Part 3
Setelah selesai, kusiapkan semuanya minuman serta makanan yang tadi sudah aku masak di meja makan."Bu, sudah selesai," ucapku pada ibu. Ibu hanya mengangguk lalu mengajak anak dan cucunya untuk makan siang bersama. Tentu saja anak dari Mbak Ayu, bukan anak-anakku. Ia tak peduli pada anak-anakku, mau makan atau kelaparan."Ayo cucu, cucu nenek kita makan sama-sama," kata ibu. "Ayu, Bagas, Arin... Ayo kita makan sama-sama, nak," teriak ibu lagi. Bahkan, aku yang ada di hadapannya pun tak ia panggil, aku yang sudah memasak untuk semuanya tapi tak pernah terlihat.Sudah biasa hal seperti itu terjadi, aku tak pernah dianggap olehnya, tapi bila ibu membutuhkan bantuan, akulah orang pertama yang dia panggil menjadi tamengnya.Dari pada sakit hati lebih lanjut, aku bergegas masuk ke kamar dan menggendong anakku. Sudah sangat siang, tapi aku ingin membawanya ke puskesmas terdekat, pasti masih ada petugas kesehatan yang berjaga disana kan?"Aryan, kamu juga siap-siap ya nak. Pakai topinya, nak." ucapku pada putra sulungku itu. Dia mengangguk dan lanjut bertanya."Kita mau kemana, Bu?" tanyanya dengan polos."Kita akan ke puskesmas periksain adik. Nanti pulangnya mampir ke tempat kerja bapak ya, nak..." jawabku sambil sebisa mungkin untuk tersenyum. Aku tak ingin menangis di depan anak-anak. Walau rasanya hari ini begitu berat. Sangat berat."Ke tempat bapak, bukannya jauh bu?" tanya Aryan lagi. Dia mengambil topinya sendiri di tumpukan bajunya di keranjang plastik."Iya, nak. Nanti kita naik angkot ya.""Asyiiik.... Kita gak makan dulu, Bu? Bukannya tadi ibu sudah masak? Aryan lapar, Bu..."Deg! Hatiku makin mencelos mendengar pertanyaannya."Tidak, nak. Nanti kita beli roti di jalan ya nak. Kamu mau kan? Ini soalnya udah siang banget, mau periksain Dek Reza dulu.""Yeay, asyiiik... roti sama es krim ya, Bu...""Iya, nak..."Aku menggendong Reza, sedangkan Aryan aku gandeng."Lho dek, kalian mau kemana?" tanya mbak Ayu. "Oh, aku mau keluar dulu mbak," jawabku singkat, tak ingin berbasa-basi."Sini makan dulu dek, yang masak kok malah gak makan..." Mas Bagas menimpali. Dia memandangku dengan tatapan iba. Sedangkan ibu, dia hanya diam saja sambil terus mengunyah makanan di hadapannya."Tidak mas, nanti saja," jawabku. Berbekal uang dari Mas Bagas, aku pergi sambil membawa perasaan sedih. Sakit rasanya tidak dianggap di keluarga sendiri. Aku berjalan menuju puskesmas terdekat yang jaraknya kurang lebih 200m dari rumah.Sepanjang jalan aku terus memikirkan sikap ibu yang tak pernah menganggapku ada terutama sikapnya pada anakku. Benarkah tak ada sedikitpun rasa sayangnya pada mereka? Haruskah aku bertahan disana? Sampai kapan? Hati rasanya sudah tidak kuat menjalaninya. Sakit, terlalu sakit. Atau aku pergi saja? Hidup mandiri dan mengontrak seperti yang disarankan teman-teman? Ya, aku harus mengutarakan maksudku pada Mas Aris. Agar dia bisa mengerti bahwa aku tidak baik-baik saja di rumah ibuku sendiri.Di Puskesmas, Reza langsung di periksa lalu di beri resep obat penurun panas sekaligus vitamin. Tak lupa aku menyempatkan diri untuk membeli roti dan es krim sesuai permintaan Aryan. Dia terlihat bahagia bisa menyantap es krim yang diidamkannya. Sesudahnya aku pulang, bukan pulang ke tempat ibu. Tapi ke tempat kerjaan suamiku, di proyek pembangunan perumahan. Kami menaiki angkot yang menuju kesana. Aku tahu, karena mas Aris pernah mengajak kami kesana. Kami turun dari Angkot, kebetulan proyek pembangunan perumahan itu tak jauh dari jalan raya. Memang proyeknya ada di tengah areal persawahan. Kami berjalan sebentar ke tempat itu. Kulihat Mas Aris sedang duduk istirahat makan siang bersama rekan kerjanya."Bapaaaak....!" panggil si sulungku sambil berlari kearah bapaknya. Mas Aris menoleh dan