Share

08. Kembali Ke Tenda

Raka berlari dengan cepat menerabas semak-semak. Dia berharap Jonan menyadari adanya bahaya besar ini sehingga waspada terhadap ancaman yang muncul sewaktu-waktu.

Mereka mendirikan tenda di area terbuka. Raka mulanya berpikir lokasi itu aman dari serangan binatang, tapi kemudian menjadi kesalahan besar karena mereka menjadi sasaran empuk orang-orang bersenjata.

Makhluk ganas itu adalah ancaman yang paling serius. Dia bisa datang dan membantai mereka kapan saja. Situasi di sekitar tenda terang benderang karena hari ini cuaca sangat cerah, sehingga mereka tidak dapat melihat kemunculan makhluk itu.

Hutan jinak ini jadi demikian liar karena kehadiran orang-orang mencurigakan dan makhluk ganjil itu. Mereka membuat wisatawan yang tersesat tidak bisa keluar hidup-hidup dari hutan ini.

Raka memilih jalan yang tidak mudah dilewati, daerah yang kemungkinan kecil mereka jelajahi. Dia ingin menghindari kontak senjata dengan orang-orang asing itu sehingga tidak menghambat waktu untuk segera menemui teman-temannya.

Orang-orang asing itu tentunya masuk secara ilegal melalui perairan internasional, kemungkinan kecil kalau masuk ke pulau ini dengan kedok wisatawan. 

Raka kenal baik pengelola biro wisata alam yang berkantor di pulau ini. Nasionalismenya tidak diragukan. Mereka pasti lapor ke aparat kepolisian setempat kalau ada wisatawan yang mencurigakan. Mantan petualang itu memantau langsung para tamunya.

Raka berhenti berlari ketika melihat pemandangan menarik di tepi sungai. Dia tidak bisa melewatkan kesempatan yang ada di depan matanya. 

Sebuah perahu bermotor tertambat di rerumpunan tanaman air yang tumbuh tinggi dan rapat sehingga keberadaan perahu itu tersembunyi. Raka sendiri pasti tidak tahu kalau tidak menempuh jalur tepi sungai yang banyak ditumbuhi semak ini. Lokasi itu terlindung dari penglihatan orang di sekitar lereng bukit.

Perahu itu cukup untuk enam orang. Jadi Raka tidak perlu repot-repot pergi ke basecamp untuk mengambil perahu cadangan. Dia ingin memindahkan perahu itu.

Raka bersembunyi di balik rumpun semak yang tumbuh rapat. Dia buka kunci pistol dan menggenggamnya. Matanya mengamati situasi di sekitar perahu. 

Raka yakin perahu itu milik kelompok sindikat orang asing yang dibantai makhluk ganas itu. Pulau terpencil ini tidak mungkin dikuasai oleh beberapa kelompok mafia. Kepolisian NKRI akan mengendus keberadaan mereka karena pulau ini tidak berpenghuni.

Dua orang pria asing muncul dari arah hutan sambil tertawa-tawa. Pria berkumis menjinjing dua buah travel bag, temannya memegang senjata otomatis. Mereka kelihatannya senang telah berhasil menipu seseorang.

"Fooled," kata pria berkumis.

"He thought our friend who brought," sahut pria bersenjata.

Pria berkumis tertawa. "Dingle."

Jadi barang yang dirampas makhluk ganjil itu adalah barang palsu, pikir Raka. Mereka hanya untuk mengalihkan perhatian. Barang aslinya ada pada dua orang itu. Tapi barang apa?

Mereka naik ke atas perahu sambil tertawa terbahak-bahak. Pria bersenjata menghidupkan mesin perahu. Baling-baling berputar. Raka sudah siap-siap melumpuhkan mereka dengan peluru, tapi mendadak tidak jadi. 

Makhluk bengis itu muncul secara tiba-tiba dari permukaan air di dekat baling-baling. Kemunculannya terlihat dengan membuncahnya air ke udara. Dua orang itu tahu-tahu meregang nyawa. Mereka terkapar di perahu dengan leher menderita luka yang mengerikan.

