Share

2. Pilih kasih

Part 2

"Assalamualaikum... Wi... Dewi...!" teriak ibu dari luar. 

Aku berlari menghampirinya. "Waalaikum salam," jawabku kemudian. Kulihat ibu baru pulang dari pasar.

"Ini belanjaannya dibawa masuk dulu," sergah ibu sambil menyerahkan tas keranjang belanjaan. Lalu, ibu mengambil uang di dompet untuk membayar tukang becak yang sudah mengantarnya pulang.

"Baik, Bu," jawabku sambil beranjak menaruh barang belanjaan ibu ke dapur. Ibu mengikutiku dari belakang.

"Gimana kamu udah masak nasi belum?" tanya ibu.

"Ah, maaf bu. Aku belum sempat ...."

"Haduuh kamu gimana sih, kenapa malah belum masak nasi?!" tukas ibu dengan raut wajah begitu kesal.

"Maaf bu, tadi aku nyuci, terus kelupaan..."

Ibu memotong ucapanku lagi. Dia berdecak kesal, tak suka aku banyak beralasan. Ia menggerutu, entah mengatakan hal apa yang jelas semua tertuju padaku. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sembari bertanya. "Jadi belum kelar semua?"

"Masih sisa sebagian yang belum dijemur, Bu," sahutku menjelaskan. Aku benar-benar sudah sangat lelah. Lelah tak dihargai dan jua tak dianggap dalam keluarga ini. Hanya diperas tenaga dan keringat untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, sudah layaknya babu gratisan.

"Ckcckk... Ya sudah sana selesaikan dulu, nanti kesini bantu ibu masak!" pungkas ibu lagi. Tegas.

"Baik, Bu," jawabku lagi. Kenapa hanya pasrah? Ya, harus bagaimana lagi. Sungguh aku tak berani menolak perintah ibu. Dia yang punya kuasa di sini. Semua anak harus menurut padanya, tanpa terkecuali.

Aku segera menyelesaikan tugasku. Menjemur pakaian di teras belakang. Menyampirkan satu persatu lembaran baju di atas tali jemuran. Tak peduli dengan terik mentari yang menyengat dan menyilaukan mata ini.

"Riiin... Ariiin..." teriak ibu memanggil adik perempuanku. Adik perempuanku itu masih berjibaku dalam kamar dan tak bisa diganggu gugat, entah apa yang dilakukannya.

"Apaan sih, Bu. Ribut terus dari tadi!" Arin menghampirinya dan menimpali dengan nada kesal. Wajahnya tampak ditekuk dengan bibir monyong lima mili.

"Sini lho, bantu ibu sama kakakmu ini. Jangan pintarnya cuma makan doang!" tukas ibu pada gadis itu.

Arin hanya cemberut, melihat sekilas lalu beranjak pergi lagi. "Gak mau ah, Bu. Aku lagi ada kelas online!" timpalnya sambil berlalu lagi menuju ke kamarnya. Tanpa beban, tanpa takut dimarahi. Ah biarpun begitu, si bungsu adik perempuanku itu selalu disayang sama ibu. Apapun keinginannya akan selalu dituruti, sedari kecil memang begitu. Ibu sangat menyayangi adikku itu, memanjakannya hingga sampai besarpun tak pernah berubah.

Kulihat ibu masih menggerutu sendiri, sembari memilah-milah barang belanjaannya. Sayur mayur, bumbu, dan lauk dipisah. Ibu menyiapkan sayur dan lauk mana yang akan dimasak lebih dulu, sementara sisanya masuk dalam kulkas untuk hari selanjutnya.

Setelah selesai menjemur aku bergegas menuju ke kamar untuk melihat anak-anakku sejenak. Apakah mereka masih tidur? Atau sudah terbangun. Tapi memang mereka tak bersuara, membuatku cukup khawatir.

"Eh mau kemana, Wi?" tanya ibu saat melihatku masuk kedalam.

"Sebentar Bu, mau nengokin Reza dulu."

"Jangan lama-lama," jawab ibu agak ketus, seolah tak ada rasa empati sedikitpun. Pilih kasih, itulah yang kurasakan sejak dulu. Bahkan jauh sebelum aku menikah. Nada bicara ibu padaku selalu ketus tak seperti ke anak yang lainnya, seolah aku ini musuh bebuyutannya.

