Share

4. Ingin mengontrak rumah

Part 4

"Ada apa ini, Dek?" tanyanya sambil menatapku seakan penuh tanya.

Aku hanya terdiam, lidahku terasa kelu. Dan tiba-tiba saja butiran bening ini menetes tanpa kompromi lagi.

"Ibu, kenapa nangis?" tanya Aryan dengan polos. Dia memandang kami secara bergantian.

"Ibu gak apa-apa sayang, ibu hanya merasa sedih. Kakak Aryan main dulu ya, tapi jangan jauh-jauh, jangan gangguin Pak tukang. Main di sebelah sana saja ya, Nak." ucap mas Aris. Dia mencoba mengademkan suasana.

"Baik, pak."

Kemudian bocah kecil itu pergi keluar dengan ekspresi yang ceria.

"Ada apa ini, Dek?" mas Aris mengulangi pertanyaannya. Dia memandangku dengan tatapan serius.

Aku menghela nafas panjang. "Mas, apa sebaiknya kita ngontrak saja?" ucapku perlahan. Aku tidak yakin mas Aris setuju. Karena sebelumnya tiap aku mengajukan untuk mengontrak diluar dia selalu menolak. Alasannya tetap sama, kasihan ibu. Ibu sekarang adalah orang tua kita satu-satunya. Kalau bukan kita yang merawat siapa lagi? Mas Aris yakin, suatu saat ibu pasti akan berubah. Namun sayangnya sudah 6 tahun berjalan ibu tak pernah berubah, apalagi sekarang setelah sepeninggal bapak ibu semakin menjadi. Memang sih, sebelum bapak berpulang beliau berpesan agar aku tetap sabar menjaga ibu, karena tak ada yang lebih telaten merawat bapak dan ibu selain aku.

"Kenapa? Ibu lagi?" tanya mas Aris membuyarkan pikiranku. Dia mengernyitkan keningnya.

Aku mengangguk. "Mas, aku mohon untuk kali ini turuti permintaanku. Aku sudah gak kuat lagi, mas. Kali ini ibu sudah sangat keterlaluan. Sudah 6 tahun, sudah 6 tahun aku mencoba bertahan. Tapi... Tak pernah sekalipun ibu menghargaiku, ibu juga tak pernah menganggap anak-anak kita. Sudah cukup mas, kali ini aku menyerah. Aku bisa gila bila terus-terusan seperti ini."

Air mataku masih berderai membasahi pipi. Ulu hati ini terasa sakiiiit sekali. Sesak dan begitu nyeri di dada.

"Atau kamu mau melihatku gila mas? Atau kamu mau aku... aku... aku...."

Mas Aris langsung mendekapku, berusaha menenangkan gejolak rasa yang sedari tadi bermunculan di dada.

"Sssttt.... Jangan diteruskan lagi, dek. Maafkan mas. Maafkan mas, dek... Mas belum bisa ngasih yang terbaik untuk kamu. Baiklah, mas setuju. Kita akan mengontrak seperti keinginanmu." jawab mas Aris. Dia memegangi tanganku dan menyeka air mataku.

Aku semakin tergugu. Sungguh tak ada yang salah pada lelaki yang sudah menjadi suamiku ini. Hanya saja sepertinya takdir belum menentukan kita bahagia. Kami harus bekerja dengan sangat keras untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Maafkan mas kalau selama ini kurang peduli dengan keadaanmu disana," lanjutnya lagi. Dia meraih Reza yang ada di gendonganku. Menciumi wajahnya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Kalian sudah makan?" tanyanya lagi.

Aku hanya menggeleng. Dia menghela nafas panjang dan menatapku iba.

"Mas gak tahu kalau kamu begitu tersiksa disana. Baiklah, mas akan coba memperbaiki semuanya. Nanti kita cari kontrakannya ya. Tapi, apa kamu sudah benar-benar siap hidup kekurangan bersama mas?" tanyanya lagi dengan nada getir.

Ia mungkin merasakan kekhawatiran yang sama. Apakah setelah keluar dari rumah ibu kita akan hidup dengan layak? Atau minimal kita tak kekurangan makan? Ah entahlah. Keinginanku selama ini hanya keluar dulu dari rumah ibu. Rasanya telinga sudah tuli karena setiap hari harus mendengar ocehan ibu yang tak ada habisnya.

