All Chapters of Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki: Chapter 21 - Chapter 30
50 Chapters
Bab 21. Fitnah Cantika
Aku memilih lebih banyak mengurung diri di kamar selama hanya berdua saja di rumah bersama Cantika. Pekerjaan rumah sudah selesai dan aku hanya tinggal menunggu waktu hingga anak-anak pulang sekolah dengan membuat konten. Makin hari akun buatanku makin berkembang. Performanya juga meningkat, seiring dengan orderan yang juga mulai berdatangan. Aku mulai menikmati profesi baru ini dimana aku tidak perlu memikirkan pengiriman barang sehingga bisa fokus hanya membuat materi untuk promosi saja. “Ternyata ada juga pekerjaan yang cocok buat ibu rumah tangga kayak aku gini,” gumamnya selesai mengunggah konten baru. Masih ada waktu lebih dari satu jam sebelum aku menjemput anak-anak ke sekolah. Aku yang sudah bosan di kamar saja, memilih ke dapur untuk membuat kue. “Mood anak-anak pasti membaik setelah tau aku buatkan mereka kue bolu ini,” gumamku bersemangat. Aku memutuskan membuat bolu kukus
Read more
Bab 22. Terusir
“Ya kan siapa tau aja kalau Mbak Raya sengaja kasih sesuatu di makanan yang mau aku makan,” celetuk Cantika lagi masih menuduhku.“Ternyata selain gak tau diri, kamu juga gak ada otak, ya? Kita semua juga tadi tau, gak ada masakan yang dibeda-bedakan. Makanan yang kamu ambil satu tempat yang kami makan juga. Mungkin itu karma karena kamu udah serakah ngabisin ikan siang tadi,” sindirku sekalian. “Tuh, kan, Mas. Mbak Raya itu masih gak terima karena dede bayi siang tadi makan ikan goreng yang sisa tadi pagi itu. Makanya sampai tega bikin sakit perutku sekarang.” “Sisa kamu bilang? Itu ada lebih dari sepuluh potong. Sebanyak itu kamu hilang sisa? Lagian siapa juga sih yang kurang kerjaan bikin kamu sakit perut. Gak usah banyak drama!” “Sudah, Raya, sudah. Cuma makanan aja diributin kayak orang susah aja. Kamu harusnya maklum kalau Cantika makannya banyak. Dia lagi hamil, kan? Jadi, wajar lah. Masa sampai ba
Read more
Bab 23. Titik Balik
“Ini suamimu kayaknya halal deh aku sleding! Kesel banget, sumpah!” rutuk Endah begitu kami bisa mengobrol setelah anak-anakku kembali tidur di apartemen Endah. Beruntung sekali Endah punya dua kamar di apartemennya. Satu kamar tamu sudah ditempati anak-anakku yang nantinya aku pun akan ikut tidur bersama mereka. Saat ini Endah masih mengajakku mengobrol, atau lebih tepatnya mengghibah dengan bahan utamanya tentu saja Mas Bima dan Cantika. Endah tidak henti-hentinya menyumpahi kedua pasangan laknat tersebut. Dia bahkan mengatakan jika aku mau, dia bisa dengan mudah menjatuhkan usaha Mas Bima dengan satu panggilan. Bukan rahasia lagi jika jaringan Endah sangat luas. Dari kalangan elit sampai preman pasar rasanya Endah punya kenalan. Jadi, jika hanya ingin menghancurkan rumah makan Mas Bima, bukanlah hal sulit baginya yang uang pun tersedia. “Gak usah, Ndah. Aku lebih suka melihat dia terhukum oleh alam se
Read more
Bab 24. Kedatangan Mas Bima
