Share

Bab 5

Tubuh penuh dengan luka sobekan memperlihatkan tulang bersambut dengan bekas darah dan nanah yang bau busuknya menyeruak. Salah satu korban bahkan tengkorak kepalanya pecah sebagian dan memperlihatkan lelehan otak yang mengalir sedikit demi sedikit itu.

"Duh, ini pasti temennya Laila nih datang ke sini. Bodo amat ah, aku ngumpet aja," batin gadis itu seraya bersembunyi di balik selimut tersebut. Alina akhirnya terlelap.

Pagi dini hari, suara ponsel Laila berdering dan langsung membuat Alina ketakutan. Gadis itu bangkit dan berusaha untuk meraih ponsel tersebut. Namun, sosok Laila juga terbangun dan hendak meraih ponsel tersebut.

"Alina, kamu kenapa? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Laila.

"Dia akan datang Laila, aku harus matikan hape ini!" sahut Alina.

"Alina, berikan hape aku!" pinta Laila.

"Tidak, tidak akan!" Alina langsung meraih ponsel tersebut dan membantingnya ke lantai.

"Alina, tidak...!" seru Laila.

Tiba-tiba, sekelebat bayangan hitam itu terpantul ke dinding ruang perawatan rumah sakit itu.

"Laila, ayo kita pergi, dia datang, dia datang!"

Alina berusaha menarik tangan Laila.

"Alina, kamu sudah gila, ya?" Laila mencoba menarik tangannya dari Alina.

"Ayo, kita pergi!"

Sosok misterius berjubah hitam dengan tudung hitam di kepala itu datang menyergap. Alina berusaha bertahan dan menarik sosok misterius itu. Namun, gadis itu didorong dengan kepala menghantam dinding. Dia tak sadarkan diri kemudian.

***

Pagi itu, seorang wanita berusia kurang lebih 40 tahun datang ke ruangan Alina. Ia mengenakan celana kulot hitam dan kemeja berwarna hijau. Kacamata hitam yang tadinya melekat di wajahnya itu ia lepas. Benda itu beralih ke dalam tas jinjing yang ia kenakan.

"Hai, Lin!" sapanya.

"Tante? Tante Maya? Hampir saja aku lupa siapa Tante. Bahkan aku juga lupa siapa aku tadinya," sahut gadis itu.

"Maaf ya, seminggu yang lalu saat kamu masih belum sadar. Tante pernah datang ke sini, tetapi karena Tante harus menghadiri pameran di luar kota demi karir Tante. Jadi kamu Tante titip sama suster. Gimana kondisi kamu?" tanyanya seraya merebahkan bokongnya di kursi.

"Aku sudah merasa lebih baik, Tante Maya apa kabar?"

"Baik. Oh iya, kapan kamu boleh pulang?"

"Tunggu kunjungan Dokter Ridwan hari ini, kalau aku boleh pulang, ya aku pulang."

"Semoga hari ini kamu boleh pulang. Tante sekarang jadi wali kamu, makanya Tante tinggal di rumah kamu."

"Makasih ya Tante, aku juga enggak tau lagi harus gimana. Kenapa sih aku enggak mati aja?" Gadis itu meremas selimutnya dengan nada sedih dan kesal.

"Lin, kamu enggak boleh ngomong gitu. Semua sudah takdir, kita hanya bisa berdoa sama Tuhan semoga mereka tenang di surga."

"Hmmm... hanya saja kalau ingat mereka aku tuh sedih banget," ucap gadis itu.

Seorang suster datang mengecek ke apaan Alina.

"Nanti obatnya diminum ya setelah makan pagi," ucap Suster itu.

"Baik, Suster."

Tiba-tiba, Alina teringat peristiwa semalam, peristiwa saat ia dan Laila melihat sosok misterius itu datang.

"Suster, pasien di samping saya ke mana, ya?" tanya Alina.

"Pasien meninggal dunia, ia mengalami serangan jantung secara tiba-tiba, memangnya kamu semalam enggak bangun ya saat pasien dibawa ke ruang ICU?" tanya suster itu.

"Apa? Laila meninggal, kena serangan jantung? Padahal semalam itu —"

"Maaf, saya permisi dulu ya, jangan lupa obatnya diminum!" Suster itu lalu pergi.

