"Kamu akan saya jual pada juragan, dengan begitu kamu baru berguna untuk saya, Jingga!"
"Mas, jangan Mas! Walaupun Jingga bukan anak kandungmu, tapi kasihan dia."Hatiku terasa tertusuk pilu melihat Ibu yang terus bersujud memegang kaki Bapak, meski berkali-kali Bapak menginjak badan ibu."Kasian? Bukannya kamu yang selama ini selalu menyi*ksa dia, Fatimah?""Tapi dia anakku, Mas. Aku mohon jangan jual anakku!""Halah!" Tidak peduli jeritanku dan Ibu, Bapak terus menarik tanganku"Naik!" titah Bapak, ketika ia berhasil menarikku sampai di depan rumah."Gak mau. Pak, Jangan!" Aku terus memberontak agar bapak melepaskan tanganku."Kak Jingga ... Bapak mau bawa Kak Jingga kemana?" Tiba-tiba Leo datang. Ia langsung menghempaskan tasnya lalu memegang kuat bajuku ."Bapak jangan sakitin Kak Jingga, Pak!""Leo lepasin!" Ancam Bapak."Gak mau, Bapak sama Ibu jahat. Leo cuman punya Kak Jingga. Jangan bawa Kak Jingga, Pak ...Hiks."Hatiku benar-benar teriris melihat Leo yang menangis kencang dengan tangan mungilnya memegang bajuku."LEPASIN!"Bapak langsung mengambil sebelah tangan Leo, setelah itu ia mendorongnya ke sisi Ibu yang sudah terlihat tidak berdaya di depan pintu."Leo ... Pak, Jangan apa-apain Leo. Dia masih kecil!""Kalo kamu gak nurut sama saya. Jangan menyesal, jika ibumu dan Leo kenapa-napa!"Aku terkejut, tidak percaya dengan apa yang kudengar. Mungkin wajar jika Bapak tidak menyayangiku karena aku bukan anak kandungnya. Namun, Leo dan Ibu, mengapa dia begitu kejam mengancamku seperti ini?"Benar-benar iblis! Bahkan harimau tidak akan men*celakai anaknya sendiri, tetapi kamu..." Aku menatap wajah Bapak yang sudah memerah. "Lebih dari binatang!"Plak!Satu tamparan langsung dilayangkannya padaku. "Diam anak sialan! Setelah ini kamu akan tahu. Seperti apa saya sebenarnya!"Pasrah, saat Bapak menyuruhku untuk naik ke motornya. Aku bisa saja memberontak sekarang, akan tetapi aku takut jika ancaman bapak benar, dan Leo serta Ibu kenapa-napa.Setelah itu, ia membawaku ke rumah juragan Tono.Juragan Tono adalah orang yang begitu kejam dan menakutkan, ia sering kali meminjamkan uang tapi jika tidak bisa membayar, lelaki itu tidak segan-segan menyita rumah bahkan memukul peminjamnya hingga babak belur."Ayok ikut!" Bapak kembali menarik tanganku ke rumah megah itu.Aku merasakan tubuhku gemetar, rasa takut ini kian memuncak ketika menyadari bahwa Bapak mungkin benar-benar akan menjualku.Pikiranku terus mengkhawatirkan apa yang mungkin akan dilakukan oleh juragan Tono, apakah dia berencana untuk menjadikanku sebagai istri keempatnya. Ya Allah, kecemasanku begitu besar dan aku benar-benar merasa ketakutan."Wah, Dodi. Kau benar-benar menepati janjimu dengan membawa putrimu kemari." Juragan Tono tampak tersenyum sembari menatapku dari bawah sampai atas."Bang, saya kan sudah bilang. Akan memberikan Jingga, jika dia sudah lulus sekolah.""Hahaha ... Bagus Dodi. Tenang saja, mulai sekarang semua hutang kamu lunas, dan saya juga akan memberikan 100 juta untuk sisanya."Dasar biadab, mereka tertawa dan memberikan harga padaku seakan aku ini barang. Sungguh kejam! Aku tak pernah membayangkan bahwa hidupku akan begitu sial seperti ini. Segala kenyataan