Tubuh penuh dengan luka sobekan memperlihatkan tulang bersambut dengan bekas darah dan nanah yang bau busuknya menyeruak. Salah satu korban bahkan tengkorak kepalanya pecah sebagian dan memperlihatkan lelehan otak yang mengalir sedikit demi sedikit itu.
"Duh, ini pasti temennya Laila nih datang ke sini. Bodo amat ah, aku ngumpet aja," batin gadis itu seraya bersembunyi di balik selimut tersebut. Alina akhirnya terlelap.Pagi dini hari, suara ponsel Laila berdering dan langsung membuat Alina ketakutan. Gadis itu bangkit dan berusaha untuk meraih ponsel tersebut. Namun, sosok Laila juga terbangun dan hendak meraih ponsel tersebut."Alina, kamu kenapa? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Laila."Dia akan datang Laila, aku harus matikan hape ini!" sahut Alina."Alina, berikan hape aku!" pinta Laila."Tidak, tidak akan!" Alina langsung meraih ponsel tersebut dan membantingnya ke lantai."Alina, tidak...!" seru Laila.Tiba-tiba, sekelebat bayangan hitam itu terpantul ke dinding ruang perawatan rumah sakit itu."Laila, ayo kita pergi, dia datang, dia datang!"Alina berusaha menarik tangan Laila."Alina, kamu sudah gila, ya?" Laila mencoba menarik tangannya dari Alina."Ayo, kita pergi!"Sosok misterius berjubah hitam dengan tudung hitam di kepala itu datang menyergap. Alina berusaha bertahan dan menarik sosok misterius itu. Namun, gadis itu didorong dengan kepala menghantam dinding. Dia tak sadarkan diri kemudian.***Pagi itu, seorang wanita berusia kurang lebih 40 tahun datang ke ruangan Alina. Ia mengenakan celana kulot hitam dan kemeja berwarna hijau. Kacamata hitam yang tadinya melekat di wajahnya itu ia lepas. Benda itu beralih ke dalam tas jinjing yang ia kenakan."Hai, Lin!" sapanya."Tante? Tante Maya? Hampir saja aku lupa siapa Tante. Bahkan aku juga lupa siapa aku tadinya," sahut gadis itu."Maaf ya, seminggu yang lalu saat kamu masih belum sadar. Tante pernah datang ke sini, tetapi karena Tante harus menghadiri pameran di luar kota demi karir Tante. Jadi kamu Tante titip sama suster. Gimana kondisi kamu?" tanyanya seraya merebahkan bokongnya di kursi."Aku sudah merasa lebih baik, Tante Maya apa kabar?""Baik. Oh iya, kapan kamu boleh pulang?""Tunggu kunjungan Dokter Ridwan hari ini, kalau aku boleh pulang, ya aku pulang.""Semoga hari ini kamu boleh pulang. Tante sekarang jadi wali kamu, makanya Tante tinggal di rumah kamu.""Makasih ya Tante, aku juga enggak tau lagi harus gimana. Kenapa sih aku enggak mati aja?" Gadis itu meremas selimutnya dengan nada sedih dan kesal."Lin, kamu enggak boleh ngomong gitu. Semua sudah takdir, kita hanya bisa berdoa sama Tuhan semoga mereka tenang di surga.""Hmmm... hanya saja kalau ingat mereka aku tuh sedih banget," ucap gadis itu.Seorang suster datang mengecek ke apaan Alina."Nanti obatnya diminum ya setelah makan pagi," ucap Suster itu."Baik, Suster."Tiba-tiba, Alina teringat peristiwa semalam, peristiwa saat ia dan Laila melihat sosok misterius itu datang."Suster, pasien di samping saya ke mana, ya?" tanya Alina."Pasien meninggal dunia, ia mengalami serangan jantung secara tiba-tiba, memangnya kamu semalam enggak bangun ya saat pasien dibawa ke ruang ICU?" tanya suster itu."Apa? Laila meninggal, kena serangan jantung? Padahal semalam itu —""Maaf, saya permisi dulu ya, jangan lupa obatnya diminum!" Suster itu lalu pergi.Alina menceritakan semua kejadian malam itu pada Tante Maya. Namun, wanita itu berpikir kalau gadis itu hanya sedang berhalusinasi semata. Ia hanya mengangguk saat merespon keterangan dari Alina.