"Kemaren adek pengen apel 'kan? Ini, kaka beliin buat adek!" Aku mengambil keresek yang berisi dua buah apel lalu menyodorkan ke arahnya.
"Kakak dapet uang darimana?""Tadi, kakak abis kerja."Terlihat mata adikku tampak berbinar. Ia langsung menyambar keresek di tanganku lalu melahap apelnya.Akhirnya aku bisa membelikan apa yang adikku inginkan. Kemarin dia bercerita bahwa dia ingin makan buah apel setelah melihat temannya. Aku tahu bahwa dia tidak berani memintanya pada ibu, jadi aku nekat mencari uang untuk memenuhi keinginannya."Kakak, apelnya sisa satu. Ini jatah kakak tapi adek minta satu gigit lagi, boleh 'kan?""Abisin aja. Kaka udah makan tiga tadi!""Kok adek cuman dikasih dua?" Mata bocah lelaki itu menajam. Aku terkekeh melihatnya."Adek kan masih kecil!""Jingga."Tiba-tiba kepala Ibu menyembul di balik tirai, kamar kami memang tidak memiliki pintu. Hanya kain yang dijadikan penghadang.Wanita paruh baya itu tampak menatap tajam ke arahku dan Leo. Aku menghela nafas pelan, lalu mengusap kepala adikku yang terlihat begitu gembira memakan buah itu."Adek abisin aja yah, kakak nyusul ibu dulu."Setelah melihatnya mengangguk, aku langsung berdiri lalu keluar menghampiri ibu."Ada apa Bu?"Satu tamparan tiba-tiba dilayangkan ibu ke pipiku, aku memandang ibu dengan kebingungan. "Apa salahku bu?"Namun, jawabannya hanya berupa sinar mata yang penuh amarah, ia malah menggenggam erat sabuk di pinggangnya.Plak!"SAKIT BU!" Aku menjerit saat ibu tiba-tiba melayangkan sabuk ke tubuhku."DASAR ANAK SIA*LAN! IBU TIDAK PERNAH MENGAJARKAN KAMU UNTUK MENCURI. KENAPA KAMU MELAKUKAN ITU, HAH!"Ibu menarik rambutku dengan sangat kencang, mataku terpejam saat merasa rambutku terasa ingin lepas dari kepala."JAWAB JINGGA! KENAPA KAMU MENCURI?""Aku tidak mencuri, Bu!" suaraku begitu lirih, tenggorokanku terasa tercekat."MASIH MAU BOHONG KAMU? UANG IBU DI LEMARI HILANG LIMA PULUH RIBU. KAMU CURI BUAT BELIIN ADIK KAMU APEL? SIA*LAN KAMU!"Bugh!Seakan tidak puas menyiksaku, ibuku kembali menarik rambutku lalu dibenturkan ke tembok. Seluruh tubuhku benar-benar terasa begitu sakit."Ngga Bu, itu hasil kerja Jingga.""Sudah Ibu bilang jangan pernah manjain adik kamu. Kita ini orang miskin, Jingga!"Bugh!Lagi-lagi Ibu membenturkan kepalaku dengan sangat keras. Mataku sudah terasa berkunang-kunang, melihat cairan merah yang keluar."Maaf." Hanya kata itu yang bisa kuucapkan.Tiba-tiba deru motor terdengar di pekarangan rumah, Ibu menatap tajam ke arahku lalu meninggalkanku begitu saja. Meski tubuh ini terasa sakit, aku berusaha untuk bangkit.Aku menatap Ibu yang tampak bertengkar dengan bapak. Begitulah keseharian kehidupan kami, sikap Bapak sama seperti Ibu yang tempramental. Terkadang aku melihat Bapak memukuli Ibu, sama seperti yang selalu Ibu lakukan padaku. Perilaku seperti ini membuatku khawatir dan merasa kalo Leo tak aman berada di rumah ini, entah sampai kapan kami terjebak dilingkungan kekerasan yang tak kunjung berhenti.Mataku tak kuat melihat Ibu yang diseret masuk oleh Bapak. Apa kalian tau apa yang akan terjadi setelahnya? Yah. Entah apa yang tadi mereka bicarakan, yang jelas sekarang Ibu akan merasakan hal yang tadi ku rasakan.Tidak kuat melihatnya, aku langsung pergi ke kamar menemui adikku."Dek."Leo terlihat begitu ketakutan, ia beringsut mundur ke sisi ranjang dengan tangannya yang memeluk siku."Kepala kakak ber*darah, adek takut!"Aku langsung mengusap kepalaku, menghilangkan cairan merah meski lukanya terasa menganga."Udah ilang kan?" tanyaku.Adikku langsung menganggukan kepalanya, meski sakit tapi tetap ku peluk tubuh kecilnya."MAS SAKIT MAS!""SE*TAN! KAMU MENUDUH AKU MENCURI UANGMU, HAH? APA KAMU TAU KALO UANG ISTRI UANG SUAMI JUGA. PADAHAL AKU HANYA MENGAMBIL LIMA PULUH RIBU, BENAR-BENAR SIALAN KAMU!""MAS AKU CUMAN BERTANYA!""TOLONG MAS, SAKIT!" Jeritan Ibu terdengar begitu memilukan.Aku menutup telinga Leo, bahu adikku bergetar hebat. Pelukannya semakin terasa erat."Tidur yuk, kakak cape!"