Part 1
"Wi, itu baju kotor dah numpuk. Mbok ya dicuci dulu. Jangan malas!" seru Ibu. "Udah jam segini kok, masih di kamar!" imbuhnya lagi.Aku menatap jam yang bertengger di dinding kamar, memang sudah siang, waktu sudah menunjukkan pukul 08.15 WIB. Bukan tanpa alasan aku masih di kamar, si bungsuku yang berumur 1,5 tahun dia sedang sakit dari kemarin, sakit panas. Ya, sekali lagi dia tak mau ditinggal. Sekali ibunya beranjak, dia langsung menangis. Dia bungsuku, namanya Reza.Aku hanya bisa mengompresnya dengan air hangat. Aku tak punya uang walaupun hanya sekedar untuk membeli obat penurun panas di warung. Pernah aku minta uang pada ibu, tapi sekali lagi ibu bilang Reza adalah tanggung jawab suamiku. Ya memang benar, aku adalah seorang istri, tapi ... keadaan ekonomi kami sungguh memprihatinkan. Saat ini aku benar-benar berada di titik yang terendah. Tak memegang uang sepeserpun. Mau berhutang ke warung tapi malu. Pasti dicibir oleh tetangga maupun yang lainnya. Ah entahlah, saat ini perasaanku benar-benar kacau. Anak sakit, uang habis dan ibu yang selalu mengomel tanpa henti."Wi, ibu mau ke pasar. Nanti kamu masak nasi yang agak banyak. Siang nanti kakakmu mau datang. Jangan lupa baju sama piring di cuci jangan numpuk kotor begitu. Jorok!" seru ibu lagi cukup menghenyakkanku dari lamunan. Ya, aku tak pernah diberi sedikit saja ruang dan waktu, harus melakukan pekerjaan rumah sampai selesai, padahal sudah kubilang kalau anakku kini tengah sakit. Seolah ibu tak peduli."Baik, Bu." Jawabku lagi, tanpa ada kata bantahan, tanpa ada kata menolak, bila tidak, ibu akan makin mencecarku dengan nada penuh emosi.Aku memegang kening anakku, memeriksanya apakah anakku masih demam atau sudah turun panasnya. Reza mulai nyenyak tidurnya. Lalu aku bergegas ke belakang, seperti yang sudah-sudah. Mencuci baju seluruh penghuni rumah ini dan mencuci piring kotor bekas sarapan ibu maupun adik-adikku."Aku harus cepat melakukan ini semua, kalau tidak ibu akan ngomel lagi padaku," gumamku dalam hati. Aku tak ingin melihat ibu marah-marah, takutnya anakku akan terbangun kembali.Ya, wanita yang menyuruhku itu adalah ibu. Dia ibuku. Walaupun aku sudah menikah, tapi aku masih tinggal disini di rumah ibu bersama kedua adikku. Satu adik laki-lakiku sudah bekerja sebagai supervisor di pabrik sepatu. Sedangkan satu lagi adik perempuanku, dia masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Namun karena masa pandemi, dia hanya berdiam di kamar dan berkutat dengan handphonenya, kalaupun keluar rumah pergi bersama teman-temannya, tanpa mau sedikitpun membantuku setidaknya bermain dengan anakku. Lalu suamiku, hanya pekerja bangunan dia pulang seminggu sekali, karena jarak proyek tempatnya bekerja cukup jauh dari rumah. Hemat ongkos katanya.Aku, anak kedua ibuku. Bapakku sudah meninggal satu tahun yang lalu. Sedangkan kakakku, perempuan. Dia sudah menikah dengan seorang manager perusahaan. Dan dikaruniai 3 orang anak. Ya, karir suaminya begitu cemerlang, dia sudah punya rumah maupun mobil sendiri. Berbeda denganku, yang masih menumpang di tempat orang tua. Hal itulah yang selalu menjadi bahan olok-olok oleh ibu. Tak pernah absen membandingkan suamiku dengan suami Mbak Ayu yang lebih sukses dan beruntung dalam pekerjaannya. Bila sudah begitu aku langsung menunduk. Memang benar kata ibu aku hanyalah anak miskin, dipersunting oleh lelaki miskin. Rasanya dada begitu sesak bila mengingat hal itu.Selagi merendam pakaian, aku mencuci piring terlebih dahulu. Maksud hati agar pekerjaan rumah selesai berbarengan."Bu... Bu... Aryan minta uang buat beli jajan." teriak si sulungku. Dia berlari menghampiriku dan menggelayut manja. Hatiku teriris perih tapi berusaha senyum