***Keesokan harinya, Dokter Ridwan akhirnya datang dan menyatakan Alina sudah sehat. Toh gadis itu juga sudah mengingat kembali tentang dirinya. Dia akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Tante Maya, adik dari sang mama, membawanya masuk ke dalam mobilnya.Kini, hanya wanita itu keluarga satu-satunya yang ia punya. Ayahnya merupakan anak tunggal dan ibunya hanya punya adik perempuan yang belum juga berkeluarga. Akhirnya gadis itu mengikuti Tante Maya menuju rumah. Rumah yang masih enggan sebenarnya untuk ia datangi.Namun, sebelum Alina pergi, Dokter Indra menghampiri gadis itu di area parkir rumah sakit. Ia terlihat tergesa-gesa. Napasnya terdengar tersengal-sengal saat menghampiri gadis itu."Boleh aku minta nomor hape kamu?" tanya Indra."Nomor hape aku? mulai sekarang aku tak mau punya hape, aku tak suka, aku benci suara dering hape!" jawab Alina tegas."Hmmm... baiklah, kalau bertandang ke rumahmu, apa boleh?" tanyanya lagi.Tante Maya mengamati Indra dengan saksama. Ia merasa kalau pria itu menaruh hati kepada keponakannya tersebut. Wanita itu tersenyum menghampiri keduanya."Boleh, sini saya aja yang berikan alamat rumahnya," sahut Tante Maya."Wah, kalau begitu terima kasih," ucap Indra seraya menyerahkan ponsel di tangannya pada Tante Maya.Pria itu ingin sang Tante menuliskan alamat rumah Alina di ponselnya. Alina masih menelisik ke arah pria tersebut dengan tatapan sinis."Untuk apa kau ingin pergi ke rumahku, kita kan baru kenal?" Percakapan Alina dan Indra sudah mulai santai daripada awal pertemuan mereka terdahulu."Boleh kan kalau aku mau berteman dan kenal kamu lebih jauh?" tanya Indra."Boleh," sahut Tante Maya sembari tersenyum melirik ke arah Alina."Tante...." "Kamu harus punya teman, Lin, apalagi besok kamu harus mulai sekolah lagi, Papa sama Mama kamu pasti menginginkan kamu melanjutkan hidup seperti sedia kala, ya kan?" Wanita itu menoleh pada Alina yang masih merenung."Betul itu, aku yakin kamu seorang gadis yang ceria, keluarga kamu pasti mau kamu melanjutkan hidup seperti sedia kala," ucap Indra menimpali."Tapi, semua tak akan sama." "Saya juga sebenarnya minta nomor kamu, karena saya masih penasaran dengan rasa trauma kamu sama dering ponsel, makanya saya mau melakukan pengamatan lebih lanjut, ya," ucap Indra.Alina masih menunduk tak menjawab, ia masuk ke dalam mobil Tante Maya kemudian. Setelah mereka pamit dari Indra, mobil sedan itu melaju pergi.Sesampainya di rumah Alina, masih terlihat jelas ketakutan melanda gadis itu. Ia tak mau beranjak sedikitpun dari pintu mobil kala ia turun."Ayo masuk, Mbok Nah sudah menunggu di dalam!" ajak Tante Maya.Alina masih enggan beranjak, sampai Tante Maya menarik lengan gadis itu agar mau masuk ke dalam rumah."Seandainya saja cctv rumah ini enggak rusak, pasti pembunuh mereka bisa tertangkap," gumam Alina melirik kamera cctv yang terpasang di sudut dinding rumahnya dekat dengan pintu utama."Kamera cctv yang sekarang sudah Tante suruh orang untuk perbaiki, jadi kamu tenang aja, enggak usah terlalu khawatir. Tante juga akan tinggal di sini," ucap Tante Maya.Tiba-tiba saat Alina melangkah mengikuti tarikan lengan Tante Maya, sekelebat bayangan hitam berlari menuju kebun belakang rumahnya. "Ap-apa, apa itu, Tante?" ******to be continue...Ap-apa, apa itu, Tante?" tanya Alina seraya menunjuk ke arah kebun belakang.Tante Maya menoleh ke arah yang ditunjuk Alina. Tidak ada apapun yang ia lihat di sana."Kamu lihat apa? Enggak ada apa-apa di sana," ucap wanita itu."Tadi aku—""Sudahlah, ayo masuk!" Seorang wanita paruh baya berpakaian daster batik menyambut kedatangan Alina. Asisten rumah tangga itu sudah sejak lama bekerja di rumah besar milik ayahnya sejak gadis itu lahir. Hanya saja di malam kejadian mengerikan itu, Mbok Nah sedang pulang kampung karena ibunya meninggal dunia. "Non Alina!" Mbok Nah memeluk gadis itu dengan erat seiring dengan isak tangis yang terdengar. Wanita itu sudah menahannya sedari tadi dan tak sabar bertemu Alina."Maafin Mbok, Non, hiks hiks."Alina hanya terdiam menerima pelukan tersebut. Meskipun tak sadar kalau bulir bening telah bergulir membasahi pipi mulus gadis itu."Mbok, kamar Alina sudah disiapkan?" tanya Tante Maya."Sudah, Nyonya." Mbok Nah melepas pelukannya dari Alina saat me
