Share

3

Aku mematikan telefon begitu saja. Kesal. Bagaimana tidak, pertemuan tiga bulan sekali itu bagiku cukup lama. Terlebih kami belum dikaruniai buah hati.

Kenapa harus mengejar lembur? Apakah kekayaan Mas Agam selama ini masih kurang? Seolah-olah ia terlalu mati-matian mengejar sesuatu yang tidak dibawa mati.

Mama mertua sepertinya mengetahui raut wajahku yang kesal. Beliau mendekat.

"Manda, tak sopan kamu berkata seperti itu kepada Agam. Buat bagaimanapun dia adalah suami kamu," ucap mama mertua dengan pelan.

"Kalau bukan aku yang mempertahankan harga diriku, lantas siapa lagi Ma. Aku bukan wanita murahan yang hanya bisa disenangkan oleh materi. Tidak seperti itu," elakku dengan tajam.

"Tapi selama ini kamu menikmatinya bukan? Kamu bahagia kan?" tanya mama mertua seolah olah aku sangat bahagia dengan harta anaknya.

Aku menarik nafas panjang. Semata agar bisa menenangkan diri.

"Ma, kalau tentang materi, aku sudah kenyang sedari kecil. Ah aku fikir mama bisa lebih dewasa daripada ini. Aku pulang dulu Ma," ucapku dengan lembut. Dan masih sama, aku mencium pipi kanan dan kirinya meskipun Mama mertuaku masih diam mematung.

Aku tidak suka dengan cara arogan dan berteriak-teriak. Ya aku lebih suka cara halus, tapi menohok.

Sesampai rumah, apakah aku menangis? Tidak sama sekali.

"Nyonya, ada paket," ujar Mbok Siti sesaat aku baru sampai rumah.

Alisku bertaut. Seingatku, aku tidak belanja lewat online. Aku terima. Dan ternyata nama Mas Agam yang tercantum di alamatnya.

"Mungkin hadiah dari Tuan, Nyonya," kata Mbok Siti

"Dalam rangka apa Mbok? Saya tidak ulangtahun," elak ku

"Ah Bos memberi hadiah kepada nyonya tidak melulu harus saat ulang tahun," sahut Mbok Siti.

Ya aku akui meskipun kami jauh namun Mas Agam seringkali mengirimi aku kejutan kecil. Tetapi semua tak bisa mengalahkan sebuah kehadiran.

Tanpa pikir panjang aku membuka paket itu. Toh itu tertulis atas nama suamiku. Jadi tak ada salahnya bukan?

Dan lagi-lagi isinya pakaian bayi. Aku menghela nafas dengan kasar. 

Permainan apa dibalik ini semua?

Aku segera keluar lagi, menghampiri Pak Bani. Namun aku Iba melihat laki laki paruh baya itu. Dia sedang batuk, tampak sesekali dia menggigil.

Pak Bani juga kaget melihat aku yang sedang berdiri dekat.

"Nyonya? Mau keluar? Mari saya antar," tawarnya walau badanya terlihat lemas.

Aku tak menyahut, melainkan mengambil beberapa lembar uang dari dalam dompet.

"Pak Bani pulang saja. Periksa ke dokter. Saya bisa mengemudi sendiri,"

"Tapi Nyonya. Saya dibayar untuk mengantar nyonya kemanapun," elaknya dengan pelan

"Dengar saya Pak. Pak Bani memang sopir saya. Tetapi anda juga manusia. Dan sudah selayaknya saya memanusiakan manusia. Sudah tak apa. Saya tidak marah," jawabku. 

Ya begitulah aku diajarkan sedari kecil. Untuk tak pandang bulu kepada orang lain. Entah berada atau dalam garis kekurangan.

Meskipun bertahun-tahun dimanjakan oleh materi, oleh pelayanan baik yang diberikan Mas Agam, yang selalu melarangku melakukan aktivitas berat, bahkan ia melarangku keras mengemudi mobil, tapi aku tetap lihai di jalanan. Hanya menikah dengan Mas Agam lah, aku mempunyai sopir. Sebelum menikah, orang tuaku mengajarkan aku untuk selalu mandiri, walau aku seorang perempuan.

Ada yang aneh di rumah mertua. Ada sebuah mobil pick up dengan angkutan kerangka besi seperti sebuah tenda acara tertentu. Aku hanya menatap penuh telisik.

"Ma," panggilku.

Mama Mertua yang tengah di dapur menoleh. Namun dia menatapku penuh haru.

"Manda sayang, tak perlu kamu minta ma'af. Mama sudah mema'afkan kamu, Nak." ucapnya tiba-tiba

Idih ge-er benar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status