Semua Bab Mendadak Jadi Pengantin Kekasih Sahabatku : Bab 21 - Bab 30
96 Bab
Bab 21. Makan siang untuk Papa
Aku melirik Raka yang masih terdiam, kami bersitatap beberapa detik, sepertinya ada masalah."Minum dulu teh-nya Pa," ucap Mama seraya mendaratkan bobotnya di sofa."Satu hal yang ingin Papa sampaikan pada kalian, terutama kamu Raka, ingat, pernikahan adalah sebuah hal yang sakral, dimana janji yang kamu ucapkan di hadapan penghulu, bukan hanya di saksikan oleh manusia, tapi juga di saksikan oleh Allah dan malaikat. Jadi Papa minta, kamu jangan main-main!" Papa berkata dengan lugas, sampai membuatku tertunduk, sebab merasa pernikahan yang kujalani ini tak berjalan semestinya.Mengapa Papa bicara begitu? Apakah Papa mengetahui sesuatu tentang hubungan kami? Aku dan Raka."Kamu juga harus menghargai Amira, istrimu.""Iya Pa." Raka menjawab singkat, lalu meraih cangkir teh di depannya, dan menyesapnya pelan."Di minum dulu Mir, kamu pasti capek kan, tadi habis perjalanan jauh dari Bandung ke Jakarta." Seperti biasa, Mama Rita selalu hangat.Aku pun meminum teh, lalu memakan bolen pisang
Baca selengkapnya
Bab 22. Dijambret
"Maaf mengganggu waktumu Mir," ucap Papa seraya bangkit dari duduknya, lalu mendaratkan bobotnya di sofa berseberangan denganku."Nggak ganggu kok Pa, lagi pula semua urusan di Kafe sudah ada yang menghandle." Aku menjawab sambil membuka susunan rantang kantong plastik putih berukuran besar, berisi makanan."Terimakasih banyak ya Mir," ucap Papa sambil tersenyum."Kita makan siang sama-sama di sini, Papa juga sudah ajak Mama, tapi katanya kepala sedikit pusing jadi Mama memilih untuk berisitirahat di rumah," sambungnya lagi."Assalamualaikum Pa." Tiba-tiba Raka memasuki ruangan ini.Ia nampak kaget melihatku ada di sini "Amira.""Ya, Papa yang meminta dia kesini dan membawakan makan siang untuk kita, ayo kita makan sama-sama. Papa penasaran dengan menu di Kafe Amira, tadinya mau datang langsung kesana, tapi tahu sendiri Papa sangat sibuk, tak sempat, jadi tak salahnya 'kan Papa minta kamu yang kesini Mir, sekali-kali biar kamu lihat kantor Papa, dan kerjaan suamimu." Papa Papa menyah
Baca selengkapnya
Bab 23. Tantangan Mita
"Ini Tas kamu." Aku seperti mengenali suara orang ini."Iya benar ini tas-nya Mbak ini Mas! Alhamdulillah! Mbak ini tas-nya 'kan?!" Ibu-ibu yang sedang berdiri menemaniku menyahut. Aku yang masih dengan posisi duduk karena sejak tadi dilanda rasa cemas pun langsung mengangkat kepalaku menatap laki-laki yang suaranya tak asing bagiku."Amira," ucap laki-laki itu. Dari nada bicaranya terdengar seperti terkejut.Laki-laki itu pun membuka kaca helm full face-nya yang berwarna hitam."Arya." "Amira, ternyata Kau yang tadi di jambret? Kau tidak apa-apa?" tanyanya sambil melepas helm di kepalanya. Kini aku bisa melihat jelas wajahnya.Aku langsung bangkit berdiri, dan meraih tas yang ada di tangan ibu-ibu yang menemaniku duduk tadi."Oh jadi Mbak sama Mas ini saling kenal? Owalah, kebetulan sekali ya," ucap wanita yang sudah sangat baik menemaniku di depan supermarket ini."I–iya Bu, kebetulan Mbak ini, istrinya teman saya." Arya yang menjawab."Owh gitu. Ya sudah kalau gitu saya tinggal m
Baca selengkapnya
Bab 24. Makan siang bersama Arya
"Hai, maaf menunggu lama ya, tadi lagi lumayan ribet di dapur." Aku menghampiri Arya yang sudah duduk di salah satu bangku di Kafe.Tadi memang Mita mengatakan ada seseorang yang ingin bertemu denganku, aku sudah bisa menebak itu pasti Arya, karena memang sejak kemarin kami sepakat akan bertemu di sini. Karena aku sudah janji mentraktirnya makan siang di Kafe-ku."Iya nggak apa-apa, bisa dimaklumi. Kamu hebat ya, masih muda tapi sudah punya usaha sendiri, keren kamu Mir. Raka pasti bangga punya istri sepertimu, sudah cantik, pinter usaha," Arya menatap sekeliling area Kafe dengan pandangan takjub."Ah kamu ini berlebihan.""Ah ya, kamu mau makan apa, aku kan sudah janji akan traktir kamu makan di sini, sebentar ya.""Emma!" Aku memanggil salah satu karyawan bagian waiters untuk mendekat ke tempat dimana aku duduk berseberangan dengan Arya."Ya Mbak.""Mana buku menunya."Emma memberikan buku menu itu padaku. Dan aku langsung menyerahkan pada Arya."Ini menu yang ada di sini, silahkan
Baca selengkapnya
Bab 25. Kemarahan Papa.