yang aku hadapi hari ini, sungguh menyakitkan. Aku merasa terhina, bagaimana mungkin seseorang yang bukan anak kandungnya bisa dijadikan alat untuk diurus hanya demi dijual saat dewasa."Jingga sayang, kenapa diam saja?"Tiba-tiba Juragan Tono memegang daguku. Aku langsung menghempaskan tangannya yang sudah keriput itu dari wajahku."Jaga tangan anda, Juragan!""JINGGA!""Argh!" Aku meringis saat bapak mencengkram tanganku, akan tetapi juragan langsung membantu melepaskannya."Kamu tidak berhak menyakiti Jingga lagi, dia sudah menjadi milik saya," tekannya membuat nyali bapak terlihat menciut."Maaf Bang, saya cuman ingin memberinya pelajaran agar dia sopan pada juragan," jawab Bapak."Kamu boleh mengajarinya. Tapi dari dulu sudah saya katakan, jangan pernah memukul sampai menyakitinya!" Mata juragan tampak memerah melihat beberapa luka yang ada di tubuhku."Tapi itu ulah istri saya Bang, dia yang sering memukul Jingga. Jika juragan tidak percaya, juragan bisa tanya langsung." Bapak menatapku sembari menyenggol lenganku, aku tidak mengerti kenapa juragan baik padaku."Jingga sekarang jadi milik saya. Kamu sudah tidak ada urusan lagi di sini, pergilah! Dan bawa uang ini." Juragan melemparkan satu koper berukuran sedang yang mungkin berisi uang. Bapak menerima koper itu dengan senyum yang lebar, entah kenapa aku begitu membenci senyuman itu."Jangan berbuat macam-macam Jingga. Kamu harus nurut sama Juragan jika ibu dan adikmu ingin baik-baik saja," bisik bapak. Setelah itu ia pergi sembari memeluk koper itu.Aku menatap punggung lelaki itu dengan penuh kebencian, suatu hari nanti akan kubalas semua perbuatannya padaku."Jingga. Dengar apa yang dikatakan Bapakmu, jika kamu berani membantah perintah saya. Ibu dan adikmu yang akan celaka," kekeh Juragan."Iya, Juragan."Untuk saat ini aku memang tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya mampu menuruti semua keinginan Juragan itu.***Di dalam, aku di sambut baik oleh istri tua Juragan Tono. Wanita itu tampak begitu ramah menyambut kedatanganku."Duduklah Jingga. Saya ingin bicara," titah Juragan.Aku hanya mengangguk, lalu duduk disofa yang sangat empuk."Jingga, kamu memang sangat cantik. Dari dulu, saya ingin menjadikan kamu seorang istri," Kekeh Juragan membuat wanita di sisinya langsung melotot."Mas, bukannya kamu ingin memberikan Jingga kepada bosmu?" tanya istri Juragan. Keningku berkerut, siapa lagi Bosnya."Hm ... Iya, Dulu Tuan saya juga menginginkanmu Jingga. Dia ingin menikahkan anaknya denganmu, tapi setelah menunggumu dewasa. Entah itu musibah atau keberuntungan untukku, tapi Bapakmu juga akan menjualmu pada saya ketika kamu sudah lulus sekolah," terangnya panjang lebar.Sekarang aku seperti sekedar barang yang dilemparkan ke sana-sini, dipergunakan oleh semua orang demi uang. Entah mengapa, kini makna nilai seorang manusia ternyata sirna, dan yang berkuasa hanyalah uang yang menjajah segalanya."Jingga, terimalah nasibmu ini. Walaupun saya sudah melarang Dodi untuk tidak menyakitimu karna perintah dari Bos, tapi itu tidak bisa melindungimu dari amukan Ibumu yang sakit jiwa.""Jaga ucapan Juragan." Aku langsung berdiri lalu menatap tajam lelaki itu. Biar bagaimanapun