***Di tengah malam tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang menekan luka di kepalaku, tubuhku yang hendak bangun kuurungkan ketika mendengar suara orang menangis di sertai air yang menetes ke pipiku."Maafkan Ibu, Jingga."Deg!Itu suara Ibu, mungkin sekarang ia sedang mengobati luka yang kudapat karnanya. Sering terjadi, setelah puas memukulku, Ibu pasti akan datang untuk mengobati lukaku saat aku tidur.Air mataku luruh saat kecupan hangat mendarat di keningku. Bu, kenapa engkau memukulku jika nantinya kau akan menyesalinya."Jingga, Leo. Ibu sayang kalian, maafkan Ibu, Nak."Sebelum pergi, Ibu menyempatkan mengelus puncak kepalaku. Aku membuka mata saat merasa Ibu sudah keluar."Kami juga sayang padamu, Bu. Tapi kami benci sifat temprementalmu," gumamku sembari memegang kepalaku yang sudah ia obati.***"Adek udah siap?"Aku menghampiri Leo yang sedang merapihkan bukunya, walaupun dia baru kelas 1 SD akan tetapi dirinya begitu mandiri. Adikku sudah bisa memakai baju sendiri, serta menyiapkan keperluan Sekolahnya.Ibu memang begitu keras mendidikku dan juga Leo, tapi walau begitu aku tidak pernah melihat Bapak atau Ibu memukul Leo."Jingga, ini uang. Kamu bagi dua sama Leo yah!" Ibu menyodorkan kotak makan beserta uang sepuluh ribu padaku."Yey, Leo bisa jajan."Aku terkekeh melihat Leo yang yang begitu sumringah mendapat uang itu. Memang Ibu begitu jarang memberi kami uang jajan. Ia bilang, membawa kotak makan saja sudah cukup asal perut kenyang."Jingga, kapan kamu lulus sekolah?"Aku yang akan keluar menoleh ke arah bapak yang tiba-tiba bertanya. Tumben dia peduli, biasanya dia tidak pernah menganggap aku ada."Iya, Pak. Ini ke sekolah mau ambil surat pelulusan.""Bagus deh! Kamu harus secepetnya kerja biar bisa bantu ibu kamu cari duit."Tanganku terkepal mendengarnya, jadi dia bertanya hanya untuk itu. Ingin sekali aku menjawab, kalo tidak melihat Ibu yang menyuruhku untuk cepat pergi.Aneh, Ibu bisa begitu kasar pada kami. Akan tetapi, dia selalu patuh pada Bapak, padahal yang bekerja keras itu Ibu.Setiap hari, ibu pergi ke pasar untuk membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan dan dibayar seadanya. Sedangkan Bapak hanya tinggal di rumah, kadang-kadang pergi bersama teman-temannya untuk bermain kartu dan minum-minuman keras.Tidak ingin banyak berdebat, buru-buru aku mengambil sepeda bututku lalu mengayuhnya menuju sekolah, sedangkan Leo diantar sekolah oleh Bapak."Jingga-jingga."Baru datang, temanku sudah ada di hadapanku dengan matanya yang berkaca-kaca."Ada apa?" tanyaku penasaran."Jingga selamat!"Tiba-tiba Rika memelukku dengan erat, aku yang tidak tau apa-apa hanya diam dengan kening berkerut."Ri jelasin. Ada apa?""Kamu dapat nilai tertinggi Jingga. Kamu juga bisa dapet beasiswa kuliah gratis!""Aa--apa?""Aku turut bahagia yah, Jingga.""Makasih Rik." Mataku ikut berkaca-kaca. Apakah impianku untuk kuliah akan terwujud."Sudah ayo masuk! Kamu sudah ditunggu sama Guru."