Travel bag lenyap dari perahu dan seolah melayang-layang sendiri ke arah lereng bukit karena yang membawanya tidak terlihat secara kasat mata. Perahu itu melaju membawa dua sosok mayat.

Raka segera berlari ke arah yang berbeda, meninggalkan tepian sungai dan mendaki lereng landai menuju ke tenda. Dia harus secepatnya sampai sebelum musibah menimpa teman-temannya.

Sementara itu di dalam tenda suasana sangat ceria. Jonan dan teman-temannya duduk mengitari meja sambil menyantap salisbury steak. Di meja ada beragam buah dan lima minuman kaleng.

Oldi tampak surprise mengetahui kabar terbaru tentang Inara. "Jadi kamu sama si Jimy sudah tidak jalan bareng? Kok beritanya tidak menyebar ya?"

Inara dan Jimy merahasiakan keretakan hubungan mereka supaya tidak heboh. Gadis itu menganggap perpisahan adalah jalan keluar terbaik, daripada pemuda itu sakit hati kalau di kemudian hari tahu ternyata dia tidak pernah mencintainya.

"Jaim dong," sahut Kirei. "Baru terpilih jadi pasangan terfavorit masa bubar?"

Oldi memandang Inara dengan tak percaya. "Jadi kamu rela meninggalkan duniamu dan nekat bertualang cuma untuk mendapatkan cinta Raka? Puteri kampus bisa juga mengagungkan cinta. Selebritis biasanya hobi ganti-ganti pacar."

Inara sebenarnya sering ganti-ganti pasangan. Dia ingin membunuh cinta yang tak pernah mati di hatinya. Tapi pacar-pacar itu tidak bisa menggantikan posisi Raka.

"Hatiku cuma mengenal satu cinta," kata Inara. "Dan itu Raka."

"So sweet," kicau Oldi.

"Tapi aku tidak tahu bisa apa tidak mewujudkan itu."

"Jangan pesimis begitu dong."

"Aku hanya tidak ingin terlalu berharap, sehingga kecewaku tidak berkepanjangan nantinya."

"Si Lola pastinya happy banget di Hawaii," sela Maysha. "Tidak perlu susah payah buat menggaet si Jimy."

"Si Lola itu lagi menunggu kepastian dari Raka," sanggah Oldi. "Belum apa-apa masa sudah main dobel?"

Lola sudah biasa memiliki pacar lebih dari satu. Tapi gadis itu tahu tidak bisa memperlakukan Raka secara sama. Maka itu dia memutuskan pacarnya sebelum mendekati pemuda itu.

"Raka itu cuma cowok alternatif," kata Maysha. "Angsa betina itu memilih teman kamu karena kalah bersaing untuk mendapatkan si Jimy."

Angsa betina adalah julukan Lola. Inara mendapat sebutan puteri manja karena segala keperluan serba mami yang mengurus, termasuk urusan celana dalam dan bra.

"Sotoy," rutuk Oldi.

Maysha menasehati. "Kalau tidak mau ketinggalan berita soal angsa betina, makanya baik-baikin puteri manja."

"Tapi angsa betina jadi kepikiran sama Raka," keluh Inara. "Kepergiannya ke Hawaii membuat Raka jadi sensi, baperan."

Kirei menoleh. "Raka jealous maksudnya karena di Hawaii ada si Jimy? Terus kamu kena getahnya? Masuk akal juga."

"Jadi rumit deh," komentar Oldi. "Tapi aku percaya cinta Raka bukan untuk si Lola."

"Bukan untuk aku juga," sahut Inara. "Ada yang lain di hatinya."

"Kayak lagu jadul."

"Tapi masih enak didengar."

"Tidak ada perempuan di kepala beruang salju, meski cuma sebuah nama," potong Jonan. "Dia hanya mendengarkan suara alam, persahabatan atau permusuhan dari sabda alam."

"Nyatanya?"

"Kamu saja lebay."

"Boleh aku jujur?" cetus Oldi.

Kirei mencemooh. "Jadi selama ini kamu tidak jujur? Pantesan tu muka makin jelek, kena azab."