Ibu adalah ibuku, tidak peduli seberapa keras dia pernah menyiksaku tapi aku tidak menerima jika ada yang mengatakan hal buruk tentangnya."Kau tidak perlu marah dengan apa yang dikatakan suamiku, Jingga," ucap Istri juragan. Wanita itu mendekatiku lalu menepuk pundakku dengan pelan. "Ibumu itu sakit jiwa karna dulu dia melihat sendiri, Bapak kandungmu mati di rundung warga karna ketauan mencuri," jelasnya membuat persendianku terasa lemas."Ka--kamu bohong 'kan?""Buat apa saya berbohong Jingga. Dulu itu kamu masih bayi, tidak tau siapa Bapak kamu sebenarnya. Bapak kamu yang rela mencuri untuk menebus biaya lahiran kamu di rumah sakit, akan tetapi keberuntungan tidak memihak pada kalian. Bapakmu di rundung warga setelah menebusmu dan membawamu ke rumahnyaTidak ada orang yang membantu ibumu, semua keluargamu memojokan dirinya sampai akhirnya, Dodi lelaki baik itu mau menikahi ibumu."Tapi lagi-lagi, keberuntungan tidak pernah berpihak pada kalian ...." jawab Juragan, memotong ucapan Istrinya. "Dodi hanya memanfaatkan Ibumu saja, untuk dijadikan ladang uangnya."Fakta hari ini benar-benar membuatku terguncang. Jadi selama ini, Ibu menyembunyikan rahasia sebesar ini dariku. Dan wanita yang melahirkanku itu, entah sesakit apa dirinya menghadapi dunia yang begitu kejam ini.Air mataku menetes mengingat betapa kejamnya ibu sering memukulku, tapi rasa sakit itu tidak seberapa dengan sakit hati yang kurasakan sekarang."Sudah tidak usah menangis ... Nita, antar dia ke kamar. Dandani dia dengan cantik, karna saya akan membawanya menemui Bos besar!""Kamu memang sangat cantik Jingga. Tidak sia-sia Bos besar saya menunggumu sampai dewasa," ucap Juragan. Di dalam mobil, lelaki itu terus berbicara panjang lebar. Sedangkan aku hanya diam, yang kupikirkan sekarang hanya adikku Leo. Aku tidak tau bagaimana keadaannya sekarang, aku takut kebiasaan ibu yang selalu memukulku ia impaskan pada Leo. Dan Bapak, lelaki kejam itu entah pulang atau tidak saat mendapat banyak uang. "Jingga!"Aku membuyarkan lamunanku saat Juragan memanggil namaku. "Iya Juragan?" "Sebentar lagi kita sampai.""Hm." Aku hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban, aku sudah tidak peduli bagaimana nasibku nanti di sana. "Sebelum kita sampai apa ada yang ingin kau tanyakan?" tanyanya membuatku menoleh ke arahnya. Aku berpikir sejenak lalu menganggukan kepala. "Ada, saya ingin tau bagaimana ibu dulu? Maksudku, apa Ibu semenjak menikah dengan Bapak kandungku sudah tempramental?" tanyaku."Saya kira kamu akan bertanya soal keluarga Bos saya," kekehnya. "Tidak Juraga
"Pah," panggil Lelaki itu dengan bariton suaranya yang berat. Akhirnya, aku dan Tuan Besar masuk ke dalam ruangan setelah berdiri diam di depan pintu. Tuan Besar dengan tegas menginstruksikan dua orang pelayan yang berada di sisi Tuan Dafa untuk segera pergi.Aku menoleh ke kiri dan kanan, kamarnya terlihat begitu gelap. Gorden tidak terbuka, memberikan kesan yang sedikit menyeramkan."Cari apa kamu?" tanya Tuan Dafa sembari menatap sinis ke arahku. Aku langsung menggelengkan kepala sebagai jawaban, kenapa harus keciduk sih. "Dafa, bagaimana keadaanmu?" tanya Tuan besar."Mengapa kalian ada di sini?" tanyanya balik, dengan tatapan tajam menatap kami berdua."Dafa, Papah hanya ingin menjengukmu ....""Katakan!"Aku menelan saliva dengan susah payah. Melihat interaksi mereka, aku menyadari bahwa hubungan mereka tidak baik."Begini, Dafa. Papah ingin memperkenalkanmu dengan Jingga." Aku melihat Tuan Besar menghela nafas pelan, lelaki itu tampak sangat sulit mengatakannya. "Gadis ini a