“Bara? Kamu kok di sini?” tanyaku saat tanpa sengaja kembali bertemu dengannya. “Lah, harusnya aku yang tanya. Kok kamu kenal sama mamaku?” “Mamamu?” ulangku tidak percaya dengan indera pendengaranku sendiri. “Iya, itu yang duduk samping kamu mamaku, Raya.” Aku masih terkejut. Tidak menduga jika aku akan menyewa rumah kontrakan milik mamanya Bara. Walaupun kami teman saat di bangku SMA, tetapi dulu yang kutahu Bara tinggal bersama neneknya. Sedangkan dengan mamanya, aku belum pernah bertemu sekalipun, karena katanya beliau menjadi TKW di Taiwan. Mamanya Bara adalah single parent. Kedua orang tua Bara sudah bercerai sejak dia masih SMP. Bara memang pernah bercerita demikian kepadaku. Namun, aku tidak menyangka jika akhirnya akan berkenalan dengan beliau setelah sudah dewasa seperti sekarang. “Mbak Raya ini mau sewa rumah kontrakan Mama, Bar,” terang Bu Rania, mamany
Read more
Bab 25. Keputusan Araya
“Kamu kenapa tadi cegah aku, sih?” kesal Bara padaku. Mukanya masih ditekuk menahan emosi. Dia pasti akan melakukan kekerasan kepada Mas Bima jika tadi aku tidak mencegahnya. Aku tahu bagaimana Bara jika sudah terbawa emosi. Dia tidak akan segan untuk baku hantam jika berurusan dengan laki-laki brengsek seperti Mas Bima. Bara pernah bercerita padaku, jika dulu saat dia tahu papanya menyakiti hati mamanya, dia sangat ingin melayangkan pukulan kepada sang papa. Sayangnya, sebenci apapun dia dengan papanya, dia tidak pernah bisa memukul pria itu. Jadinya, setiap Bara mendapati pria brengsek seperti papanya, dia tidak akan segan menyalurkan kemarahan terpendamnya kepada orang tersebut. “Aku gak mau kamu ribut-ribut di sekolah anakku, Bara. Sudah jangan ditanggapi. Gak ada untungnya.” “Berarti kalau aku kasih pelajaran dia di tempat lain, bisa kan?” Aku pukul lengan ata
Read more
Bab 26. Jodoh
“Aman?” “Aman, dong. Kamu jangan khawatir. Aku baik-baik saja kok. Dan satu lagi … ” Aku menjeda kalimatku. Mencari padanan kata yang paling pas untuk memberikan pengertian kepada Bara. “Satu lagi apa, Raya?” “Kamu …, bisa kan buat bersikap biasa aja kayak kita sebelum ketemu lagi kemarin. Aku cuma gak mau ada yang salah sangka sama kamu. Mau bagaimanapun, status aku saat ini masih wanita bersuami. Lagi hamil pula. Gak bakalan baik kalau kamu terlalu perhatian sama aku, meskipun aku tahu niat kamu sangat baik dan gak aneh-aneh.” Bara menunduk dan mengangguk pelan. “Iya aku paham, Raya. Maaf ya kalau aku bikin kamu gak nyaman.” “Sebenarnya bukan masalah nyaman atau gak nyaman. Aku cuma gak pengen ada fitnah aja, sih. Apalagi kondisi rumah tanggaku sedang goyang. Aku gak mau nama baik kamu tercoreng, dan aku gak mau nambah masalah yang bisa bikin anak-anakku makin te
Read more
Bab 27. Pindahan
Gara-gara Astuti mengatakan jika pertanyaan Endah dengan Bara sebelumnya hampir sama. Kami jadi ketahuan jika tadi siang membicarakan Endah di depan Bara. Endah pun heboh dan meminta diceritakan secara detail. Dia siap-siap mengamuk jika kami sampai membuat harga dirinya turun. “Kata Om Bara, kelasnya Tante Endah ketinggian. Emang Tante kelas berapa, sih? Masih sekolah juga, ya? Dini kira, Tante udah gak sekolah,” ceplos Andini dengan suara polos. Aku pun melihat dahi Endah mengernyit. Entah heran dengan pertanyaan Andini atau heran dengan pendapat Bara yang dibocorkan anak bungsuku. “Duh, Raya …, kasih paham anakmu sana,” bisiknya padaku. Aku pun hanya menggeleng pelan. “Maksudnya Om Bara itu, bukan kelas di sekolahan, Sayang. Nanti kalau Dini sudah besar, baru paham sama yang dimaksud Om Bara.”Beruntung sekali Andini tidak memperpanjang pertanyaannya, sehingga aku terbebas dari jeba
