Mereka kembali saling pandang dan Marisa yang lebih dulu mengalihkan perhatian. Memang Daniel tidak minta imbalan secara langsung, tapi sebenarnya dia dirayu secara halus. Jika telah banyak yang ia terima, maka dengan sukarela Marisa akan takluk padanya.Hening memanjang. Daniel sengaja diam dan membiarkan Marisa kebingungan dan serba salah. Setelah melihat jam dinding, gadis itu mengambil ponselnya. "Saya permisi dulu, Pak," pamit Marisa. Dirinya harus keluar sebelum staf lainnya masuk ruangan.Daniel tidak menjawab, tapi membiarkan Marisa keluar tanpa membawa oleh-oleh yang diberikannya. Bukan Daniel kalau menyerah. Terlebih terhadap gadis jual mahal seperti Marisa. Dia makin tertantang untuk menaklukkannya.Meski suhu ruangan lumayan dingin, tapi Marisa berpeluh. Apalagi saat keluar ruangan bos, beberapa staf yang sudah berada di meja kerja masing-masing menatapnya dengan heran. "Pak Daniel, sudah pulang?" tanya Ari lirih seperti biasanya.Marisa mengangguk."Urusanmu tentang ua
Untuk beberapa saat Marisa diam tercekat sambil memandang laki-laki yang duduk tepat di depannya. Tak percaya dengan jawaban Aksara."Jangan bercanda, Mas.""Loh, siapa yang bercanda? Aku ngomong serius."Keduanya saling pandang dan Marisa yang mengalihkan perhatian terlebih dahulu. Mungkin wajahnya sekarang sudah semerah tomat. Atau bisa jadi malah terlihat pucat. Bibirnya terkunci tidak tahu mau ngomong apa. "Nanti kuantarkan kamu sampai di rumah. Aku akan bilang pada ibumu, bahwa aku ingin menjadikanmu istriku."Belum reda rasa kagetnya. Marisa kian membeku dengan ucapan Aksara baru saja. Bahkan jemarinya terasa dingin dan matanya mulai berkabut. Dalam dada bagai ribuan genderang berbunyi bertalu-talu. Riuh dengan berbagai rasa. Bahagia, takjub, dan tidak percaya.Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Kemudian memberanikan diri menatap mata Aksara. "Mas, tahu siapa saya 'kan? Keluarga saya, tanggungjawab saya.""Ya, aku tahu. Aku juga bukan orang kaya, Risa. Tapi dengan gajiku, kur
"Tehnya, Mas!" ucap Marisa lantas duduk di samping sang ibu.Sebenarnya ini bukan kali pertama Aksara datang ke rumah Marisa. Dulu sudah pernah dua kali sebelum gadis itu melarangnya karena takut menjadi pergunjingan tetangga."Silakan diminum, Nak Aksa. Maaf ya, nanti jangan lama-lama. Bukan maksud ibu mengusir, tapi kami hanya menjaga agar tidak ada pandangan negatif dari tetangga," kata Bu Rahmi dengan nada hati-hati. Aksara datang dengan sopan, walaupun Bu Rahmi jauh lebih tua tapi harus tetap mengimbanginya dengan sopan. "Ya, Bu. Saya paham." Aksara meraih gagang gelas dan menghabiskan setengah isinya. Meski perutnya sudah kenyang."Ibu, jangan cemas. Saya nggak ada niatan mempermainkan Marisa. Tadi saya sudah bicara, kalau hendak melamarnya." Kata-kata yang cukup lancar dan jelas itu membuat Bu Rahmi kaget. Marisa juga terdiam. Tak menyangka kalau Aksara akan bicara dengan ibunya malam itu juga. Bu Rahmi memandangi Marisa yang duduk di sebelahnya. Kemudian kembali beralih meman
Marisa memperkenalkan Hafsah pada ibunya. Gadis itu juga menyalami dua orang wanita setengah baya yang membantu Bu Rahmi pagi itu. Bu Rahmi menyambut ramah tamunya. Mereka berbincang tentang per-kue-an. Ternyata Hafsah ingin memesan beberapa puluh kotak kue untuk acara di sekolahnya nanti."Mau ada acara pertemuan wali murid, Bu. Jadi saya mau pesan kue. Acaranya masih minggu depan. Tapi kami mintanya di antar, karena nggak ada yang ngambil. Kira-kira bisa nggak?" tanya Hafsah dengan sopan."Bisa. Nanti kami antar," jawab Bu Rahmi yakin. Sebab beliau punya angkot langganan yang siap mengantarkan pesanan kapan saja.Marisa yang masih termangu akhirnya sadar kalau harus segera berangkat ke kantor. "Maaf, Mbak Hafsah. Saya berangkat kerja dulu ya. Maaf banget nggak bisa nemenin." Marisa tidak enak hati meninggalkan gadis itu. Tapi takut juga terlambat sampai di kantor."Ya, nggak apa-apa, Mbak. Tinggal saja," jawab Hafsah ramah."Hati-hati, Ris," pesan Bu Rahmi. Setelah punggung tanganny
