Share

09. Kekasih Terindah

Sebuah dahan kering tampak patah menggantung. Dahan itu berpangkal pada pohon tua yang tumbuh menyendiri di tepi jurang. Ada dua dahan lagi di atasnya berdaun jarang. 

Sayup-sayup terdengar suara tarikan nafas ganjil dan menyeramkan. Makhluk itu berada di dahan kedua. Daun bergerak searah secara halus tertiup hembusan nafasnya.

Seekor serigala muncul dari sebuah rumpun semak. Dia menggeram dengan mata mencorong tajam ke dahan itu, lalu kepalanya mendongak ke langit dan melolong panjang.

Makhluk tak kasat mata itu merasa terusik. Dia mengerang marah dengan suara yang sangat menyeramkan. Kemudian turun dari atas pohon dengan menggelosorkan tubuh. Kulit batang berkelupasan dan berjatuhan ke jurang. 

Makhluk itu berkelebat melintasi rerumputan memburu serigala. Rumput hijau itu bergerak searah secara bergelombang terkena sambaran angin pergerakannya.

Serigala berlari sekencang-kencangnya berusaha meloloskan diri dari perburuan. Makhluk itu berkelebat memburu dengan melompat-lompat seperti belalang. 

Malang sekali. Serigala terjebak di sebuah rumpun tanaman perdu. Kakinya terjerat akar. Makhluk itu mengerang dengan bengis. Nyawa binatang itu tanpa ampun melayang dengan luka mengerikan di leher.

Hutan ini ditumbuhi banyak pohon rindang dengan jarak yang berdekatan. Jadi pergerakan makhluk tak kasat mata itu ketahuan melalui daun yang bergerak searah bergelombang terkena sambaran tubuhnya.

Setelah membantai serigala, makhluk itu bergerak naik ke sebuah pohon, kemudian melompat dari dahan ke dahan menuju ke suatu tempat. Gerakannya cepat sekali. Dia kelihatannya menyukai kehidupan di atas pohon seperti macan dahan, atau menempuh perjalanan di darat barangkali lebih sulit karena banyak belukar malang melintang. 

Makhluk itu berhenti di dahan terakhir di tepi hutan yang mengelilingi padang rumput dengan sebuah tenda berdiri di tengahnya. Dia mengintai ke arah tenda. Hal ini terlihat dari dua tangkai daun yang tersingkap secara tiba-tiba.

Sekitar tenda sepi. Semua jendela dan pintu tenda tertutup. Pemandangan yang cukup aneh mengingat cuaca sangat terik, padahal di dalam tenda tidak ada alat pendingin.

Sejenak tidak ada pergerakan di dahan rindang tempat makhluk itu mengintip. Dia sepertinya berpikir tentang maksud penghuni tenda dengan menutup semua jendela dan pintu. Kemudian tangkai daun yang tersingkap bergerak menutup. Pengintaian selesai.

Makhluk itu melompat turun dan berkelebat ke padang rumput, berjalan perlahan mendekati tenda. Sekali-sekali terlihat kilauan noktah bening keperakan yang memantulkan cahaya matahari. Di depan tenda makhluk itu diam sebentar, tengok kanan kiri, lalu masuk dengan merobek pintu tenda.

Tenda itu sudah tidak berpenghuni. Mereka sudah meninggalkan padang rumput beberapa saat sebelum makhluk itu tiba di tepi hutan dan segera bersembunyi di sebuah rumpun semak. Telinga Raka yang tajam dapat menangkap tarikan nafas ganjil makhluk itu dalam jarak tertentu, kemudian terbukti dengan jarum kompas yang bergerak tidak normal.

Inara dan kedua kawannya sangat tegang melihat kemunculan makhluk ganjil itu. Oldi terbelalak dengan mulut melongo lebar persis terowongan bawah tanah. Raka dan Jonan memperhatikan dengan mata tak berkedip. Mereka tegang juga.