"Jelek-jelek juga buatan negeri sendiri, dompet tebal. Nah, si bule gembel menang merek doang. Main kafe, dugem, banyaknya gratis. Kamu itu pacarnya apa donatur?"

"Jujur soal apaan?" tanya Inara ingin tahu.

"Sebenarnya si Lola kepingin ikut ke pulau ini," jawab Oldi. "Tapi pasti perang terus sama kamu. Cuma bikin Raka pusing. Ada Mey sama Jo saja sudah bising."

"Gak salah?" sindir Maysha. "Kamu sama Rei kali."

"Aku suka sama Rei, berantem itu ngangenin."

"Jangan mimpi di siang bolong," dengus Kirei ketus. "Malu bangunnya."

"Itu hak aku dan tidak bisa diganggu gugat."

"Pertanyaannya aku mau tidak?"

"Pasti tidak."

"Nah, terus?"

"Itu hak kamu dan tidak bisa diganggu gugat."

Jonan mendorong kepalanya. "Tidak usah ngomong kalau begitu." 

"Maka itu Raka bagi-bagi waktu," kata Inara. "Pulang dari sini langsung pergi ke Kilimanjaro."

"Terus si Lola ngambek gara-gara Raka memprioritaskan kita," sambung Kirei. "Raka dibilang cowok matre karena semua biaya petualangan ini kamu tanggung. Raka tersinggung. Si Lola nangis-nangis minta maaf ... basbang."

Oldi menatap mereka. "Pasti ada anak Mapala jadi mata-mata. Lengkap banget kalian dapat infonya."

"Jo tidak setuju pergi sama aku bertiga," tambah Maysha. "Cewek metropolis tahunya cuma kosmetik, lantai diskotik, pasti rematik jalan di lantai alam."

"Terus kamu datang atas nama masa lalu," timpal Kirei. "Kebetulan kamu juga ingin sekali bertualang. Momen yang pas buat reuni, kumpul bareng kayak dulu."

"Aku kangen masa-masa itu," ujar Inara. "Gang kita dulu paling meriah dan paling ditakuti gang lain, karena Raka sama Jo jago bela diri. Mey malah pernah sewa Jo jadi bodyguard karena pengen putus sama pacarnya yang mafia. Aku tidak tahu bayarnya pakai cinta atau apa."

"Ke mana-mana deh," gerutu Maysha.

Kirei memuji Oldi untuk pertama kalinya. "Kamulah yang paling jago. Bisa menyatukan kita kembali."

"Tapi aku tidak bisa menyatukan cinta kita."

"Sabar, jodoh tidak ke mana."

"Alhamdulillah."

"Tunggu khilaf."

"Astagfirullah," ucap Oldi. "Kalian tahu semua itu dari siapa? Waktu itu aku ngomongnya cuma bertiga?"

"Kamu sendiri yang membocorkan," sahut Inara. "Coklat dari aku belum habis, kan?"

Jonan mencakar turun muka Oldi. "Pura-pura lupa."

"Perempuan memang susah dimengerti," kicau Oldi. "Banyak cowok yang ngejar-ngejar si Lola, eh, si Lola malah ngejar-ngejar cowok yang tidak suka dikejar-kejar."

"Ya iyalah," tukas Kirei. "Memangnya maling dikejar-kejar?"

"Kapan ya kamu ngejar-ngejar aku?"

"Sabar," hibur Maysha. "Muka kamu adalah ujian."

"Colong saja kucing eksotiknya," gurau Inara. "Rei pasti ngejar-ngejar." 

Mereka tertawa.

Raka muncul di pintu tenda dengan wajah serius. Suasana yang meriah mendadak sepi. Semua mata tertuju ke arahnya.

Raka menutup pintu dan jendela tenda. Dia berharap dengan begitu musuh menduga mereka tidak ada di tempat, dan kedatangan musuh bisa terlihat karena keadaan di luar jauh lebih terang. 

Mereka heran melihat Raka datang-datang menutup semua pintu dan jendela, lebih-lebih di tubuhnya terdapat banyak senjata. Jonan saja yang kelihatan sabar menunggu penjelasannya.

"Ada apa ditutup semua?" tatap Inara separuh protes. "Pengap tahu."