"Saya tidak keberatan, Tuan. Tapi, apakah boleh saya meminta sesuatu?""Katakan, apa yang kamu inginkan?""Saya hanya selalu ingin tau kabar keluarga saya, Tuan.""Baiklah." Aku tersenyum saat Tuan Besar menganggukkan kepalanya. Kami baru saja akan meninggalkan ruangan, tetapi tiba-tiba seorang lelaki muda datang dan mendekati Tuan Besar."Pah ... Papah baik-baik aja kan, apa Papah sakit?" tanya lelaki itu, wajahnya terlihat begitu khawatir. "Hans." Tuan besar menatap lekat putranya, setelah itu ia memeluknya dengan erat. "Kapan kamu pulang? Kenapa tidak mengabari papah dulu?" "Tadinya Hans mau ngasih kejutan, tapi malah Hans yang dikasih kejutan. Orang rumah bilang kalo Papah ke rumah sakit," jawabnya. Tuan besar tampak terkekeh pelan. "Papah gak papa. Oh, ya kenalkan dia Jingga. Calon istri Dafa." Aku tersenyum kikuk saat lelaki itu menatap lekat ke arahku dengan alisnya yang dinaikan sebelah, ia lalu mengulurkan tangannya padaku. "Hans," ucapnya."Hans, kamu pulang duluan aja
Leo, maafin Kakak yang tidak bisa menjaga kamu. Biasanya jika Ibu dan Bapak bertengkar, aku selalu membawa Leo keluar, atau menutup kupingnya agar dia tidak mendengar pertengkaran mereka. "Kakak jangan nangis, sekarang Leo udah di kamar. Tadi ada Om Juragan dateng, dia langsung mukulin Bapak terus di bawa pergi. Leo juga di kasih ponsel, katanya Bapak gak boleh tau kalo Leo punya ponsel, ini buat Leo kalo kangen sama Kakak."Aku mengusap kedua pipiku lalu menyunggingkan senyum ke arah adikku. "Leo di sana baik-baik yah, kalo ada apa-apa langsung telepon Kakak. Secepatnya, Kakak bakal jemput Leo!""Leo sayang Kakak!" Setelah itu telepon terputus. Aku memeluk ponsel ini dengan erat, membayangkan jika benda kecil ini adalah Leo. "Jingga." Aku berbalik saat mendengar seseorang memanggil namaku. Ku lihat ada Tania dan Papah yang sudah berada di belakangku. Buru-buru aku seka air mata ini, tidak Jingga, kamu tidak boleh memperlihatkan air matamu pada mereka. "Tu--tuan besar, anda menc
"Jingga, terimakasih karna kamu mau menikah dengan anak saya Dafa. Saya harap kamu bisa membuatnya bangkit kembali seperti dulu." Tampak mata Tuan Besar berkaca-kaca, wajahnya yang begitu terlihat bahagia membuatku semakin yakin untuk bisa mengembalikan anaknya seperti dulu, walau rasanya tidak mungkin."Jingga, mulai sekarang jangan panggil saya Tuan Besar lagi yah. Karna sekarang, saya sudah menjadi Papah kamu juga."Lelaki itu tersenyum, Ia mengusap puncak kepalaku lalu pergi. Entah kenapa aku merasa benar-benar mendapatkan sosok Ayah darinya. ***Sedari tadi, aku sudah bertemu dengan banyak orang, akan tetapi tidak kulihat Tuan Dafa setelah dari acara akad. Karena melihat semua tamu hampir pulang dan acaranya sudah selesai, aku langsung menuju kamar. Tapi tiba-tiba ada sebuah tangan yang mencekal pergelangan tanganku. "Hans." "Saya mau bicara sebentar, boleh?" tanyanya. Aku menganggukan kepala, lelaki itu tampak celingukan lalu membawaku ke tempat yang sedikit sepi. "Mana p