untuknya. Kasihan putra sulungku ini pun harus menahan hati dan perasaannya."Nak, sayang ... Maafin ibu ya, ibu gak punya uang, nak. Nanti saja beli jajannya kalau bapak pulang ya," ucapku pada bocah yang masih berusia lima tahun itu. Aku coba memberinya pengertian, agar dia mengerti dan tak selalu menuntut."Dua ribu aja gak ada ya, Bu?" tanyanya sambil cemberut. Wajah polosnya membuat hatiku makin getir. Nak, jangankan dua ribu, lima ratus perak aja ibu gak punya sayang ..."Iya, maaf ya sayang. Ibu gak punya uang. Aryan sabar ya, Nak. Nanti kita beli jajan kalau bapak pulang. Tahan sebentar lagi ya.""Baik, Bu," sahutnya sambil mengangguk dengan polosnya. Aku tersenyum getir. Bila bisa memilih, maka aku ingin memilih jadi orang yang berkecukupan, agar saat anak minta uang atau tengah sakit begini aku tak pusing dengan keuangan. Tapi lagi dan lagi itu hanya seandainya saja, bukan kenyataan. Aku harus melewati kesulitan ini bersama keluarga kecilku. Ya Allah, sabar sabar .... hanya itu yang bisa kuungkapkan dalam hati."Nak, Kakak Aryan tolong jagain adik dulu ya di kamar. Kasihan dia sendirian," ujarku, sengaja untuk mengalihkan perhatiannya.Aryan mengangguk lagi dan berlalu masuk ke kamar. Kuseka butiran bening yang hampir jatuh dari pelupuk mataku. Bagaimana tidak, uang yang dikasih Mas Aris, 400 ribu setiap minggu selalu habis sebelum waktunya. Apakah aku kurang pandai mengatur uang? Seharusnya tidak, karena uang itu aku bagi untuk ibuku 200 ribu untuk membeli sembako. Sedangkan sisanya aku pegang, tapi tak jarang bila token listrik habis, aku yang selalu membelinya. Ya, uang peganganku selalu habis sebelum waktunya, apa aku yang terlalu boros? atau aku memang tak pandai mengatur uang? Entahlah, meskipun begitu, ibu selalu mengejekku, menghina pekerjaan suamiku."Makanya cari laki itu yang kaya, biar kamu gak hidup susah gini terus. Biar jelek asalkan kaya, biar tiap hari gak kelaparan!" tukas ibu suatu ketika dengan nada berapi-api."Suami kamu itu dah jelek, miskin pula! Apa yang mau dibanggain! Anak dah dua, gak punya apa-apa. Tinggal masih numpang, mbok ya mikir kerja yang bener buat beli rumah. Syukur-syukur bisa buat beli mobil!"Aku tertunduk bila ibu sudah menceramahi hal sensitif begitu. Padahal yang kurasa, suamiku orang yang bertanggung jawab kepada keluarganya. Mas Aris, suamiku itu adalah orang pekerja keras, tak mau diam, pekerjaan apa saja ia mau lakukan, hanya nasibnya saja yang tidak seberuntung seperti menantu ibu yang lain. Karena pekerjaan Mas Aris hanya serabutan saja."Kamu tuh dah numpang, jangan banyak malasnya! Kerja! Itu cucian numpuk, lantai belum di pel, halaman belum di sapu! Enak bener lagi-lagi tiduran!" tegur ibu, padahal ia sendiri tahu, aku tengah melipat baju di kamar.Aku hanya bisa mengambil nafas dalam-dalam, mencoba menahan rasa gejolak di dada. Tak jarang, hatiku teriris begitu perih. Disini, aku sudah seperti pembantu, mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, tapi tetap saja ibu tak menganggapku. Bila aku duduk sebentar saja, ibu selalu mengomel. Bu, aku ini anakmu, bukan pembantumu. Tapi kenapa sikap ibu selalu membeda-bedakan kami?Part 2"Assalamualaikum... Wi... Dewi...!" teriak ibu dari luar. Aku berlari menghampirinya. "Waalaikum salam," jawabku kemudian. Kulihat ibu baru pulang dari pasar."Ini belanjaannya dibawa masuk dulu," sergah ibu sambil menyerahkan tas keranjang belanjaan. Lalu, ibu mengambil uang di dompet untuk membayar tukang becak yang sudah mengantarnya pulang."Baik, Bu," jawabku sambil beranjak menaruh barang belanjaan ibu ke dapur. Ibu mengikutiku dari belakang."Gimana kamu udah masak nasi belum?" tanya ibu."Ah, maaf bu. Aku belum sempat ....""Haduuh kamu gimana sih, kenapa malah belum masak nasi?!" tukas ibu dengan raut wajah begitu kesal."Maaf bu, tadi aku nyuci, terus kelupaan..."Ibu memotong ucapanku lagi. Dia berdecak kesal, tak suka aku banyak beralasan. Ia menggerutu, entah mengatakan hal apa yang jelas semua tertuju padaku. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sembari bertanya. "Jadi belum kelar semua?""Masih sisa sebagian yang belum dijemur, Bu," sahutku menjelaskan. Aku benar-b