"Tumben Lo makan siang jauh banget dari kantor?" tanya Raka dengan tatapan penuh selidik."Iya tadi sekalian lewat, dari kantor Pak Hadi, dan baru kutahu, ternyata makanan di Kafe istri Lo ini ternyata sangat enak," jawab Arya dengan santai.Raka duduk di bangku yang tadi di duduki Arya."Sekarang Lo udah selesai makan kan? Sana Lo balik ke kantor, Gue masih ada urusan sama Istriku.""Ya, memang ini Gue udah mau balik ke kantor kok, ya dah, Gue duluan ya!" Arya melenggang meninggalkan kami.Aku masih duduk di bangku berseberangan dengan Raka. "Raka ada apa kemari?" tanyaku."Ingin main sebentar ke Kafe ini apa tak boleh? Arya aja boleh."Aku mengernyitkan menatap Raka yang sepertinya agak aneh. Apa dia tak suka dengan kehadiran Arya di sini? Kenapa tak suka? Toh juga perjanjian yang kita sepakati bersama tertulis tidak boleh mencampuri urusan masing-masing.Aku aja tak pernah komplen atau ikut campur dengan urusan dia."Ambilkan aku makanan, aku lapar," ucap Raka lagi."Mita!" Aku me
Baca selengkapnya
Bab 26. Telepon tengah malam
"Kenapa tiba-tiba Papa marah-marah?" tanyaku setelah cukup lama kami berdua sama-sama diam di dalam mobil perjalanan pulang ke rumah."Sepertinya Papa dengar pas aku bicara sama Arya di kantor tadi.""Kalian bicara apa, sampai membuat Papa marah?" tanyaku heran pasalnya kalau hanya pembicaraan biasa tentu tak 'kan membuat Papa marah. Kali ini Papa terlihat sangat murka.Raka terdiam beberapa saat."Pembicaraan urusan laki-laki. Kau tak perlu tahu," jawabnya.Aku hanya menghela napas, mendengar itu. Ada-ada saja, pembicaraan apaan itu urusan laki-laki? Sampai membuat Papa semarah itu."Sepertinya kita harus lebih kompak lagi dalam berpura-pura di depan orang tua kita, terutama Papa." Kembali aku membuang napas berat.Hah! Perasaan selama ini aku sudah berusaha semaksimal mungkin memerankan sandiwara ini.Sesampai di rumah aku langsung bergegas untuk turun dari mobil."Masuklah, aku masih ada urusan di luar, jangan lupa kunci pintunya." Sejenak aku tercengang. Mau pergi kemana dia, mala
Baca selengkapnya
Bab 27. Pesan Arya
Menatap irish hitam nan tajam itu membuat dadaku berdegup kencang, hingga tiba-tiba terdengar suara bunyi kompor dimatikan, ternyata tangan Raka dibelakang pinggangku mematikan kompor."Raka, bisa tolong mundur sedikit?" pintaku karena jarak kami kini hanya beberapa centi."Aku minta maaf soal semalam–" bukannya memundurkan tubuhnya ia justru kembali mengatakan maaf."Iya, iya, oke, kita bisa bicara sambil duduk, oke, sekarang tolong kamu mundur," ucapku gugup. Entah mengapa berada dengan jarak begitu dekat dengannya membuatku gugup, ada gelanyar aneh menjalar di dalam sini. Ah apa aku terindikasi penyakit jantung, semenjak menikah dengannya?Raka menatapku lamat-lamat, aku mengangguk, memintanya untuk duduk di kursi dan kita bicara.Akhirnya ia pun menurut, mundur dari hadapanku kemudian duduk di kursi. Aku ikut duduk berhadapan dengannya."Amira, semalam aku langsung telepon Mama, Mama sedang kurang sehat." Terdengar helaan napas berat dari Raka."Gimana keadaan Mama sekarang?""Sem
Baca selengkapnya
Bab 28. Pulang ke rumah