"Makhluk yang sangat pemalu," desis Jonan kecut. "Dia tidak mau menampakkan diri untuk bertarung secara jantan."

"Aku kira makhluk itu bukan tandingan kita sekalipun terlihat," sahut Raka datar. "Dia memiliki kecepatan yang sangat luar biasa."

Raka sudah mengetahui kehebatan makhluk itu saat membantai orang asing bersenjata. Dia memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menghilangkan nyawa seseorang tanpa sempat mengedipkan mata. Raka tidak berani untung-untungan untuk berhadapan secara langsung karena dia mempunyai beban tanggung jawab untuk menyelamatkan teman-temannya.

"Jadi menurutmu kita hanya punya satu kesempatan," kata Jonan. "Bagaimana kita supaya tidak jadi binatang buruan?"

"Itu masih butuh keberuntungan."

"Manusia plasma," gumam Inara tercekat. "Bentuknya seperti manusia satu dimensi yang tembus pandang."

"Kamu rupanya banyak pengetahuan tentang laki-laki," komentar Raka. "Kamu bisa mencari julukan dengan cepat untuk kekasih terindahmu. Aku kira makhluk itu tidak membunuh kita sampai saat ini karena dia jatuh cinta kepadamu."

"Sialan."

Oldi mengompori. "Bisa jadi. Kecantikan wajahmu membuat semua makhluk di bumi yang bernama laki-laki jatuh cinta kepadamu."

"Berarti laki-laki di sampingku ini jatuh cinta padaku?" sambar Inara sambil melirik Raka sekilas. "Omongan kamu benar nggak?"

"Tanya sendiri sama orangnya."

"Ogah."

"Kok gitu?"

"Cintaku takut digantung kayak si Lola."

"Tapi betul loh, Ara," tukas Kirei. "Aku pernah lihat film jadul, kingkong jatuh cinta sama wanita cantik. Nah, makhluk itu bisa saja jatuh cinta sama kamu."

"Aku ini cuma foto model sambilan. Jadi jangan samakan aku dengan aktris ngetop itu."

"Bisa saja terjadi, kan?"

Diam-diam Inara jadi ngeri. Sungguh mengherankan makhluk itu membiarkan mereka tetap hidup, padahal banyak kesempatan untuk menghabisi. Jika benar makhluk itu jatuh cinta kepadanya, maka celakalah dirinya.

"Aku butuh kalung keberuntungan," kata Inara tiba-tiba. "Aku takut jadinya."

Raka mengangkat sudut bibirnya sedikit. "Aku cuma mengira-ngira. Perkiraanku biasanya meleset kalau soal perempuan. Jadi jangan GR dulu kalau makhluk itu jatuh cinta kepadamu. Siapa tahu dia jijik untuk membunuh orang patah hati."

Inara menatap dengan kesal. "Kamu itu lelaki sejati apa jadi-jadian? Omonganmu tidak bisa dipegang, setiap detik berubah-ubah."

"Masa omonganku setiap detik harus sama? Tidak bosan mendengarnya?"

Raka mengeluarkan kompas dari kantong celana. Kompas itu sudah diberi tambang kecil menyerupai kalung.

"Ini adalah kalung keberuntungan," katanya. "Kamu baiknya pakai kalung ini. Aku lupa membeli rantai. Tidak apa-apa kan pakai tambang kecil?"

Inara terpukau. "Kamu serius?"

"Sorry kalau kamu tidak berkenan."

"Aku suka."

Raka memasang kalung kompas di leher Inara. Gadis itu agak jengah. Dia belum pernah mendapat perlakuan istimewa seperti ini dari seorang laki-laki, meski cuma sebuah kalung jelek.

"Ngasih kalung itu berlian atau apa," sindir Kirei. "Ini tambang. Memangnya Ara kambing apa?"

Inara memandang Raka dengan terpesona. Mereka berpandangan begitu dekat. Jantung gadis itu berdebar kencang. Dia menurunkan tatap matanya dan pura-pura memperhatikan kalung kompas. "Ini buat apa?"