Sosok bayi itu tiba-tiba saja tergantung di antara pintu kamar Alina yang terbuka. Wajah bayi itu lalu menoleh ke arah gadis itu dan kedua matanya mendadak terbuka. Terdengar tawa yang mengerikan dari balita berusia satu tahun itu. Sosok bayi tersebut bahkan tertawa lalu menangis, lalu tertawa, lalu menangis lagi dengan suara mengerikan yang langsung membuat bulu kuduk si pendengarnya meremang. Alina langsung menutup daun pintu itu dengan keras. Ia segera menuju ke atas ranjang dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Pikirannya benar-benar kacau. Dia merasa sangat ketakutan. Akan tetapi, ia tak mungkin berlari ke kamar Tante Maya dan menceritakan hal tersebut. Gadis itu yakin kalau Tante Maya tak akan percaya dengan cerita hantu. Wanita itu malah akan menganggapnya gila. Tubuh gemetar itu masih meringkuk di balik selimut. Ia coba pejamkan kedua mata lentiknya itu tanpa berdoa."Kumohon, tolong jangan ganggu aku," lirih Alina. Bibirnya gemetar dengan wajah pucat pasi sebelum ak
"Hantu lagi? Hantu Kaila pula? Kamu pasti mimpi buruk, Lin," ucap Tante Maya."Aku enggak mimpi buruk, itu nyata Tante!" Alina masih berusaha keras untuk meyakinkan tantenya itu."Sudah sudah, sudah cukup, kamu masih lelah, kondisi kesehatan kamu juga belum pulih, kamu jadi berhalusinasi bahkan bermimpi buruk. Sebaiknya kamu kembali tidur lagi!" Maya masih tak percaya dengan perihal hantu yang dikatakan Alina. "Tante harus percaya sama aku, bahkan tadi jam sembilanan aku lihat hantunya dedek Delilah. Kepala dedek menggantung di depan pintu kamar aku," ucap Alina menunjuk pintu kamarnya."Lin, Tante mohon ya berpikirlah secara logis. Mereka suka sudah meninggal, mereka udah tenang, enggak ada hantu-hantuan di dunia ini. Tante mau sekarang ini kamu istirahat supaya kamu bisa pulih kembali. Udahlah jangan bahas soal hantu lagi, Tante sebel dengernya!" Tante Maya lantas bangkit berdiri lalu pamit keluar dari kamar Alina menuju kamar tidurnya. Alina menoleh pada Mbok Nah yang sudah sel
Alina memasuki SMA Angkasa. Sekolah yang berada di Jalan Kemenangan nomor satu ini memiliki bentuk gedung yang modern seperti bangunan ruko berlantai sepuluh atau seperti gedung universitas di ibukota.Sekolah merupakan tempat yang digunakan untuk mendidik para siswa dan mempunyai jenjang yang beragam dan sudah diatur dengan baik. Misalnya untuk sistem pendidikan di Indonesia sendiri ada pendidikan wajib 9 tahun dimana setiap anak harus mendapatkan pendidikan maksimal sederajat dengan SMP. Selain itu ada juga pendidikan selanjutnya yaitu Sekolah Menengah Atas dan selanjutnya bisa melanjutkan ke perguruan tinggi menurut keahlian dan minat masing-masing.Pendidikan sendiri mempunyai banyak hal yang bisa diperhatikan, dimana selain sistem ada juga gedung sekolah atau tempat mendapatkan pendidikan yang bisa dipunyai. Selain dengan mempunyai fasilitas yang terbaik, gedung sekolah modern yang mempunyai desain bagus juga akan membuat siswa dapat menjadi betah ketika berada di sekolah.Dalam