"Itu senjata beneran?" tanya Oldi ingin tahu. "Dapat dari mana?"

"Bagaimana hasilnya?" buru Kirei penasaran. "Orang basecamp bisa dihubungi? Kapan dijemput?"

"Mulai main gelap-gelapan," sindir Maysha. "Lunch box itu kamu kasih obat perangsang ya, Ara?" 

"Aku kasih obat cinta, biar hatinya tidak dingin."

"Nyatanya malah parah. Sekalian kancing kerahmu suruh tutup."

"Kecekik dong."

"Tutup dengan cinta."

Raka mengambil air mineral di dalam dus dan duduk di samping Jonan. Dia buka tutup botol dan meneguknya.

"Aku mau bicara...," kata Raka.

Mereka tidak ada yang berani main-main lagi melihat seriusnya wajah Raka. Semua memasang telinga siap mendengarkan.

"Awalnya aku kira wisata alam ini adalah petualangan yang paling aman buat kalian. Ternyata aku keliru. Aku tidak tahu ada apa dengan hutan ini? Di mana-mana tidak ada sinyal."

"Terus kamu kenapa pulang?" tanya Maysha. "Katanya langsung pergi ke basecamp ambil perahu cadangan kalau gagal cari sinyal."

"Banyak kejadian yang tidak aku pahami, yang membuat aku terpaksa kembali ke tenda."

"Kejadian apa?"

"Kejadian yang membuat kalian harus menyiapkan mental dengan baik untuk mendengarkan."

Gadis-gadis itu berpandangan. Wajah mereka dibayangi perasaan khawatir.

"Terus bagaimana kita pulang?" tatap Inara gelisah.

Maysha bertanya dengan waswas, "Apa kita akan mengalami nasib yang sama?"

Mereka sangat cemas karena teringat tidak ada satupun wisatawan yang berhasil keluar dari hutan ini dengan selamat.

"Jalan kaki lewat jalur utara."

"Kamu bilang jaraknya sangat jauh," sanggah Kirei. "Aku bertiga takut tidak sanggup karena makan waktu berhari-hari untuk menempuhnya. Kamu ingin aku bertiga mati?"

Raka memandang dengan tajam. "Mulai detik ini aku tidak mau ada protes. Simpan itu untuk keselamatan kamu."

Kemudian Raka menoleh ke Inara dengan tatap mata seakan ingin menyelami lubuk hatinya.

"Aku tidak protes, swear," sahut Inara buru-buru. "Aku ikuti ke mana kamu pergi kalau menurutmu itu jalan yang terbaik."

"Aku harap situasi ini tidak menambah beban pikiranmu."

Inara menatap bingung. "Beban apaan?"

"Jangan kira aku tidak tahu soal hubungan kamu sama si Jimy. Kalian sudah bubar, maka itu si Jimy berangkat sendiri ke Hawaii. Kamu ada di sini ingin menenangkan pikiran. Aku hargai apapun alasan kamu. Sayangnya, pulau tak bernama tidak bersahabat untuk orang patah hati."

"Tidak begitu ceritanya," sambar Kirei. "Dengarkan ya...."

Inara menyenggol minuman kaleng yang ada di hadapan Kirei dengan gaya seolah tidak sengaja sehingga minuman itu tumpah membasahi bajunya. Cerita gadis itu langsung terputus. Tangannya sibuk mengibas-ngibaskan pakaian.

"Taruh minuman yang benar," tegur Inara santai. "Untung tidak mampir di muka."

"Minuman sudah benar letaknya," sahut Kirei dongkol. "Otakmu yang perlu diperiksa, miring tidak letaknya."

Inara seperti tidak suka kalau Raka mengetahui cerita yang sebenarnya. Apa maksudnya? Dia pasti gengsi! Memangnya puteri kampus tidak boleh jatuh cinta duluan?

Pemuda itu mendapat informasi yang tidak utuh. Dia mesti tahu alasan yang sebenarnya. Di antara mereka akan terjadi kesalahpahaman kalau dibiarkan. Apakah hal ini tidak terpikir oleh Inara?