tersenyum. Dia menggendong Aryan, lalu berjalan menghampiri kami. "Lho dek, panas-panas malah kesini ada apa?" tanyanya tersenyum menyambut kami. Dia mengulurkan tangannya, dengan segera ku cium punggung tangan suamiku itu. Tak lupa dia mencium Reza yang tengah berada digendonganku. "Dek, Reza panas?" tanyanya kemudian sambil menempelkan tangannya ke kening dan leher Reza. Aku hanya mengangguk."Ayo kita kesana dulu." ajaknya sambil membawaku ke sebuah bangunan rumah yang belum sepenuhnya jadi. "Nah, kita duduk dulu disini ya..." ujarnya pada Aryan. "Ada apa ini dek?" tanyanya sambil menatapku seakan penuh tanya.Aku hanya terdiam, lidahku terasa kelu. Dan tiba-tiba saja butiran bening ini menetes tanpa kompromi lagi.***Di rumah ibu.Mereka sedang menikmati makan siang bersama. Makanan yang dimasak oleh Dewi."Bu, jangan terlalu keras lah sama Dewi, kasihan..." ujar mbak Ayu mengawali perbincangan."Biarkan saja," jawaban ibu masih terkesan cuek."Dewi juga sudah banyak membantu, Bu. Jangan terlalu dikerasin seperti itu.""Terus harus gimana? Dimanja? Enak saja! Ibu masih sakit hati sama dia. Dia sudah membangkang ibu. Dia mempermalukan keluarga kita!" tukas ibu, nada bicaranya berapi-api. Ya, ibu masih marah. Bahkan sepertinya dia menyimpan dendam yang tak berkesudahan."Ibu terlanjur kecewa akan sikapnya dulu! Dia kabur pas hari perjodohan dan memilih pergi bersama laki-laki miskin itu. Ibu gak terima! Ibu dihina habis-habisan sama keluarga Pak Nyoto. Betapa malunya keluarga kita gara-gara anak sialan itu!" tukas ibu lagi."Sudah jalannya seperti itu Bu. Mungkin memang Aris jodohnya Dewi, buktinya sampai se....""Lihat aja hidupnya sekarang, menyedihkan. Masih miskin dan serba kekurangan! Coba kalau dia nurut omongan ibu. Nikah dengan anaknya Pak Nyoto itu, pasti hidupnya jauh lebih baik!""Sudahlah, Bu. Itukan sudah masa lalu, lebih baik mulai sekarang ibu belajar menerima mereka. Kasihan Dewi apalagi anak-anaknya," ucap Ayu lagi. Dia mencoba memberi pengertian pada ibunya yang begitu keras kepala."Tidak, tidak akan! Terutama laki-laki itu yang sudah berani membawa kabur anakku. Gara-gara dia sifat Dewi jadi berubah. Kalau bukan karena bapakmu, ibu tak sudi menerima mereka disini.""Sabar, Bu. Sabar.""Bapakmu terlalu memanjakannya. Dia malah menyetujui pernikahan mereka, dan membawa mereka tinggal disini. Bapakmu juga yang selalu membelanya. Sekarang lihat? Punya apa dia?""Istighfar, Bu. Istighfar... Ibu tidak boleh berkata seperti itu. Rezeki, jodoh, maut itu sudah diatur oleh Gusti Allah. Kita tidak bisa menentangnya," kali ini Bagas menimbrung obrolan mereka.Ibu terdiam. "Iya, benar bu yang dikatakan mas Bagas. Mungkin sudah takdirnya Dewi berjodoh dengan Aris. Ibu tinggal doakan saja mereka agar hidupnya lebih baik. Aris juga laki-laki yang baik, buktinya dia sangat bertanggung jawab terhadap keluarganya."Ibu hanya menghela nafas panjangnya. "Bu, maafkanlah mereka...""Ibu akan memaafkan mereka kalau mereka bisa membuktikannya. Dewi harus membuktikan kalau suaminya itu memang benar-benar layak. Minimal Aris harus punya pekerjaan tetap tidak bekerja serabutan seperti itu. Ibu malu. Ibu malu kalau dengar mereka jadi bahan gunjingan para tetangga," sahut ibu. Kemudian ibu pergi begitu saja meninggalkan tempat makannya.Part 4"Ada apa ini, Dek?" tanyanya sambil menatapku seakan penuh tanya.Aku hanya terdiam, lidahku terasa kelu. Dan tiba-tiba saja butiran bening ini menetes tanpa kompromi lagi."Ibu, kenapa nangis?" tanya Aryan dengan polos. Dia memandang kami secara bergantian."Ibu gak apa-apa sayang, ibu hanya merasa sedih. Kakak Aryan main dulu ya, tapi jangan jauh-jauh, jangan gangguin Pak tukang. Main di sebelah sana saja ya, Nak." ucap mas Aris. Dia mencoba mengademkan suasana. "Baik, pak."Kemudian bocah kecil itu pergi keluar dengan ekspresi yang ceria. "Ada apa ini, Dek?" mas Aris mengulangi pertanyaannya. Dia memandangku dengan tatapan serius.Aku menghela nafas panjang. "Mas, apa sebaiknya kita ngontrak saja?" ucapku perlahan. Aku tidak yakin mas Aris setuju. Karena sebelumnya tiap aku mengajukan untuk mengontrak diluar dia selalu menolak. Alasannya tetap sama, kasihan ibu. Ibu sekarang adalah orang tua kita satu-satunya. Kalau bukan kita yang merawat siapa lagi? Mas Aris yakin, suatu