Sementara Marisa terus makan sambil berpikir. Kelemahannya dengan perasaan tak enak hati bukan pilihan yang harus membuatnya mundur. Dia harus punya keberanian dan mampu berpikir, bahwa di tengah segala lilitan permasalahan, ia harus mengambil sikap dan terus maju. Berbicara masalah kebajikan, sering kali harus sejalan dengan adanya pengorbanan. "Ris, kalau kamu juga mencintainya. Perjuangkan. Zaman sekarang nggak perempuan nggak laki-laki sama saja. Jika ada pilihan, dia pasti akan memilih yang terbaik. Namun Mas Aksara telah memilihmu yang banyak kekurangan," kata Ari lagi."Apa mungkin karena dia kasihan padaku, Ar?""Kamu tahu, Ris. Apa kehebatan cinta yang dimulai dari rasa iba daripada perasaan yang diawali dengan nafsu?"Mereka saling pandang."Kalau nafsu telah berubah menjadi rasa bosan, cinta pun akan selesai. Tapi rasa iba bisa menimbulkan rasa cinta yang mendalam. Perlu kamu pahami, jika dia hanya iba. Nggak perlu dia ingin menikahimu. Cukup memberikan bantuan untukmu sep
Kedatangan Aksara dan Bu Arum sehabis Salat Isya disambut sukacita oleh Kyai Haji Abdul Qodir dan sang istri. Ibu dan anak dipersilakan duduk di sofa mewah ruang tamu. Bu Haji menyuruh salah seorang ART-nya untuk membuatkan minum."Kedatangan Bu Arum dan Aksara menjadi sebuah kejutan untuk kami malam ini," ucap Pak Kyai sambil terkekeh diakhir kalimatnya. Pria sepuh yang memakai baju koko warna putih itu berbinar bahagia. Meski kondisi kesehatannya menurun dalam sebulan ini, tapi beliau sangat antusias menyambut tamunya.Bu Haji juga sangat gembira. Padahal seminggu sekali wanita itu pasti bertemu dan berbincang-bincang dengan Bu Arum di majlis pengajian yang selalu diadakan bergiliran dari rumah ke rumah anggota majlis ta'lim. Juga sering bertemu di masjid kalau jamaah salat di sana. Tapi hanya saling sapa sekedarnya.Rumah mereka berada dalam satu jalan yang sama. Berjarak sekitar tujuh rumah saja."Maaf, Pak Kyai dan Bu Haji. Kami baru bisa bersilaturahmi," kata Bu Arum sambil ters
Sementara di sebuah kamar yang mewah, Hafsah menangis setelah mendengar pembicaraan orang tua dan tamunya. Sekarang sudah jelas. Marisa adalah gadis yang dikehendaki Aksara, bukan dirinya.Rasa hatinya patah berkeping-keping. Inilah akhir dari perasaan yang ia pendam sekian lama. Rupanya dia kalah oleh gadis sederhana.Suara ketukan di pintu kamar membuat Hafsah menoleh. Meraih tisu dan mengelap air matanya, lalu bangkit membuka pintu. Bu Haji masuk dan duduk di ranjang besar putrinya. "Aku sudah dengar semuanya, Um," ucap Hafsah lirih."Dia bukan jodohmu, Nduk." Bu Haji mengusap punggung Hafsah."Tapi aku juga nggak ingin menikah dengan laki-laki pilihan Mas Alim, Um. Kalau aku menikah dengannya, aku harus ikut tinggal di pesantren. Bagaimana dengan Umi dan Abah?"Bu Haji membiarkan Hafsah meletakkan kepala di pundaknya. Jujur saja, dia juga keberatan jika Hafsah dibawa suaminya. Di samping anak bungsu, Hafsah juga anak perempuan satu-satunya. Alim dan istrinya memang rumahnya deka
"Dia calon suami saya, Pak," jawab Marisa tanpa menoleh. Keduanya terus berjalan menuju pintu utama kantor. Meski terkejut, tapi Daniel tetap berjalan seperti biasanya. Dalam dada bagai tersulut api. Panas dan menyesakkan. Cintanya memang salah tempat. Hingga tak bisa lagi membedakan itu perasaan cinta yang sesungguhnya atau hanya sekedar obsesi semata. Sampai masuk lift, pria itu masih diam karena ada staf lain yang naik bersama."Kutunggu kamu di ruanganku," kata Daniel berjalan mendahului Marisa setelah keluar dari lift.Marisa memandangi si bos dengan setelan jas warna biru gelap itu melangkah cepat masuk ke ruang pribadinya. Sejenak Marisa diam di meja kerjanya. Kebat-kebit juga perasaannya. Kira-kira apa tanggapan lelaki itu nanti. Marah atau justru sadar bahwa merayu dirinya adalah sebuah kesalahan.Para staf berdatangan dan duduk di meja masing-masing. Tari yang lewat juga menyapanya sekilas. Kemudian Ari langsung menghampiri. "Hustt, pagi-pagi udah bengong," tegurnya.Belu