"Tanda cinta," sambar Oldi. "Cover boy hutan beda sama cover boy kampus, ngasihnya kalung kompas bukan kalung berlian." 

"Kompas ini bisa mendeteksi keberadaan manusia plasma," kata Raka. "Kalau jarumnya berputar kencang, berarti posisi manusia plasma sangat dekat. Jadi aku tidak perlu repot-repot mengeluarkan kompas. Cukup melihat ke kamu. Setidaknya untuk sekarang, inilah satu-satunya kesempatan aku untuk menyelamatkan kalian."

Saat itu jarum kompas berputar cukup kencang dengan jarak ke tenda tidak begitu jauh. Raka kira jarak itu sudah cukup untuk melakukan upaya penyelamatan diri.

"Menyelamatkan kamu juga." Inara tersenyum manis. "Aku ingin kita semua dapat keluar dari hutan ini dengan selamat."

"Aku ingin kalian selamat, itu harapanku," tukas Raka. "Matiku untuk hidupnya kalian. Itu janjiku ke orang tua kalian. Percuma aku hidup kalau kalian keluar dari hutan ini dalam keadaan mati. Jika aku dan Jo terpaksa harus bertarung dengan makhluk itu, maka kalung itu akan jadi keberuntungan kalian untuk menyelamatkan diri."

Maysha ingin menghilangkan suasana yang tidak mengenakkan itu, dia menggoda, "Kirain kalung itu tanda jadian. Sini aku saja yang pakai. Aku pakai kalung matinee, sekalian kompas itu kujadikan liontin."

"Jangan," protes Oldi. "Kalau kamu yang pakai, aku gak fokus lihatnya. Background-nya kegedean."

"Kamu kelihatan sangat cantik dengan kalung ini," puji Raka. "Aku kira kalung ini lebih berharga dari kalung berlian untuk saat ini." 

"Bukan cuma untuk saat ini," sambar Kirei. "Kalung itu jadi sangat berharga untuk selamanya karena pujian kamu."

"Tidak bakalan dilepas sampai rumah," timpal Maysha. "Sekalian makan rumput nanti."

Jonan menoleh. "Rumput apa?"

"Rumput taman! Kamu pikir rumput apa?"

"Kirain rumput tetangga."

Tiba-tiba berkumandang erangan yang sangat menyeramkan dari dalam tenda. Gadis-gadis metropolis itu sampai merinding mendengarnya. Kemudian beterbangan kompor, dus, kotak kosmetik, dan lain-lain. Makhluk pembunuh itu kelihatannya marah karena tidak menemukan sesuatu yang dicarinya.

Oldi bengong melihat bra berukuran big melayang ke luar lewat pintu tenda yang robek besar. "Waduh, punya siapa itu? Tidak ditambah busa isinya?"

Maysha mendorong kepalanya dengan keki. "Aku tambah dengan kelebihan lemak di perutmu."

"Pantas aku merasa lebih langsing."

"Langsing ndasmu!" maki Kirei.

Kemudian manusia plasma mengacak-acak bangunan tenda dengan murka. Tenda ambruk. Suara erangan berhenti. Sunyi beberapa saat. 

"Kita berangkat," kata Raka sambil memberi isyarat ke Jonan untuk berjalan di depan. 

Jonan segera memasuki hutan memimpin mereka. Dia melangkah lambat-lambat sambil tengok kanan kiri waspada. Tangannya menenteng senapan otomatis. 

Kawasan ini merupakan hutan belukar. Semak-semak tumbuh tinggi dan rapat. Jonan sengaja menempuh jalan ini agar keberadaan makhluk itu dapat diketahui melalui gerakan daun semak. Mereka tidak bisa menggantungkan sepenuhnya pada kompas, terlalu berisiko. Oldi adalah yang paling rajin menengok ke dada Inara.