Part 5"Gak apa-apa mas, insyaallah nanti ada rezeki yang lain..." jawabku kemudian.Mas Aris mengangguk sambil tersenyum. "Syukurlah, kalau kamu bisa mengaturnya, Dek. Mas percayakan padamu. Tapi insyaallah semoga walaupun cuma sisa sedikit, kita bisa lewati semua ini dengan baik ya.""Iya, Mas. Asalkan kita tetap bersama-sama berpegangan tangan, pasti bisa melewati hari hari ke depan dengan baik, meski harus puasa lebih sering."Mendengar jawabanku, Mas Aris tertawa. Dia mengusap kepalaku dengan lembut. Kepala yang hanya ditutupi oleh jilbab dengan warna yang sudah usang."Ya sudah, kalau gitu, kalian tunggu disini, mas mau pinjam motor pak mandor dulu ya buat pulang ke rumah. Sayang kan kalo harus naik angkot dua kali," ucap Mas Aris kembali. Lelaki yang penuh kesabaran, panutanku, imam dalam hidupku."Iya, mas."Setelah kepergiannya, aku mengamati keadaan sekitar. Sanggupkah aku memulai hidup disini dari 0? Bahkan kami tak mempunyai tabungan sepeserpun. Tak ada barang apapun di si
Part 6"Pergiiii...!!"Aku terhenyak mendengar teriakan ibu. Si kecil Rezapun kaget, dan menangis karenanya."Baik, Bu. Kami beres-beres dulu," jawab mas Aris lagi. Kami langsung masuk ke kamar karena tak ingin mendengar teriakan ibu. Sementara ibu masih duduk mematung di tempatnya, memijat pelipisnya sendiriz entah apa yang tengah dipikirkannya saat ini. Apakah dia akan kembali berpikir kalau kami anak-anak yang durhaka? ***Di dalam kamar, situsasi udah tidak karuan.Aku membereskan baju-baju kami semua, Mas Aris dengan cekatan membantuku, memasukkannya ke dalam tas ransel. Kembali meneliti supaya tak ada satupun barang yang tertinggal."Kamu lihat sendiri kan mas? Sikap ibu? Dia setiap hari seperti itu padaku. Aku tak pernah dianggapnya ada. Padahal aku juga capek, mencuci, masak, nyapu aku membersihkan semuanya sendiri. Tapi....""Iya, dek..." sahut Mas Arin dengan nada suara pelan."Aku sudah gak tahan, mas..." isakku.Air mataku tumpah lagi, tak henti-hentinya kuseka bulir-bul
Part 7Aku dan Mas Aris sudah sampai di kontrakan. Tak banyak yang kami bawa, hanya baju-baju untuk ganti. Sesulit inikah hidup sebagai orang tak punya? Hingga dibenci sama ibu sendiri? Atau... Adakah alasan yang lainnya yang tidak kumengerti?Rasanya hari hari kulalui begitu berat. Tapi bukankah kita harus bersabar?Aku membaringkan Reza di kasur lantai. Tangan dan pundak terasa begitu pegal karena hampir seharian menggendong si bungsu. Aryan pun berbaring di sampingnya. "Maafin kami ya, Nak. Kalian harus tidur hanya beralaskan kasur lantai yang tipis," ujarku dengan nada tertahan.Air mataku terus saja mengalir, enggan untuk berhenti walau aku menyekanya berkali-kali."Dek, udah jangan menangis terus. Istirahatlah," ucap mas Aris. Dia mengisik bahuku dengan pelan."Sekarang mandilah dulu, biar badanmu segar. Kita gantian, Mas juga mau mandi seharian rasanya begitu lelah."Aku mengangguk, bangkit dari duduk dan meraih handuk dalam tas ransel. Gegas masuk ke dalam kamar mandi, menyal