Part 3Setelah selesai, kusiapkan semuanya minuman serta makanan yang tadi sudah aku masak di meja makan."Bu, sudah selesai," ucapku pada ibu. Ibu hanya mengangguk lalu mengajak anak dan cucunya untuk makan siang bersama. Tentu saja anak dari Mbak Ayu, bukan anak-anakku. Ia tak peduli pada anak-anakku, mau makan atau kelaparan."Ayo cucu, cucu nenek kita makan sama-sama," kata ibu. "Ayu, Bagas, Arin... Ayo kita makan sama-sama, nak," teriak ibu lagi. Bahkan, aku yang ada di hadapannya pun tak ia panggil, aku yang sudah memasak untuk semuanya tapi tak pernah terlihat.Sudah biasa hal seperti itu terjadi, aku tak pernah dianggap olehnya, tapi bila ibu membutuhkan bantuan, akulah orang pertama yang dia panggil menjadi tamengnya.Dari pada sakit hati lebih lanjut, aku bergegas masuk ke kamar dan menggendong anakku. Sudah sangat siang, tapi aku ingin membawanya ke puskesmas terdekat, pasti masih ada petugas kesehatan yang berjaga disana kan?"Aryan, kamu juga siap-siap ya nak. Pakai topi
Part 4"Ada apa ini, Dek?" tanyanya sambil menatapku seakan penuh tanya.Aku hanya terdiam, lidahku terasa kelu. Dan tiba-tiba saja butiran bening ini menetes tanpa kompromi lagi."Ibu, kenapa nangis?" tanya Aryan dengan polos. Dia memandang kami secara bergantian."Ibu gak apa-apa sayang, ibu hanya merasa sedih. Kakak Aryan main dulu ya, tapi jangan jauh-jauh, jangan gangguin Pak tukang. Main di sebelah sana saja ya, Nak." ucap mas Aris. Dia mencoba mengademkan suasana. "Baik, pak."Kemudian bocah kecil itu pergi keluar dengan ekspresi yang ceria. "Ada apa ini, Dek?" mas Aris mengulangi pertanyaannya. Dia memandangku dengan tatapan serius.Aku menghela nafas panjang. "Mas, apa sebaiknya kita ngontrak saja?" ucapku perlahan. Aku tidak yakin mas Aris setuju. Karena sebelumnya tiap aku mengajukan untuk mengontrak diluar dia selalu menolak. Alasannya tetap sama, kasihan ibu. Ibu sekarang adalah orang tua kita satu-satunya. Kalau bukan kita yang merawat siapa lagi? Mas Aris yakin, suatu
Part 5"Gak apa-apa mas, insyaallah nanti ada rezeki yang lain..." jawabku kemudian.Mas Aris mengangguk sambil tersenyum. "Syukurlah, kalau kamu bisa mengaturnya, Dek. Mas percayakan padamu. Tapi insyaallah semoga walaupun cuma sisa sedikit, kita bisa lewati semua ini dengan baik ya.""Iya, Mas. Asalkan kita tetap bersama-sama berpegangan tangan, pasti bisa melewati hari hari ke depan dengan baik, meski harus puasa lebih sering."Mendengar jawabanku, Mas Aris tertawa. Dia mengusap kepalaku dengan lembut. Kepala yang hanya ditutupi oleh jilbab dengan warna yang sudah usang."Ya sudah, kalau gitu, kalian tunggu disini, mas mau pinjam motor pak mandor dulu ya buat pulang ke rumah. Sayang kan kalo harus naik angkot dua kali," ucap Mas Aris kembali. Lelaki yang penuh kesabaran, panutanku, imam dalam hidupku."Iya, mas."Setelah kepergiannya, aku mengamati keadaan sekitar. Sanggupkah aku memulai hidup disini dari 0? Bahkan kami tak mempunyai tabungan sepeserpun. Tak ada barang apapun di si