Dadaku berdenyut nyeri, rasanya sakiiit sekali. Apalagi semenjak aku menikah dengan Mas Aris, ibu tak pernah perhatian lagi denganku, apalagi peduli pada anakku. Padahal mereka juga cucunya. Memang salahku, dulu pernah membangkang keinginan orang tuaku. Aku menolak untuk dinikahkan dengan putra teman ibu yang kaya itu. Namun justru aku memilih pemuda yatim piatu. Ya, dia Mas Aris yang dikata miskin oleh ibuku. Sebenarnya ibu tak pernah menyetujui kami menikah. Dia tak pernah menyukai suamiku. Apalagi pekerjaan suamiku masih belum tetap, masih serabutan. Hal itu yang terus diungkit-ungkit oleh ibu. 

Kupeluk tubuh mungil itu. Dan memeriksa badannya, masih panas namun tidak seperti tadi pagi. Reza membukakan matanya dan tersenyum lemah. 

"Nak, cepat sehat ya sayang," ucapku sambil menciumi kening dan pipinya. Mengusap berkali-kali dahinya yang masih hangat.

"Kakak Aryan juga harus sehat ya, nurut sama ibu," ucapku lagi pada si sulung sambil mengelus-elus rambutnya.

"Baik, Bu."

"Kakak tetap disini ya, jagain adik. Ibu harus bantu nenek di dapur." Aku kembali memberinya pengertian.

Bocah kecil itu mengangguk. Sungguh anugerah terbesar adalah bila dikaruniai seorang anak yang penurut. 

Suara deru mobil terhenti tepat di depan rumah. Keluarga mbak Ayu datang. Mereka, anak-anak mbak Ayu langsung berlari menghambur ke arah neneknya.

"Neneeeek...." teriak mereka dengan sumringah. 

Ibu menyambut pelukan mereka dengan hangat. Ibu menciumi cucu-cucunya secara bergantian. Hal yang tak pernah dia lakukan terhadap anakku. Ya, terhadap anakku, ibu tak pernah sedekat itu, boro-boro menimang. Dia begitu acuh pada Reza dan juga Aryan.

"Wi, buatkan teh manis buat kakakmu, lho. Terus lanjutkan masak buat makan siang nanti." Seperti biasa ibu selalu menyuruhku tanpa peduli bagaimana perasaanku. Ia pun tak peduli dengab responku yang keberatan. Baginya perintahnya itu adalah kewajiban.

Aku berlalu ke dapur dan membuatkan teh manis untuk mereka. Tak terasa air mataku meleleh lagi. Ya Allah, kenapa rasanya ini tak adil.

"Dek, kamu kenapa?" tanya mas Bagas mengagetkanku. Bahkan tak kusadari kehadirannya sejak kapan dia berdiri disana.

Segera kuseka air mataku dan hanya menggeleng, berusaha menyembunyikan kegelisahanku.

"Anak-anakmu mana? Kok gak kelihatan?" tanyanya lagi sembari memandang sekeliling, tapi tak ada Sn

"Mereka ada di kamar mas, Reza sakit jadi Aryan kusuruh menjaganya."

"Sudah berobat?" tanya Mas Bagas.

Aku menggeleng lagi masih sambil menuangkan air teh ke gelas-gelas yang sudah kusiapkan.

"Nih, ambillah..." Ujarnya sambil menyodorkan uang seratus ribuan. Ia mengambilnya dari dompet.

"Ti-tidak mas. Tidak usah," sahutku lagi. Aku merada tak enak bila harus merepotkan saudara ipar.

"Ambillah ini dan ajak anakmu berobat," ujar Mas Bagas lagi. "Kasihan anakmu, kalau sudah dibawa periksa kan setidaknya dapat resep obat."

"Tapi... Nanti mbak Ayu....." Aku berkata pelan, aku tak ingin pemberian Mas Bagas ini malah jadi fitnah untukku. Pasalnya Mbak Ayu itu agak pelit dan memegang kencang keuangan keluarga.

"Mbakmu gak tahu, dia lagi ngobrol sama tetangga sebelah," jawab mas Bagas lagi. "Kasihan anakmu, jangan dibiarkan begitu saja." Dia meletakkan uang itu di dekat gelas-gelas teh lalu beranjak pergi. Mungkin agar aku mau menerimanya.

"Makasih, mas," ucapku lirih yang mungkin tak didengarnya. Ada perasaab lega dalam hati, mendapatkan rezeki tak terduga seperti ini. Jadi aku bisa membawa Reza ke puskesmas terdekat.

Kenapa di saat seperti ini justru yang lain lebih peduli? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status