Inara mempunyai pemikiran lain. Pasti Lola yang memberi tahu Raka kalau hubungannya sama Jimy berantakan. Angsa betina itu tidak tahu ceritanya secara utuh, atau sengaja menutupi karena gang-nya tidak mungkin memberi informasi asal-asalan. Inara tidak peduli.

Masalahnya, saat ini bukan momen yang tepat untuk menyampaikan cerita yang sebenarnya. Mereka sedang menghadapi persoalan besar. Raka tentu mencurahkan segenap pikiran untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Cerita itu tidak berkesan. Cuma bikin malu.

"Perjalanan kita nanti butuh stamina yang prima, otak jernih, semangat pantang menyerah, dan yang paling penting ... nyali," kata Raka. "Yang kita hadapi bukan cuma ganasnya alam, ada bahaya besar yang setiap saat bisa merenggut nyawa kita."

Gadis-gadis itu kelihatan tegang. Mereka berpandangan dengan perasaan cemas menyelimuti hati. Mereka tidak mau mati di hutan terkutuk ini!

Raka menjelaskan. "Aku sempat bertemu dengan beberapa orang asing yang mencurigakan."

"Mencurigakan bagaimana?" selidik Kirei. "Belum kenal belum apa sudah curiga duluan. Orang asing biasanya pintar-pintar, apalagi orang Italia, gampang diminta bantuan."

"Sampai segitunya bela pacar," sambar Oldi sinis. "Ngakunya pendukung NKRI. Cintai dong produk dalam negeri."

"Awalnya aku ingin minta bantuan," kata Raka sabar. "Tapi tidak jadi."

"Kenapa?" buru Kirei penasaran. "Gengsi kesasar di negeri sendiri?"

Oldi geram. "Semua ini gara-gara kebegoan kamu. Ingat itu."

"Mereka keburu jadi mayat," sahut Raka tenang. "Jelas aku gengsi minta bantuan ke mayat."

Gadis-gadis itu kaget. Wajah mereka pucat seketika.

"Mereka dibantai oleh makhluk yang tidak biasa, bukan manusia bukan binatang, dan lebih ganas dari setan gentayangan."

Perasaan ngeri membersit di wajah ketiga gadis itu. Oldi juga cukup terpengaruh nyalinya. Sementara Jonan cuma menoleh sekilas.

"Aku sama Jo akan membawa kalian keluar dari hutan ini. Sekarang siap-siap."

Bergegas mereka ambil tas masing-masing. Oldi mengeluarkan semua pakaian, ganti memasukkan makanan dan minuman sampai full. Kirei bengong.

"Sesuai kebutuhan," senyum Oldi.

Inara dan Maysha sibuk memasukkan peralatan kosmetik dan barang-barang pribadi lainnya.

"Bawa makanan dan minuman saja secukupnya," tegur Raka.

Inara menoleh. "Kosmetik juga?"

"Pikirkan saja nyawa kamu."

"Nanti cantikku hilang?"

Oldi menatap keki. "Pilih mana? Cantik apa nyawa hilang?"

"Cantikmu kelihatan alamiah kalau tanpa make up," puji Raka.

Inara segera mengeluarkan lagi barang-barang pribadinya. Hatinya senang mendapat pujian itu sekalipun nadanya biasa-biasa saja. Raka terkenal pelit memuji.

"CD-nya sekalian keluarkan," sindir Maysha. "Kan cantiknya tidak hilang biar tidak pakai CD."

"Nah, itu cocoknya kamu," sambar Jonan konyol. "Cantikmu alamiah kalau tanpa sehelai benangpun."

"Aku tidak mau jadi tontonan binatang."

"Binatang pasti lari ketakutan."

"Rajanya ada di depanku."

"Otakku masih waras. Aku suka wanita bukan betina."

Jonan memeriksa senjata otomatis dan magazine cadangan untuknya yang diletakkan Raka di atas meja. 

"Senjata ini mengingatkan aku ke Gunung Altay."

"Itu yang ingin aku selidiki. Keberadaan tentara bayaran di pulau tak bernama tentunya bukan untuk berlibur."

Mereka bangkit mengambil carrier.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status