***Aku menatap lembar nilai dengan perasaan haru, setelah sampai rumah aku langsung memberitahu Ibu tentang keinginanku untuk lanjut sekolah dan mendapatkan beasiswa.Ibu memang terlihat biasa saja saat mendengar hal itu, namun wanita itu tetap mendukungku dan memperbolehkanku untuk melanjutkan sekolah."Makasih Bu, makasih!" Aku langsung memeluk tubuh Ibu dengan erat."Tapi saya gak setuju!"Tiba-tiba Bapak datang dengan membawa sebotol minuman keras, Ibu langsung maju saat Bapak mendekatiku."Kamu mabok lagi, mas?" Ibu mendorong tubuh bapak yang sedikit sempoyongan."Dia gak boleh kuliah," ucap Bapak dengan matanya yang tajam menatap diriku."Kenapa, Mas? Anak kita dapet beasiswa. Kalo pendidikan dia tinggi, dia bisa naikin derajat kita juga!""SUDAH CUKUP SEKOLAHNYA! SEKARANG DIA HARUS BANTU KAMU KERJA." Bapak berteriak sembari menunjuk wajah Ibu."Mas cukup! Biar aku aja yang kerja. Biarin Jingga raih impiannya!"Aku benar-benar terharu mendengar perkataan Ibu. Aku kira selama ini Ibu tidak peduli padaku, tapi sekarang baru ku tau kalo Ibu ternyata menyayangiku."Upah kamu kerja itu gak seberapa! Buat beliin saya rokok aja gak cukup. Dan kamu Jingga, udah deh gak usah so-soan mau kuliah segala. Mendingan kamu kerja, cari uang yang banyak!""Terus kerjaan Bapak?" Entah keberanian darimana aku maju sembari menatap bapak dengan tajam. "Aku dan Ibu yang dituntut harus kerja? Terus kerjaan Bapak apa? Ongkang kaki di rumah tapi mau di layanin?""JINGGA JAGA UCAPAN KAMU!" Teriak Ibu."Bedebah kamu Jingga! Memang anak gak tau diri."Prang!Aku memejamkan mata saat botol minuman di lemparkan padaku, jika aku tidak mengindar sedikit saja. Mungkin kepalaku ikut pecah."DASAR ANAK TIDAK TAU DIRI! DARI DULU SAYA SUDAH MEMBUANG KAMU JIKA IBU KAMU TIDAK MEMOHON INGIN MENGURUS KAMU."LIHATLAH, FATIMAH. ANAK KAMU INI SUDAH BENAR-BENAR DURHAKA, SAYA HARUS MEMBERINYA PELAJARAN BIAR DIA BISA KAPOK!"Bapak langsung menarik tanganku dengan kencang lalu membawaku keluar."MAS, JANGAN BAWA JINGGA MAS! AKU MOHON, MAAFIN DIA!" Ibu terus meraung sembari berlutut memegang kaki bapak."DIAM FATIMAH!""IBU!" Aku tak kuasa menahan tangisku melihat bapak yang menendang tubuh Ibu."Mas kamu bisa menghukumku, memukulmu sesukamu. Tapi jangan sakitin Jingga, Mas. Kasian anak kita!""Anak kita?" Bapak terkekeh dengan matanya yang memerah. "DIA BUKAN ANAK SAYA! ANAK SAYA HANYA LEO!"Deg!Perkatannya benar-benar membuatku tercengang."Kamu akan saya jual pada juragan, dengan begitu kamu baru berguna untuk saya, Jingga!""Kamu akan saya jual pada juragan, dengan begitu kamu baru berguna untuk saya, Jingga!""Mas, jangan Mas! Walaupun Jingga bukan anak kandungmu, tapi kasihan dia." Hatiku terasa tertusuk pilu melihat Ibu yang terus bersujud memegang kaki Bapak, meski berkali-kali Bapak menginjak badan ibu. "Kasian? Bukannya kamu yang selama ini selalu menyi*ksa dia, Fatimah?" "Tapi dia anakku, Mas. Aku mohon jangan jual anakku!" "Halah!" Tidak peduli jeritanku dan Ibu, Bapak terus menarik tanganku"Naik!" titah Bapak, ketika ia berhasil menarikku sampai di depan rumah. "Gak mau. Pak, Jangan!" Aku terus memberontak agar bapak melepaskan tanganku."Kak Jingga ... Bapak mau bawa Kak Jingga kemana?" Tiba-tiba Leo datang. Ia langsung menghempaskan tasnya lalu memegang kuat bajuku ."Bapak jangan sakitin Kak Jingga, Pak!""Leo lepasin!" Ancam Bapak. "Gak mau, Bapak sama Ibu jahat. Leo cuman punya Kak Jingga. Jangan bawa Kak Jingga, Pak ...Hiks."Hatiku benar-benar teriris melihat Leo yang menangis kenca