Kirei yang berjalan di belakangnya mengejek, "Kamu itu lihat kompas apa lihat background-nya?"

"Ada yang lebih dekat kalau mau lihat background," sahut Oldi. "Buat apa lihat gunung membiru di kejauhan kalau ada yang lebih nyata di mataku? Kebiasaan gadis Amerika kamu bawa ke hutan. Biar praktis kalau didaki?"

"Bawaannya ngeres aja!" sergah Kirei.

Gadis itu tidak biasa mengenakan pakaian dalam. Bukan mengikuti budaya Paman Sam, rasanya tidak betah. Untung bukit gersang itu kecil, jadi tidak begitu kelihatan puncaknya.

"Manusia plasma tidak ada di sekitar kita," kata Inara sambil melihat sekilas ke dadanya. "Jarum kompas bergerak normal."

"Bukan berarti hilang waspada," sahut Raka. "Jarum itu hanya sekedar petunjuk, bukan penentu. Setiap saat bisa saja rusak."

Raka berjalan paling akhir sambil mengawasi keadaan di belakang. Pistol terselip di belakang pinggang.

Jonan menyibakkan batang semak yang tumbuh rapat merintangi jalan. Oldi yang berjalan di belakang Maysha hendak memangkas ranting itu dengan pisau buah yang dipegangnya. 

Raka melarang, "Jangan meninggalkan jejak."

Oldi tidak jadi memangkas ranting itu, berusaha melewati meski agak repot.

"Makanya tu perut jangan diisi terus," ejek Kirei. "Sekarang baru tahu kan gunanya?"

"Kamu mau mengisi dengan cintamu kalau tidak kuisi sama coklat?"

"Gak janji deh."

Mereka tiba di muka lorong belukar yang cukup panjang. Lorong itu terbentuk secara alami dari batang dan ranting semak yang malang melintang dengan rapat. Suasana di dalam lorong agak gelap.

Mereka memasuki lorong dengan hati-hati, tengok kanan kiri atas bawah. Raka menarik tangan Inara yang berjalan di depannya secara tiba-tiba. Gadis itu hilang keseimbangan dan jatuh ke dalam pelukannya.

Inara sebenarnya kaget tapi dia diam saja. Perhatiannya tertuju ke arah tatapan Raka saat itu. Di atas lorong, seekor ular berbisa bergerak di sela-sela batang semak hendak menyeberang. Inara menyembunyikan wajah ke leher pemuda itu, ketakutan. Kirei hendak menggoda, tapi begitu melihat ke atas lorong lekas-lekas pergi menyusul Oldi.

Inara baru berani mengangkat wajah ketika mendengar suara Raka. "Jalan."

Ragu-ragu Inara melihat ke atas lorong, ular sudah tidak ada. Mereka berjalan agak cepat menyusul teman-temannya. Kirei mengedipkan sebelah matanya.

"Kelilipan?" Inara berlagak bodoh. "Kusiram pakai minuman kaleng, mau?"

"Sempat-sempatnya bikin drama Korea," sindir Kirei.

"Kamu berani sama ular?"

"Takutnya gak gitu-gitu banget kali."

"Tanganku ditarik sekaligus, bagus kejadiannya tidak lebih heboh."

Inara tidak mengingkari ada rasa nyaman berada dalam pelukan Raka sekalipun peristiwa itu terjadi secara spontan. Di hatinya muncul simfoni indah yang tidak didapat dari Jimy selama ini. Tapi dia tidak bisa menikmatinya lama-lama. Mereka sedang menghadapi bahaya besar.

Kaki Inara tersandung akar karena tidak fokus melihat jalan dan hampir terjatuh kalau Raka tidak menyambar tubuhnya. Sekali lagi gadis itu terdampar dalam pelukannya.

Kirei mencibir. "Modus."

"Ada akar bukannya ngomong," geram Inara. "Kamu ingin aku celaka?"

"Akar segitu gedenya masa tidak kelihatan?"

