Semua Bab Hasrat Pernikahan Suami Arogan: Bab 151 - Bab 160
191 Bab
Air Mata Mairi
“Aku akan mengantarmu pulang terlebih dulu,” ucap Christian, setelah menutup sambungan telepon. Dia tak terlihat tenang lagi seperti tadi. “Ada apa? Apa ada masalah?” tanya Laura penasaran. “Aku harus segera ke rumah sakit,” jawab Christian. Raut wajahnya tampak gelisah. “Apa terjadi sesuatu dengan Delila?” tanya Laura lagi, kian penasaran. Christian tak segera menjawab. Dia terus menatap lurus ke depan, seperti tak ada niat memberikan penjelasan pada Laura yang menatap penuh harap, agar diberi tahu apa yang terjadi sebenarnya. Laura yang awalnya setengah menghadapkan tubuh pada Christian, terpaksa kembali menatap ke depan sepenuhnya. Walaupun sudah berpisah lama, tetapi dia belum lupa dengan karakter sang mantan suami. Christian tak akan bicara, jika dirinya tak berkehendak. Dia tak peduli, meskipun telah membuat orang lain begitu penasaran. “Kita langsung ke rumah sakit saja,” ujar Laura, setelah terdiam beberapa saat. Christian tak menyahut. Namun, pria itu sempat menoleh pa
Baca selengkapnya
Cerita Mantan Suami-Istri
Christian memperhatikan Laura yang masih menggendong Mairi, sambil sesekali mengusap-usap punggung serta mencium anak itu. Pengusaha tampan tersebut merasa heran karena sang putri tidak menolak, saat diperlakukan demikian oleh Laura. Biasanya Mairi selalu membatasi diri dari orang yang tidak benar-benar dekat. Terlebih, jika masih asing baginya. Sang pemilik Lynch Company tersebut tak mengalihkan tatapan sedikit pun, hingga Laura tiba-tiba menoleh dan memberi isyarat bahwa Mairi sudah tertidur lelap. “Sepertinya Mairi kelelahan. Apa dia sudah makan?” tanya Laura, sebelum memberikan anak itu pada Christian. Christian mengangguk. “Aku selalu memastikan perutnya terisi, sebelum melakukan apa pun,” jawab pria itu yakin. “Dia pasti sangat sedih. Aku bisa merasakann
Baca selengkapnya
Teman Baru
“Wanita apa maksudmu?” tanya Christian pura-pura tak mengerti. “Wanita yang membuatku harus melarikan diri darimu,” jawab Laura pelan.Christian menatap lekat wanita cantik di hadapannya. Keraguan itu tampak kian jelas, dalam sepasang iris gelap pengusaha tampan tersebut. “Kau tak perlu tahu siapa wanita itu,” ucapnya. “Apakah dia terlalu berarti untukmu?”  Lagi-lagi, Christian terlihat ragu. Namun, akhirnya dia mengangguk. “Dia sangat berarti. Akan tetapi, aku telah mengembalikan perasaan tersebut dan menguburnya dalam-dalam. Setelah perpisahan kita waktu itu, aku juga melepaskan segala hal yang berkaitan dengan cerita masa lalu,” jelasnya tenang. 
Baca selengkapnya
Sopir Tampan
“Oh, bagaimana kau bisa berpikir demikian?” Laura kembali tertawa renyah. “Bukankah itu benar, Bu?” Harper menatap Laura, dengan sorot tak dapat diartikan. Laura menghentikan tawa, lalu mencubit pipi putri kecilnya. Dia menggeleng pelan. “Aku sudah lama mengenal ayah Mairi. Namun, dia tidak menyukaiku … maksudku ini tak seperti yang kau pikirkan, Sayang,” jelasnya lemah-lembut.“Lalu, kenapa dia terus tersenyum padamu?” tanya Harper lagi.“Kau tahu dari mana bahwa dia terus tersenyum padaku?” Laura balik bertanya. “Hmm.” Harper mengetuk-ngetukkan telunjuk ke dagu, seakan-akan tengah berpikir. “Waktu di kedai es krim, paman tampan itu berkali-kali melihat ke arahmu sambil tersenyum. Kau tidak melihatnya karena sedang makan es krim, Bu.” “Oh, ya?” Kali ini, giliran Laura yang menggerakkan bola mata ke kiri dan kanan, seolah-olah tengah memikirkan sesuatu. “Aku memang tidak tahu,” ucapnya. “Kalau begitu, apa kau mau tinggal di sini, Bu?” Laura mengembuskan napas bernada keluhan, di
Baca selengkapnya
London Eye
Laura tertegun beberapa saat, tanpa melepaskan genggaman tangan dari pergelangan Harper. Pandangan ibu dan anak itu sama-sama tertuju pada seseorang, yang berdiri di dekat sedan pinggir jalan depan kediaman Keluarga Pearson. Pria dengan T-Shirt hitam berlapis jaket kulit cokelat. “Hai, Haper!” sapa gadis kecil dengan setengah berseru. Dia menyembulkan kepala lewat jendela kaca mobil. “Hai, Mairi!” balas Harper seraya melambaikan tangan. Kedua gadis kecil itu saling melempar senyum lucu yang terlihat sangat menggemaskan. “Maaf. Mairi memaksa ingin bertemu Harper,” ucap pria yang tak lain adalah Christian. “Hari ini putriku tidak berangkat ke sekolah.” Christian sedikit kikuk, saat berhadapan langsung dengan Laura. Namun, pengusaha yang makin terlihat menawan di usia empat puluh tahun itu berusaha tetap terlihat tenang serta berwibawa. Laura tersenyum kecil seraya mengangguk pelan. Perhatiannya langsung tertuju pada Mairi, yang kali ini bahkan mengeluarkan sebagian tubuh melalui
Baca selengkapnya
Perdebatan Konyol
“Mengapa kau berpikir demikian?” Christian memicingkan mata seraya menoleh pada Laura, yang lebih memilih menatap ke depan. “Aku tidak bermaksud membuatmu begitu. Namun, lihatlah kebahagiaan Harper dan Mairi atas kebersamaan mereka. Kurasa putri kita cocok dan bisa berteman baik.” “Aku tidak mempermasalahkan dan justru senang melihat keakraban mereka. Akan tetapi, kau tahu kami harus kembali ke Amerika. Sementara Harper menolak ikut karena merasa nyaman di sini. Dia mengatakan senang memiliki teman baru dan berkali-kali menyebut nama Mairi. Aku hanya …..” Laura mengembuskan napas pelan karena merasa serba salah. “Putrimu anak yang cerdas. Dia pasti paham jika diberi pengertian. Aku biasa melakukan itu pada Mairi. Meskipun terkadang … ya kau tahu sendiri seperti apa karakter anak seusia mereka.