"Apa selama ini aku menuntutmu, mas? Aku selalu terima seberapapun penghasilanmu, aku terima," jawabku, masih dengan mata yang berkaca-kaca.

"Iya, Dek. Maaf. Ayo kita cari makan dulu. Kasihan kamu sama anak-anak. Kebetulan mas juga sudah gajian minggu ini, niatnya mas nanti sore pulang. Eh malah kamu kesini duluan. Mas izin ke pak mandor dulu ya..." ucap Mas Aris cukup menenangkan hatiku.

Alhamdulillah, Mas Aris mau mengerti perasaan dan kegundahan hatiku selama ini. Ia memang begitu perhatian seperti ini. Biarlah, mudah-mudahan ini menjadi keputusan yang sangat tepat. Asalkan hidup berempat dengan suami dan anak dengan kondisi yang cukup memprihatinkan, setidaknya aku tak mendengar omongan pedas ibu. Itulah yang kupikirkan saat ini.

"Iya, mas."

Setelah izin ke pak mandor, mas Aris kembali bersama dengan Aryan. Lelakiku itu menggandeng tangan putra sulung kami. Dia pun mengajakku untuk keluar dari proyek. Kami berjalan kaki ke warung terdekat untuk membeli makan.

"Bu, apa disini ada kontrakan yang masih kosong?" tanya mas Aris pada ibu pemilik warung.

"Oh ada mas, di kontrakannya pak haji Herman. Tinggal satu pintu yang belum terisi," jawab ibu pemilik warung itu dengan ramah.

"Apa jauh dari sini, bu?" tanya Mas Aris lagi, memastikan dimana lokasinya.

"Gak terlalu jauh kok, mas. Tinggal lurus nanti ada gang belok ke kanan. Tanya aja kontrakan haji Herman, semuanya pada tahu kok."

"Baik, Bu. Terima kasih ya."

Setelah makan siang bersama di warung itu, dengan menu yang sederhana, nasi plus sayur asam dan juga tempe goreng, tak lupa sambal untuk mengganjal perut kami yang sedari tadi keroncongan.

Kami menyusuri jalan yang belum beraspal untuk melihat kontrakan itu. Kontrakan Haji Herman katanya. Akhirnya gak lama kami menemukannya. Memang tidak sulit, kontrakanpun sangat strategis. Bangunannya menghadap ke jalan desa yang cukup ramai dilalui motor dan buat lalu lalang masyarakat.

"Gimana, kamu setuju tinggal disini?" tanya mas Aris setelah kami melihat bangunan di depanku.

Aku mengangguk. Kontrakan 3 petak, ruang tamu, ruang tengah dan dapur kamar mandi, sudah cukup layak buatku dari pada harus tekanan batin terus menerus di rumah ibu.

"Ya sudah, kalau kamu setuju nanti sore kita kemasi baju-baju dan pamitan sama ibu," ujar Mas Aris lagi.

"Baik mas." Kujawab dengan nada mantap.

Mas Aris kembali berbincang dengan pemilik kontrakan.

"Baik Pak, kalau begitu kami sekeluarga mau mengontrak di sini. Rencananya nanti sore mau ambil baju dulu ke rumah."

"Iya, silakan, Mas, dengan senang hati," sahut Pak Haji begitu ramah.

Uang sewanya 500 ribu perbulan sudah dibayarkan langsung oleh suamiku. Alhamdulillah, dalam hati merasa sangat lega.

Tak lama, pemilik kontrakan pun pergi meninggalkan kami.

"Dek, uang mas tinggal segini..." ucapnya sambil menyodorkan selembar uang 100 ribu. "Apa cukup sampai gajian minggu depan?" tanyanya kembali. Dia khawatir kalau kebutuhan kami tak tercukupi. Aku tersenyum getir. Ya Allah, rasanya kasihan sekali jadi suamiku. Mungkin dia pun tengah pusing menghadapi hal ini. Tapi tidak, aku sebagai istri harus menguatkannya bukan?

Aku tahu, gaji mas Aris 600 ribu per minggu. Biasanya, 400 ribu dia berikan kepadaku dan yang 200 ribu dia pegang sendiri untuk biaya makan dan lainnya selama di proyek, serta ongkos untuk pulang ke rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status