"Assalamualaikum Bu." Hari ini sepulang dari Kafe aku memilih untuk untuk pulang ke rumah Mama, permasalahan yang kuhadapi tentang Raka, tentang Arya, tentang mertuaku, semuanya sangat melelahkan. Dan tiba-tiba aku rindu dengan suasana kamarku."Amira, kamu datang sendirian? Suamimu mana?" tanya ibu sambil mengedarkan pandangan ke belakangku."Raka 'kan kerja Ma, paling pulangnya habis magrib." Aku memang selalu pulang jam lima sore, walaupun Kafe tutup jam sepuluh malam, tapi ada Mita dan rekan-rekan karyawan di Kafe yang bisa diandalkan untuk mengurusi Kafe hingga waktu tutup itu tiba."Oh, tapi kamu udah ijin 'kan sama suamimu kalau kamu kemari?" Sejenak aku terdiam, aku memang belum bilang apa-apa pada Raka. Lagi pula ini juga bukan urusan dia kan, aku mau pergi kemana juga, terserah aku."Amira!" panggil Ibu karena melihatku terdiam."Oh, iya Ma, sudah, aku sudah bilang Raka kok kalau aku kesini, ucapku berbohong. Biarlah nanti aku kirim pesan saja pada Raka, kalau aku ada di s
Baca selengkapnya
Bab 29. Kedatangan Raka
[Raka, aku pulang ke rumah Ibu.] Sebaris pesan ini kukirimkan pada Raka, tapi masih centang dua abu-abu.Mau di balas atau enggak yang penting aku sudah memberitahunya.Aku merebahkan tubuhku di pembaringan, menghirup dalam-dalam aroma suasana di dalam kamarku ini, semuanya masih sama, walau aku ada di rumah di rumah Raka, tapi kamar ini tetap rapi, bersih dan wangi, sepertinya Ibu sering membersihkannya.Aku menatap langit-langit kamar, tanpa sadar air mataku meleleh di kedua sudut netraku.Lelah. Aku lelah menjalani hidup seperti ini. Sudah empat bulan sudah aku menjalani hari-hariku menjadi istri seorang Raka Ardiansyah. Yang aku rasakan hanya hampa. Mendadak dada ini terasa sesak. "Mir," panggilan Ibu mengagetkanku, buru-buru aku mengusap air mataku."Ya Bu." "Boleh ibu masuk?" "Iya Bu." Aku bangun dan memutar anak kunci membuka pintu kamar.Beberapa saat Ibu menatap wajahku lamat-lamat walau sebisa mungkin aku menghindari tatapannya."Mir," panggil Ibu setelah menatapku. Sea
Baca selengkapnya
Bab 30. Kedekatan Raka dengan Ayah
"Ayah, doain aja ya, kami memang tak menunda, kami juga terus berusaha, berikhtiar, tapi semua kembali lagi, semuanya Allah yang menentukan kapan waktunya." Raka menjawab dengan tenang. Seakan terlihat begitu jelas sisi bijak dalam dirinya."Ya, sudah pasti itu, Ayah selalu doain kalian, semoga rumah tangga kalian langgeng, segera di kasih momongan Sholeh dan Sholihah." Ayah menjawab sambil tersenyum, membuatku tertegun mendengar doa tulus Ayah.Tiba-tiba saja netra ini berembun, ada rasa sesak yang menyeruak di dalam dada, karena kenyataan yang Ayah lihat berbanding terbalik dengan kondisi kami yang sebenarnya. Entah aku sanggup bertahan berapa lama, aku tak tahu.Aku menekan pelan dada ini menetralisir rasa yang tadi sempat bergemuruh di dada sebelum melanjutkan langkah ke ruang tamu. Aku tarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan."Ehm, Mas, makan dulu yuk, makanannya sudah aku siapkan di meja makan," ucapku di buat semanis mungkin. Raka menatapku."Ayo Raka, makanlah dulu. A
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status