Part 6"Pergiiii...!!"Aku terhenyak mendengar teriakan ibu. Si kecil Rezapun kaget, dan menangis karenanya."Baik, Bu. Kami beres-beres dulu," jawab mas Aris lagi. Kami langsung masuk ke kamar karena tak ingin mendengar teriakan ibu. Sementara ibu masih duduk mematung di tempatnya, memijat pelipisnya sendiriz entah apa yang tengah dipikirkannya saat ini. Apakah dia akan kembali berpikir kalau kami anak-anak yang durhaka? ***Di dalam kamar, situsasi udah tidak karuan.Aku membereskan baju-baju kami semua, Mas Aris dengan cekatan membantuku, memasukkannya ke dalam tas ransel. Kembali meneliti supaya tak ada satupun barang yang tertinggal."Kamu lihat sendiri kan mas? Sikap ibu? Dia setiap hari seperti itu padaku. Aku tak pernah dianggapnya ada. Padahal aku juga capek, mencuci, masak, nyapu aku membersihkan semuanya sendiri. Tapi....""Iya, dek..." sahut Mas Arin dengan nada suara pelan."Aku sudah gak tahan, mas..." isakku.Air mataku tumpah lagi, tak henti-hentinya kuseka bulir-bul
Part 7Aku dan Mas Aris sudah sampai di kontrakan. Tak banyak yang kami bawa, hanya baju-baju untuk ganti. Sesulit inikah hidup sebagai orang tak punya? Hingga dibenci sama ibu sendiri? Atau... Adakah alasan yang lainnya yang tidak kumengerti?Rasanya hari hari kulalui begitu berat. Tapi bukankah kita harus bersabar?Aku membaringkan Reza di kasur lantai. Tangan dan pundak terasa begitu pegal karena hampir seharian menggendong si bungsu. Aryan pun berbaring di sampingnya. "Maafin kami ya, Nak. Kalian harus tidur hanya beralaskan kasur lantai yang tipis," ujarku dengan nada tertahan.Air mataku terus saja mengalir, enggan untuk berhenti walau aku menyekanya berkali-kali."Dek, udah jangan menangis terus. Istirahatlah," ucap mas Aris. Dia mengisik bahuku dengan pelan."Sekarang mandilah dulu, biar badanmu segar. Kita gantian, Mas juga mau mandi seharian rasanya begitu lelah."Aku mengangguk, bangkit dari duduk dan meraih handuk dalam tas ransel. Gegas masuk ke dalam kamar mandi, menyal
Part 8Flashback ( Masa lalu Aris )Bagian 1"Hei, jangan pergi kalian!" Suara teriakan petugas satpol PP itu mengehenyakkanku. Aku yang tengah mengamen segera berlari menghindar dari amukan. Mereka menendang para pedagang asongan yang masih nekat berjualan di sana di usir dengan membabi buta."Ayo bereskan mereka, jangan sampai ada yang lepas."Aku awalnya bersembunyi dibalik badan seseorang. Tapi rupanya aku salah strategi, mereka para petugas melihatku."Cepat tangkap mereka yang berusaha kabur!" teriak petugas itu lagi membuatjantung berdegup sangat kencang. Semua berlarian, berhambur tak tentu arah tujuan, termasuk aku. Satu hal yang ada di pikiran. Kabur dan jangan sampai tertutup."Itu mereka, kejaaaarr!" Suara gesekan sandal dan sepatu berlarian di jalanan terdengar berdecit.Aku berlari-lari dari kejaran satpol PP yang sedang merazia kami, para anak jalanan. Ya, aku menjadi anak jalanan sejak 5 tahun lalu, saat usiaku menginjak 11 tahun. Kematian kedua orang tuaku membuat
Part 9Hari-hariku berlalu penuh dengan rasa suka cita. Tinggal di lingkungan masjid membuat pribadiku lebih baik lagi. Kini,Sudah 6 tahun semenjak hari itu, hari yang paling bersejarah yang membuatku terdampar di lingkungan yang baik ini. Sejak saat itu aku menjadi giat untuk belajar agama. Hari-hariku dipenuhi oleh ceramah pak ustadz dan juga belajar mengaji. Selain menjadi marbot masjid, aku juga seringkali bekerja sebagai kuli bangunan agar aku tetap bisa melanjutkan hidup. Bukan hanya mengandalkan belas kasih orang, tapi akupun harus berjuang. Pak ustadz tidak keberatan akan hal itu, yang terpenting masjid tetap terjaga kebersihannya. Dan tibalah hari itu, hari dimana untuk pertama kalinya aku bertemu dengan gadis itu. Gadis dengan senyumannya yang manis. Parasnya begitu ayu, bahkan sepertinya ia punya aura tersendiri. Gadis itu yang mampu menarik perhatianku. Aku tak pernah menyadari, sejak kapan benih-benih ini muncul. Yang jelas saat itu, dia hadir di acara santunan anak yat