Baca selengkapnya
Sungai Thames di Malam Hari
Laura baru selesai menata meja makan, ketika Emma muncul dari lantai dua. “Apa kau akan pergi?” tanya ibunda Harper tersebut, melihat penampilan saudara kembarnya yang sudah rapi. Emma mengenakan celana jeans ketat yang dipadukan T-Shirt press body berlapis jaket. Dia juga mengikat rambut panjangnya. Laura menatap heran karena Emma berpenampilan seperti itu di malam hari. “Kau mau ke mana?” tanya wanita itu lagi, berhubung saudara kembarnya tak memberikan jawaban. “Jamie mengajakku keluar.” Akhirnya Emma bicara, meskipun sambil mengunyah apel yang diambil dari keranjang buah. “Dengan baju seperti itu?” Laura menautkan alis. “Ya. Apanya yang salah?” Emma tak melanjutkan percakapan, berhubu
Baca selengkapnya
Penguasa Hati
Emma menutup layar ponsel, lalu berdiri seraya berdehem pelan. “Kemarilah.” Jamie melepaskan diri dari pelukan wanita berambut cokelat tembaga itu. Dia meraih tangan Emma, sedikit menariknya agar mendekat. CEO dari SRC Company tersebut bahkan merengkuh pundak sang kekasih, lalu mengecup lembut keningnya. “Ini Emma,” ucap Jamie, memperkenalkan saudara kembar Laura tersebut. Mendapat perlakuan seperti tadi di hadapan wanita lain, membuat Emma merasa percaya diri. Wanita cantik bermata biru itu tersenyum puas. “Dia adalah Fiona Kyleigh. Kami pernah kuliah di universitas yang sama, sebelum diriku pindah ke Manchester,” ucap Jamie lagi. Wanita bernama Fiona itu tersenyum manis. “Aku sangat kehilangan saat Jamie pindah dari London. Namun, untung saja kami masih bisa berkomunikasi di dunia maya,” ujarnya seraya kembali mengarahkan perhatian pada Jamie. “Tapi, sepertinya kau sudah jarang sekali membuka sosial media.” “Aku sangat sibuk dalam beberapa waktu terakhir,” ujar Jamie, tanpa me
Baca selengkapnya
Tanpa Pengaman
[Hai, Jamie. Ini aku Fiona. Simpan nomorku.]Jamie tak segera membalas. Dia justru meletakkan kembali telepon genggam itu di meja, lalu melanjutkan makan. “Kenapa?” tanya Emma dingin. “Tidak apa-apa,” jawab Jamie enteng, tak terlalu memedulikan ekspresi sang kekasih yang mulai menegang. Bukannya tak peka, tapi dia malas harus membahas hal seperti itu. “Aku jadi penasaran akan satu hal,” ujar Emma, berlagak biasa saja. Padahal, rasa jengkel mulai kembali datang mengusiknya. Jamie berdehem pelan. Pria itu sadar dirinya tidak akan baik-baik saja. Namun, sang CEO tetap terlihat tenang. “Apa yang membuatmu penasaran?” tanyanya. 
Baca selengkapnya
Di Kebun Binatang
“Apa kalian akan pergi?” tanya Grace. Dia sudah membiasakan diri keluar kamar. “Kami akan ke kebun binatang, Bu,” jawab Laura sambil memasukkan bekal makanan buatannya ke wadah khusus. “Apa Emma sudah pulang?”“Ya. Dia datang pagi-pagi sekali dan langsung bersiap pergi ke kantor,” jawab Grace seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Di mana Harper?” tanyanya.“Aku di sini, Nenek,” seru Harper. Gadis kecil itu muncul dengan membawa ransel kesayangan. “Lihat ini, Nek. Aku membawa koleksi pita rambut.” Dia memperlihatkan isi tasnya. Grace menautkan alis, lalu menatap heran cucunya. “Untuk apa kau membawa pita rambut ke kebun binatang?” “Aku akan menukarnya dengan punya Mairi,” sahut Harper polos. “Mairi? Siapa dia?” tanya Grace. Namun, belum sempat Harper memberikan jawaban, Laura yang tadi berlalu dari sana kembali lagi. “Apa kau sudah siap, Sayang?” “Iya, Bu,” sahut Harper seraya turun dari kursi. Gadis kecil itu memeluk serta mencium hangat Grace, sebelum berlari ke
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1415161718
...
20
DMCA.com Protection Status