Part 8Flashback ( Masa lalu Aris )Bagian 1"Hei, jangan pergi kalian!" Suara teriakan petugas satpol PP itu mengehenyakkanku. Aku yang tengah mengamen segera berlari menghindar dari amukan. Mereka menendang para pedagang asongan yang masih nekat berjualan di sana di usir dengan membabi buta."Ayo bereskan mereka, jangan sampai ada yang lepas."Aku awalnya bersembunyi dibalik badan seseorang. Tapi rupanya aku salah strategi, mereka para petugas melihatku."Cepat tangkap mereka yang berusaha kabur!" teriak petugas itu lagi membuatjantung berdegup sangat kencang. Semua berlarian, berhambur tak tentu arah tujuan, termasuk aku. Satu hal yang ada di pikiran. Kabur dan jangan sampai tertutup."Itu mereka, kejaaaarr!" Suara gesekan sandal dan sepatu berlarian di jalanan terdengar berdecit.Aku berlari-lari dari kejaran satpol PP yang sedang merazia kami, para anak jalanan. Ya, aku menjadi anak jalanan sejak 5 tahun lalu, saat usiaku menginjak 11 tahun. Kematian kedua orang tuaku membuat
Part 9Hari-hariku berlalu penuh dengan rasa suka cita. Tinggal di lingkungan masjid membuat pribadiku lebih baik lagi. Kini,Sudah 6 tahun semenjak hari itu, hari yang paling bersejarah yang membuatku terdampar di lingkungan yang baik ini. Sejak saat itu aku menjadi giat untuk belajar agama. Hari-hariku dipenuhi oleh ceramah pak ustadz dan juga belajar mengaji. Selain menjadi marbot masjid, aku juga seringkali bekerja sebagai kuli bangunan agar aku tetap bisa melanjutkan hidup. Bukan hanya mengandalkan belas kasih orang, tapi akupun harus berjuang. Pak ustadz tidak keberatan akan hal itu, yang terpenting masjid tetap terjaga kebersihannya. Dan tibalah hari itu, hari dimana untuk pertama kalinya aku bertemu dengan gadis itu. Gadis dengan senyumannya yang manis. Parasnya begitu ayu, bahkan sepertinya ia punya aura tersendiri. Gadis itu yang mampu menarik perhatianku. Aku tak pernah menyadari, sejak kapan benih-benih ini muncul. Yang jelas saat itu, dia hadir di acara santunan anak yat
Part 10Aku sudah menguatkan hatiku, meski kemungkinan terburuk, aku bakal patah hati. Tak apa, aku masih bisa menahannya. Asalkan aku bisa melihat senyuman di wajah cantiknya, itu tak masalah. Hari inipun tiba, hari yang akan menjadi hari sakralmu, melepas lajang dengan seseorang yang tepat. Aku tersenyum membayangkan wajahmu. Semoga kamu bahagia, Dewi. Maaf aku tak datang di hari pernikahanmu. Biarlah hanya doaku saja yang sampai karena aku masih tak bisa bila harus bertatap wajah denganmu.Pagi menjelang siang ini, karena tak ada pekerjaan, aku tengah membersihkan masjid, agar lantainya tetap bersih dan kinclong. Begitu pula kacanya agar bebas dari debu. Aku menyibukkan diri agar tak terlalu kepikiran padanya. Perasaanku ini memanglah salah, muncul begitu saja tanpa bisa kubendung. Aku harus membuang perasaan ini jauh jauh. Aku harus menghapus semuanya.Tiba-tiba aku terperanjat kaget, saat melihat Dewi berlari menuju ke arahku, masih dengan kebaya putih dan hijabnya yang melekat.
Part 11Sementara di tempat ibu.Mbak Ayu dan keluarganya bersiap pergi meninggalkan ibu. "Kalian mau kemana?" tanya ibu."Kami pulang dulu, bu." jawab mbak Ayu"Katanya mau menginap disini? Ibu masih kangen sama cucu-cucu ibu..." ujar ibu dengan nada berat."Tidak, Bu. Kapan-kapan saja.""Kenapa?" tanyanya lagi."Tidak apa-apa. Cuma Ayu mau bilang, kali ini ibu sudah keterlaluan sama Dewi. Kasihan Dewi, Bu. Dia juga anak ibu, kenapa ibu terus menerus memarahinya. Kalau aku jadi Dewi mungkin sudah kabur sejak dulu. Sungguh aku tak kuat mendengar omongan ibu yang selalu marah-marah."Ibu terdiam."Sesekali bersikap lembutlah pada Dewi, Bu. Kasihan anak itu, dari dulu dia yang selalu membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah. Masa hanya gara-gara suaminya miskin ibu terus menerus mencacinya begitu? Rasanya sungguh tidak adil, Bu. Berarti kalau kita miskin, tidak menutup kemungkinan kalau kita juga akan diperlakukan sama seperti Dewi, iya kan bu?" ujar mbak Ayu.Ibu menggeleng. "Tidak n