"Hati-hati," kata Raka sambil melepaskan pelukannya. "Banyak akar tidak terlihat karena tertutup daun."

"Sengaja," sambar Kirei. "Sekalian saja bikin sinetron."

"Kamu ini kenapa sih?" sergah Inara. "Orang beneran kesandung."

"Iya kesandung...kesandung cinta."

Raka serentak mencabut pistol. Dia genggam dengan kedua tangan dan menodongkan pistol ke arah datangnya suara yang mencurigakan. Hal yang sama dilakukan Jonan dengan senapan otomatis. Lamat-lamat terdengar suara tarikan nafas ganjil yang sangat menyeramkan.

Sekilas Raka melihat kompas di dada Inara. Normal. Berarti posisi makhluk itu lumayan jauh. Mereka menunggu dengan tegang.

Oldi dan ketiga gadis itu hanya bengong. Mereka tidak mendengar suara apa-apa.

Selang beberapa pohon, daun-daun rimbun bergerak searah terkena sambaran pergerakan manusia plasma yang berpindah tempat dari satu dahan ke dahan berikutnya.

Makhluk ganas itu berhenti sejenak pada sebuah dahan yang keadaannya agak gelap. Sekumpulan noktah bening keperakan terlihat berada di dekat batang. Dia sedang mengamati hamparan semak belukar yang tumbuh tinggi sedemikian rupa sehingga menyerupai gundukan memanjang.

Manusia plasma melompat turun dan berkelebat ke arah lorong. Berjalan dengan perlahan ke muka lorong, menengok ke dalam, kosong. Makhluk pembantai itu berkelebat pergi.

Raka dan teman-temannya keluar dari tempat persembunyian di samping lorong. Keringat dingin membasahi wajah Oldi dan ketiga gadis metropolis itu.

"Hampir saja," keluh Kirei sambil menenteramkan jantungnya yang berdetak tak karuan.

"Seumur-umur aku jadi pengecut," seringai Jonan. "Sembunyi dari ancaman."

"Aku tidak tahu apa kita ada kesempatan untuk bermain-main dengan makhluk itu," sahut Raka datar. "Saat ini yang ada di pikiranku, bagaimana membawa teman kita keluar dari hutan ini dalam keadaan bernyawa."

Perjalanan mereka masih panjang. Ancaman tidak hanya datang dari makhluk bengis itu. Orang-orang bersenjata di pulau ini tentu tidak menganggap mereka sebagai sahabat. Akibat kesalahan sepele - Kirei salah membaca peta - mereka dalam bahaya besar.

"Kalau terjadi apa-apa dengan puteriku...." Raka teringat kembali kata-kata papi Inara. "Kamu lebih baik tinggal selamanya di hutan karena hidupmu dalam masalah besar."

Raka tidak takut dengan ancaman itu, cuma jadi beban. Dia tidak boleh melakukan kesalahan sekecil apapun karena menyangkut keselamatan puteri konglomerat itu.

Inara seakan tahu apa yang jadi pikiran pemuda itu. "Ingat kata-kata Papi ya? Jangan dengarkan. Pengawal Papi tidak akan mampu menyentuh kamu."

"Aku sudah biasa hidup dalam ancaman," sahut Raka tawar. "Papi kamu kelihatannya benci melihat hidupku tenang."

"Lagi menguji calon menantunya kali."

"Calon menantu?"

Inara gelagapan. "Maksudnya Papi lagi mencari calon menantu. Jimy kelihatannya tidak masuk kriteria."

Inara heran melihat Raka demikian tenang. Laki-laki biasanya berteriak histeris mendapat kesempatan emas seperti itu. Atau dia tidak tertarik menjadi menantu pengusaha besar?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ropi Anto
coba pake koin 9/8 gitu biar ga terlalu berat dikita
goodnovel comment avatar
Ropi Anto
ceritanya bagus tapi sayang banyak sekali pake koinnya......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status