu. Mentari mencari sesuatu dari sorot suaminya yang mungkin selama ini tersembunyi. Namun, yang Mentari temukan tetap kesungguhan, dan cinta yang terpancar."Sunshine, aku tahu aku ganteng. Tapi, ditatap seperti itu bikin aku salah tingkah," ucap Ranggi. Bola matanya bergulir ke kiri dan kanan karena tatapan Mentari sangat intens.Mentari menghela napas. "Sasi pernah bilang kalau kamu mungkin mau-mau saja dibelah dadanya demi membuktikan cinta kamu."Ranggi sontak membelalak. Dia refleks mundur satu lang
Baca selengkapnya
20
"Ranggi, kalau suatu hari nanti aku menyakitimu, bagaimana?"Angin menerpa wajah Mentari yang membuka kaca helmnya. Saat ini dia dan Ranggi sedang berboncengan mengelilingi kota hanya untuk jalan-jalan. Mereka mengunjungi satu per satu tempat hits meskipun hanya sebentar."Kalau yang menyakitiku itu kamu, Sunshine, aku tidak masalah," sahut pria itu sambil menoleh sekilas."Aku serius, Ranggi.""Aku juga serius, Sunshine. Memangnya hal menyakitkan apa yang akan kamu lakukan?" Ranggi balik bertanya.Mentari mengeratkan pelukannya ke pinggang Ranggi. "Aku bilang kalau.""Satu-satunya yang akan menyakitiku itu kalau kamu pergi dariku dengan sengaja," ucap Ranggi sambil menghentikan motornya di parkiran sebuah taman.Keduanya lantas turun. Ranggi menggengam tangan sang istri saat mereka berjalan menyusuri taman yang dipenuhi anak muda tersebut. Ada yang berkelompok, menyendiri, atau berpasangan seperti mereka."Kita foto dulu di sana," ujar Mentari seraya menunjuk spot foto berupa dinding
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status