Read more
Bab 28. Morning Sickness
“Halo, Mas.” “Raya, mana alamatmu dan anak-anak. Katanya kamu mau kirim alamatnya sama aku?” “Iya, Mas. Nanti juga aku kirim. Sabar kenapa, sih!” sewotku. Aku pikir Mas Bima mau apa telepon malam-malam. Ternyata dia hanya menagih janji yang ku katakan siang tadi di cafe jika aku akan membagi alamat tinggal kami kepadanya. “Ya aku takut aja kamu ingkar atau justru lupa sama janjinya sendiri,” balasnya. “Aku bukan kamu yang bisa dengan mudahnya ingkar janji saat ada orang baru yang datang menggoda, Mas.” “Malah nyindir, kan?” tegurnya. “Jadi kamu tersinggung, Mas? Berarti merasa dong?” “Udah lah, Raya. Jangan berantem lagi. Udah gak serumah aja kamu masih aja ngajakin aku ribut.”Aku mendengus saat dipersalahkan olehnya. Aku memang terbawa emosi, tetapi aku segera mengontrol diri dan tidak memperpanjang urusa
Read more
Bab 29. Mengidam
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab kami bersamaan. “Bapak!” Andini langsung berlari berhambur memeluk Mas Bima. Dia memang terbilang cukup manja dengan bapaknya. Sejak kecil, dia sudah menjadi kesayangan Mas Bima karena tingkahnya yang menggemaskan. “Dini sehat, kan?” “Sehat, Pak. Ayo sarapan, Pak. Ibu muntah-muntah dari tadi pagi, Pak. Kata Mbak Tuti, dulu waktu hamil Dini, Ibu juga sering muntah-muntah, ya? Terus kalau makan harus disuapin sama Bapak. Coba sekarang Bapak suapin Ibu, biar ibu bisa makan dan gak lemas lagi. Kasihan dedenya Dini, Pak”  Mataku membulat mendengar celetukan dari Dini. Tentu saja aku tidak setuju dengan usulan tersebut. Jangankan makan disuapi Mas Bima, melihat wajahnya saja aku sudah muak. Namun, sayangnya apa yang aku rasakan tidak sejalan dengan hormon bawaan hamil yang justru menerima perhatian dari Mas Bima. “Kamu m
Read more
Bab 30. Cerita Rima
Dering ponsel di saku celana Mas Bima menghentikan aktifitas kami semua. Mas Bima yang tangannya kotor karena sedang makan, membuatnya tidak bisa menerima panggilan. Tidak lama setelah panggilan berakhir, dering dengan nada yang sama kembali menggema. “Gak kamu angkat dulu aja, Mas? Siapa tahu telepon penting. Aku ambilkan air kobokan biar kamu bisa cuci tangan.” “Gak usah, Sayang. Kalau gak ngerepotin, tolong kamu ambil aja HP mas di kantong dan angkat teleponnya.” “Yakin gak apa-apa?” tanyaku memastikan.“Iya gak apa-apa, Sayang.”Aku pun menurut dan merogoh saku celana Mas Bima. Dia menyunggingkan senyum saat tanganku masuk ke saku celananya. Begitu berhasil mengeluarkan ponsel tersebut, aku memperlihatkan kepadanya jika yang sejak tadi menghubungi adalah Cantika. “Angkat aja, Sayang.” Aku menggeleng, tetapi Mas Bima masih memaksa. Aku pun mene
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status