Alina menceritakan semua kejadian malam itu pada Tante Maya. Namun, wanita itu berpikir kalau gadis itu hanya sedang berhalusinasi semata. Ia hanya mengangguk saat merespon keterangan dari Alina.

***

Keesokan harinya, Dokter Ridwan akhirnya datang dan menyatakan Alina sudah sehat. Toh gadis itu juga sudah mengingat kembali tentang dirinya. Dia akhirnya  diperbolehkan untuk pulang. Tante Maya, adik dari sang mama, membawanya masuk ke dalam mobilnya.

Kini, hanya wanita itu keluarga satu-satunya yang ia punya. Ayahnya merupakan anak tunggal dan ibunya hanya punya adik perempuan yang belum juga berkeluarga. Akhirnya gadis itu mengikuti Tante Maya menuju rumah. Rumah yang masih enggan sebenarnya untuk ia datangi.

Namun, sebelum Alina pergi, Dokter Indra menghampiri gadis itu di area parkir rumah sakit. Ia terlihat tergesa-gesa. Napasnya terdengar tersengal-sengal saat menghampiri gadis itu.

"Boleh aku minta nomor hape kamu?" tanya Indra.

"Nomor hape aku? mulai sekarang aku tak mau punya hape, aku tak suka, aku benci suara dering  hape!" jawab Alina tegas.

"Hmmm... baiklah, kalau bertandang ke rumahmu, apa boleh?" tanyanya lagi.

Tante Maya mengamati Indra dengan saksama. Ia merasa kalau pria itu menaruh hati kepada keponakannya tersebut. Wanita itu tersenyum menghampiri keduanya.

"Boleh, sini saya aja yang berikan alamat rumahnya," sahut Tante Maya.

"Wah, kalau begitu terima kasih," ucap Indra seraya menyerahkan ponsel di tangannya pada Tante Maya.

Pria itu ingin sang Tante menuliskan alamat rumah Alina di ponselnya. Alina masih menelisik ke arah pria tersebut dengan tatapan sinis.

"Untuk apa kau ingin pergi ke rumahku, kita kan baru kenal?" 

Percakapan Alina dan Indra sudah mulai santai daripada awal pertemuan mereka terdahulu.

"Boleh kan kalau aku mau berteman dan kenal kamu lebih jauh?" tanya Indra.

"Boleh," sahut Tante Maya sembari tersenyum melirik ke arah Alina.

"Tante...." 

"Kamu harus punya teman, Lin, apalagi besok kamu harus mulai sekolah lagi, Papa sama Mama kamu pasti menginginkan kamu melanjutkan hidup seperti sedia kala, ya kan?" 

Wanita itu menoleh pada Alina yang masih merenung.

"Betul itu, aku yakin kamu seorang gadis yang ceria, keluarga kamu pasti mau kamu melanjutkan hidup seperti sedia kala," ucap Indra menimpali.

"Tapi, semua tak akan sama." 

"Saya juga sebenarnya minta nomor kamu, karena saya masih penasaran dengan rasa trauma kamu sama dering ponsel, makanya saya mau melakukan pengamatan lebih lanjut, ya," ucap Indra.

Alina masih menunduk tak menjawab, ia masuk ke dalam mobil Tante Maya kemudian. Setelah mereka pamit dari Indra, mobil sedan itu melaju pergi.

Sesampainya di rumah Alina, masih terlihat jelas ketakutan melanda gadis itu. Ia tak mau beranjak sedikitpun dari pintu mobil kala ia turun.

"Ayo masuk, Mbok Nah sudah menunggu di dalam!" ajak Tante Maya.

Alina masih enggan beranjak, sampai Tante Maya menarik lengan gadis itu agar mau masuk ke dalam rumah.

"Seandainya saja cctv rumah ini enggak rusak, pasti pembunuh mereka bisa tertangkap," gumam Alina melirik kamera cctv yang terpasang di sudut dinding rumahnya dekat dengan pintu utama.

"Kamera cctv yang sekarang sudah Tante suruh orang untuk perbaiki, jadi kamu tenang aja, enggak usah terlalu khawatir. Tante juga akan tinggal di sini," ucap Tante Maya.

Tiba-tiba saat Alina melangkah mengikuti tarikan lengan Tante Maya, sekelebat bayangan hitam berlari menuju kebun belakang rumahnya. 

"Ap-apa, apa itu, Tante?" 

******

to be continue...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status