Alina melirik ke arah Rossa kala sedang berdiri dengan tertib sesuai barisan saat sedang mendengarkan pidato dari kepala sekolah. Gadis itu mengingat pertemuan pertama kali dengan Rossa di sekolah tersebut.Dua tahun yang lalu.Rossa, gadis hitam manis berambut ikal berkaca mata agak tebal serta bibir tipis menghampiri Alina saat pertama kali berada dalam sekolah yang sama."Aku boleh jadi teman kamu, nggak?" tanya Rossa mengulurkan tangannya saat menyapa gadis yang suka menyendiri itu."Boleh." Alina membalas jabatan tangannya sambil menyunggingkan senyum yang hangat."Aku duduk sama kamu, ya?" pinta Rossa.Alina mengangguk dalam menjawab. Dan setelah itu takdir selalu membawa mereka berada di kelas yang sama dan duduk berdampingan di meja yang sama. Hanya Rossa yang menjadi sahabat Alina karena gadis itu sangat tertutup. Ada satu pemuda yang selalu menggoda Alina yang bernama Aldo. Pemuda tinggi sang kapten dari tim basket yang berkulit kuning langsat dengan rambut plontos itu suda
"Alina, buka pintunya, Lin! Apa itu kamu?" tanya Rossa yang mendengar suara tangisan itu.Tak ada jawaban yang terdengar dari dalam toilet. Rossa terus mengetuk pintu toilet tersebut seraya memanggil nama Alina."Ada apa dengan Alina?" Aldo masuk ke dalam kamar mandi siswi itu bersama dua guru pembina Pak Hadi dan Pak Toto."Enggak tau, tadi aku denger ada yang nangis di dalam sini, aku takutnya Alina. Tapi aku ketok-ketok nggak ada jawaban dari Alina. Aku takutnya dia pingsan," ucap Rossa dengan nada cemas."Kita dobrak aja ya, Pak?" pinta Aldo."Iya, Do."Kedua pria itu akhirnya mendobrak paksa pintu bilik kamar mandi itu. Benar saja dugaan Rossa, tubuh Alina sudah terbaring tak sadarkan diri di lantai kamar mandi dengan kepala berada di atas kloset.Aldo dan Pak Toto lantas membopong tubuh Alina menuju aula sekolah tempat para pelajar putri menginap malam itu."Alina kenapa, Pak?" tanya Mia si ketua OSIS periode sebelumnya."Nggak tau nih, pas kita dobrak dia udah pingsan di dalam
Tiga jam berlalu, Alina akhirnya terbangun dan mulai mengamati sekitarnya. Kepala gadis itu masih terasa pusing. Ia menatap ke arah dokter wanita yang sedang bertugas di ruang usaha kesehatan sekolah tersebut."Halo, nama saya Arini! Nama kamu siapa?" sapa sang dokter kala melihat kedua mata gadis itu sudah terbuka dan menatapnya."Nama saya Alina, saya sudah berapa lama pingsan, Dok?""Hampir tiga jam, kayaknya kamu sekalian lanjut tidur deh, hihihi." Dokter Arini tertawa seraya melirik waktu yang berdetak di arloji bertali rantai di tangan kirinya."Kamu sakit, ya? Apa kamu belum sarapan?" tanya Dokter itu."Saya sudah sarapan, Dok. Tapi, saya...""Kamu kenapa? Jangan-jangan kamu habis melihat sesuatu, seperti hantu ya?" tanya Dokter Arini."Bagaimana dokter bisa tau?" Alina balik bertanya."Kamu pucat banget, tapi semua kondisi kamu baik-baik aja seperti ketakutan gitu, terlihat sekali lho di muka kamu kayak anak murid sini kalau habis lihat hantu. Ummm... kata temen kamu, kamu jug
Dokter Arini menuju sedan civic putih yang terparkir di halaman SMA Angkasa setelah mendapat telepon dari ibunya."Mau ke mana, Bu?" tanya penjaga sekolah yang sedang melihat dan menyapa Dokter Arini."Eh, Pak Dirman! Saya mau ke atm, Pak, ibu saya minta kirim uang.""Lho, nggak pakai hape gitu kirim uangnya kan sekarang zaman canggih?" tanya pria berkumis tebal itu sambil tertawa."Hape saya yang bisa mobile banking rusak, Pak, ini lagi bawa hape jadul," ucap Dokter Arini seraya tersenyum."Oh, begitu... ya udah Bu hati-hati ya," ucap Pak Dirman."Terima kasih, Pak. Mari saya jalan dulu."Arini lalu melangkah ke lahan parkir mobil yang berada di samping gedung sekolah. Ia lantas melajukan mobilnya menuju sebuah mini market yang terdapat mesin anjungan tunai mandiri yang akan ia gunakan.Namun, sesuatu yang keji terjadi pada Arini saat berada di sebuah taman yang sepi menuju ke arah mini market."Hentikan mobil ini!" Suara berat dan parau terdengar penuh ancaman. Apalagi ujung senjata