"Kamu memang sangat cantik Jingga. Tidak sia-sia Bos besar saya menunggumu sampai dewasa," ucap Juragan. Di dalam mobil, lelaki itu terus berbicara panjang lebar. Sedangkan aku hanya diam, yang kupikirkan sekarang hanya adikku Leo. Aku tidak tau bagaimana keadaannya sekarang, aku takut kebiasaan ibu yang selalu memukulku ia impaskan pada Leo. Dan Bapak, lelaki kejam itu entah pulang atau tidak saat mendapat banyak uang. "Jingga!"Aku membuyarkan lamunanku saat Juragan memanggil namaku. "Iya Juragan?" "Sebentar lagi kita sampai.""Hm." Aku hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban, aku sudah tidak peduli bagaimana nasibku nanti di sana. "Sebelum kita sampai apa ada yang ingin kau tanyakan?" tanyanya membuatku menoleh ke arahnya. Aku berpikir sejenak lalu menganggukan kepala. "Ada, saya ingin tau bagaimana ibu dulu? Maksudku, apa Ibu semenjak menikah dengan Bapak kandungku sudah tempramental?" tanyaku."Saya kira kamu akan bertanya soal keluarga Bos saya," kekehnya. "Tidak Juraga
"Pah," panggil Lelaki itu dengan bariton suaranya yang berat. Akhirnya, aku dan Tuan Besar masuk ke dalam ruangan setelah berdiri diam di depan pintu. Tuan Besar dengan tegas menginstruksikan dua orang pelayan yang berada di sisi Tuan Dafa untuk segera pergi.Aku menoleh ke kiri dan kanan, kamarnya terlihat begitu gelap. Gorden tidak terbuka, memberikan kesan yang sedikit menyeramkan."Cari apa kamu?" tanya Tuan Dafa sembari menatap sinis ke arahku. Aku langsung menggelengkan kepala sebagai jawaban, kenapa harus keciduk sih. "Dafa, bagaimana keadaanmu?" tanya Tuan besar."Mengapa kalian ada di sini?" tanyanya balik, dengan tatapan tajam menatap kami berdua."Dafa, Papah hanya ingin menjengukmu ....""Katakan!"Aku menelan saliva dengan susah payah. Melihat interaksi mereka, aku menyadari bahwa hubungan mereka tidak baik."Begini, Dafa. Papah ingin memperkenalkanmu dengan Jingga." Aku melihat Tuan Besar menghela nafas pelan, lelaki itu tampak sangat sulit mengatakannya. "Gadis ini a
"Saya tidak keberatan, Tuan. Tapi, apakah boleh saya meminta sesuatu?""Katakan, apa yang kamu inginkan?""Saya hanya selalu ingin tau kabar keluarga saya, Tuan.""Baiklah." Aku tersenyum saat Tuan Besar menganggukkan kepalanya. Kami baru saja akan meninggalkan ruangan, tetapi tiba-tiba seorang lelaki muda datang dan mendekati Tuan Besar."Pah ... Papah baik-baik aja kan, apa Papah sakit?" tanya lelaki itu, wajahnya terlihat begitu khawatir. "Hans." Tuan besar menatap lekat putranya, setelah itu ia memeluknya dengan erat. "Kapan kamu pulang? Kenapa tidak mengabari papah dulu?" "Tadinya Hans mau ngasih kejutan, tapi malah Hans yang dikasih kejutan. Orang rumah bilang kalo Papah ke rumah sakit," jawabnya. Tuan besar tampak terkekeh pelan. "Papah gak papa. Oh, ya kenalkan dia Jingga. Calon istri Dafa." Aku tersenyum kikuk saat lelaki itu menatap lekat ke arahku dengan alisnya yang dinaikan sebelah, ia lalu mengulurkan tangannya padaku. "Hans," ucapnya."Hans, kamu pulang duluan aja
Leo, maafin Kakak yang tidak bisa menjaga kamu. Biasanya jika Ibu dan Bapak bertengkar, aku selalu membawa Leo keluar, atau menutup kupingnya agar dia tidak mendengar pertengkaran mereka. "Kakak jangan nangis, sekarang Leo udah di kamar. Tadi ada Om Juragan dateng, dia langsung mukulin Bapak terus di bawa pergi. Leo juga di kasih ponsel, katanya Bapak gak boleh tau kalo Leo punya ponsel, ini buat Leo kalo kangen sama Kakak."Aku mengusap kedua pipiku lalu menyunggingkan senyum ke arah adikku. "Leo di sana baik-baik yah, kalo ada apa-apa langsung telepon Kakak. Secepatnya, Kakak bakal jemput Leo!""Leo sayang Kakak!" Setelah itu telepon terputus. Aku memeluk ponsel ini dengan erat, membayangkan jika benda kecil ini adalah Leo. "Jingga." Aku berbalik saat mendengar seseorang memanggil namaku. Ku lihat ada Tania dan Papah yang sudah berada di belakangku. Buru-buru aku seka air mata ini, tidak Jingga, kamu tidak boleh memperlihatkan air matamu pada mereka. "Tu--tuan besar, anda menc