Pov DafaAku terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Aku menatap ke sekeliling, gadis itu sudah tidak ada. Aku hanya bisa tersenyum miris, mungkin beberapa jam lagi akan ada informasi bahwa dia kabur dan meminta cerai padaku. Seperti itulah kehidupanku. Sejak kejadian empat tahun yang lalu, hidupku berubah menjadi suram. Setiap kali aku memejamkan mata, bayangan kejadian itu langsung muncul kembali seperti memutar kaset yang begitu jelas.Hari itu adalah hari paling buruk yang aku alami. Gara-gara aku, Bunda yang sangat kami cintai meninggal di tempat. Dan Tania, setelah mengetahui aku lumpuh, dia langsung membatalkan pertunangannya. Yang paling mengejutkanku adalah ternyata dia sudah menikah sirih bersama adikku saat aku dirawat di rumah sakit. Seperti kehilangan sumber kebahagiaan, setiap hari aku hanya berdiam diri di kamar. Membiarkan kamarku berantakan hingga tak boleh ada satupun yang membersihkannya. Aku sudah tidak mengurus perusahaan, ataupun sekedar keluar. Tetap m
Setelah mengambil baju dari lemari aku menghampirinya. Tampak gadis itu melongo melihatku. "Tu--tuan bisa berdiri?" tanyanya."Hm." Aku hanya berdehem sebagai jawaban.Jingga menuruti perintahku, gadis itu memakaikan kemeja padaku lalu mulai berjongkok memasangkan kancingnya. "Berapa umurmu?" "18 tahun Tuan," jawabnya membuat aku terkejut. Astaga, Papah bahkan menikahkanku dengan seorang gadis yang masih sangat muda. "Tuan biar saya ganti perbannya." Jingga mengambil kotak obat lalu mulai membuka perban di tanganku. Sedangkan aku hanya diam, entah kenapa mataku tidak bisa lepas menatap wajahnya. Hidung mancung, mata berwarna coklat yang indah, bulu mata lentik. Jangan lupakan bibirnya yang tipis, itu membuatku teringat pada kejadian semalam. Meskipun aku sedikit mabuk, aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.Tapi tunggu, mataku memincing melihat ada luka di kening yang tertutup rambut. "Kenapa kepalamu berdarah," ucapku membuat Jingga seketika mendongak. Aku memegang tanganny
Aku mengulum senyum melihat Jingga yang terlihat sangat panik. "Jingga bukan itu maksud saya. Hm, saya melihat tangan dan pundakmu memar. Saya ingin tau tentang luka itu.""Ti--tidak Tuan, itu hanya terkena nyamuk.""Jingga, saya bukan anak kecil lagi. Cepat, berbaliklah ke belakang dan buka bajumu!" "Tidak mau Tuan." Jingga menunduk dan menggigit bibirnya. Wajahnya terlihat memerah karena malu."Jingga, saya tidak akan melakukan apapun padamu. Melihatmu saja, saya tidak selera," ucapku mampu membuat gadis itu melotot. Jingga terdiam sejenak, dengan ragu dia berbalik ke belakang, dan perlahan tangannya gemetar saat dia mulai membuka bajunya. "Ji--jingga." Rongga dadaku terasa sesak, saat melihat tubuhnya yang mulus dengan begitu banyak bekas luka. Ada luka yang masih terlihat biru, ada juga yang sudah mulai memudar."Darimana kamu dapat bekas luka sebanyak itu?""Ii--ini, ini karna itu Tuan. Karna saya suka terjatuh. Iya terjatuh," jawabnya terdengar gugup."JANGAN MEMBOHONGI SAYA