"Jingga, terimakasih karna kamu mau menikah dengan anak saya Dafa. Saya harap kamu bisa membuatnya bangkit kembali seperti dulu." Tampak mata Tuan Besar berkaca-kaca, wajahnya yang begitu terlihat bahagia membuatku semakin yakin untuk bisa mengembalikan anaknya seperti dulu, walau rasanya tidak mungkin."Jingga, mulai sekarang jangan panggil saya Tuan Besar lagi yah. Karna sekarang, saya sudah menjadi Papah kamu juga."Lelaki itu tersenyum, Ia mengusap puncak kepalaku lalu pergi. Entah kenapa aku merasa benar-benar mendapatkan sosok Ayah darinya. ***Sedari tadi, aku sudah bertemu dengan banyak orang, akan tetapi tidak kulihat Tuan Dafa setelah dari acara akad. Karena melihat semua tamu hampir pulang dan acaranya sudah selesai, aku langsung menuju kamar. Tapi tiba-tiba ada sebuah tangan yang mencekal pergelangan tanganku. "Hans." "Saya mau bicara sebentar, boleh?" tanyanya. Aku menganggukan kepala, lelaki itu tampak celingukan lalu membawaku ke tempat yang sedikit sepi. "Mana p
Pov DafaAku terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Aku menatap ke sekeliling, gadis itu sudah tidak ada. Aku hanya bisa tersenyum miris, mungkin beberapa jam lagi akan ada informasi bahwa dia kabur dan meminta cerai padaku. Seperti itulah kehidupanku. Sejak kejadian empat tahun yang lalu, hidupku berubah menjadi suram. Setiap kali aku memejamkan mata, bayangan kejadian itu langsung muncul kembali seperti memutar kaset yang begitu jelas.Hari itu adalah hari paling buruk yang aku alami. Gara-gara aku, Bunda yang sangat kami cintai meninggal di tempat. Dan Tania, setelah mengetahui aku lumpuh, dia langsung membatalkan pertunangannya. Yang paling mengejutkanku adalah ternyata dia sudah menikah sirih bersama adikku saat aku dirawat di rumah sakit. Seperti kehilangan sumber kebahagiaan, setiap hari aku hanya berdiam diri di kamar. Membiarkan kamarku berantakan hingga tak boleh ada satupun yang membersihkannya. Aku sudah tidak mengurus perusahaan, ataupun sekedar keluar. Tetap m
Setelah mengambil baju dari lemari aku menghampirinya. Tampak gadis itu melongo melihatku. "Tu--tuan bisa berdiri?" tanyanya."Hm." Aku hanya berdehem sebagai jawaban.Jingga menuruti perintahku, gadis itu memakaikan kemeja padaku lalu mulai berjongkok memasangkan kancingnya. "Berapa umurmu?" "18 tahun Tuan," jawabnya membuat aku terkejut. Astaga, Papah bahkan menikahkanku dengan seorang gadis yang masih sangat muda. "Tuan biar saya ganti perbannya." Jingga mengambil kotak obat lalu mulai membuka perban di tanganku. Sedangkan aku hanya diam, entah kenapa mataku tidak bisa lepas menatap wajahnya. Hidung mancung, mata berwarna coklat yang indah, bulu mata lentik. Jangan lupakan bibirnya yang tipis, itu membuatku teringat pada kejadian semalam. Meskipun aku sedikit mabuk, aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.Tapi tunggu, mataku memincing melihat ada luka di kening yang tertutup rambut. "Kenapa kepalamu berdarah," ucapku membuat Jingga seketika mendongak. Aku memegang tanganny