Share

Part 5 Marisa

Sambil sesekali menatap ke arah Marisa, Aksara meladeni perkataan Ubed yang tengah makan puding. Tadi dia sudah menyuapi bocah kecil itu makan bakso. Sabtu ini dia lembur setengah hari dan langsung menjemput sang keponakan ke rumahnya. Sebab tadi malam Mahika menelepon, karena Ubaidillah minta diajak ke kid zone. Diajak sang ibu sendiri tidak mau dan memilih Aksara yang menemani.

Aksara sudah terbiasa mengajak keponakannya sendirian untuk jalan-jalan atau membeli mainan. Dia tidak kaku meski belum pernah memiliki anak sendiri.

Sebisa mungkin Aksara akan menjadi sosok yang membuat Ubaidillah tidak kehilangan figur ayah. Semoga tak lama lagi kakaknya akan terbebas dari penjara.

Marisa yang menoleh bersitatap dengan Ubed yang memandang ke arahnya. Marisa tersenyum, ingat kalau dia bocah yang menabraknya beberapa hari yang lalu. "Ar, itu anak kecil yang menabrakku waktu di ITC, kan?"

Ari menoleh, turut memperhatikan. "Iya. Ih, ganteng bingit. Tapi mana mamanya, waktu kita jumpa kemarin juga berdua saja dengan papanya."

Marisa menggedikkan bahu. Kemudian melambaikan tangan dan tersenyum pada bocah kecil yang menatapnya sambil mulutnya komat-kamit mengunyah makanan. Pada saat yang bersamaan, Aksara memandangnya. Marisa mengangguk sopan sambil menangkupkan tangan di dada. Sebagai tanda meminta maaf karena telah mengganggu anaknya, itu pikiran Marisa.

Setelahnya mereka kembali sibuk di atas meja masing-masing.

"Kamu ini senyam-senyum. Dikira genit sama bapaknya. Entar emak anak itu tahu, kamu bisa dilabraknya. Belum kelar urusan Pak Daniel, ketambahan ini pula," tegur Ari.

"Aku cuman godain anaknya," bantah Marisa.

"Ar, apa tampangku ini seperti perempuan penggoda?"

Ari menatap sahabatnya. "Nggaklah. Pak Daniel aja yang kegenitan sama kamu."

Marisa berdecak lirih kemudian melihat ke arah jam tangannya. "Masih sejam lagi kita nunggu. Mau ke mana dulu sekarang. Duduk kelamaan di sini nggak enak sama yang punya kedai."

"Ikut aku saja. Beliin kaos buat Mas Yoyok."

Marisa mengikuti ajakan Ari. Keduanya pergi meninggalkan foodcourt tanpa menoleh lagi pada Aksara dan Ubed. Marisa khawatir dengan ucapan Ari tadi kalau menjadi kenyataan. Bagaimana jika istrinya laki-laki itu tahu. Bisa berabe. Dia sedang berusaha menghindari si bosnya, eh sekarang malah menciptakan perkara meski itu bukan tujuannya. Marisa hanya merasa gemas pada bocah laki-laki itu.

Keduanya masuk sebuah toko pakaian pria. Marisa menemani Ari memilih pakaian untuk calon suaminya. Meski diam, pikiran Marisa tak tenang. Uang yang di transfer Daniel membuatnya ketakutan. Dia harus mencari cara bicara dengan pria itu. Tapi kalau Mbak Tari sudah masuk kerja, bagaimana bisa ia menemui Daniel tanpa alasan. Kalau mengirimkan pesan sekarang, takut diketahui istrinya. Siapa tahu maksud baiknya ternyata pas disaat yang sial. Takut dituduh dia ada affair dengan Daniel.

Disisi lain hatinya, Marisa harus menyiapkan mental untuk menghadiri pernikahan Dimas. Lelaki yang pernah sangat dicintainya, yang pernah membangun impian untuk hidup bersama, tapi tak lama lagi dia akan bergelar suami orang. Semenjak putus, Marisa sudah memblokir nomer ponsel dan akun media sosial laki-laki itu.

Ari dibiarkannya memilih kaos sendiri. Meski tubuhnya sangat berisi, tapi selera fashion Ari jauh lebih bagus dari Marisa. Sambil menunggu Marisa duduk di sofa puff yang tersedia di sana. Sebab dia sudah hafal dengan temannya, Ari bisa memakan waktu lama untuk memilih apa yang tengah diinginkannya.

Dari pintu kaca yang terbuka, Marisa melihat pria di kedai bakso tadi masuk sambil menggendong bocah lelakinya.

Aksara tercekat sesaat saat bersipandang dengan Marisa. Entah kebetulan atau apa, dia berserempak beberapa kali dengan gadis yang sering dicarinya di dalam angkot.

"Mau cari apa, Mas?" tanya ramah pramuniaga pria yang menghampiri Aksara.

"Cari celana jeans yang warna biru dongker, Mas."

"Mari sini, Mas!" Pemuda berseragam biru itu mengajak Aksara masuk ke bagian dalam. Marisa memperhatikan langkah mereka karena bocah lelaki itu terus menatapnya dari balik pundak si om.

Tak lama kemudian sang pramuniaga membawakan dua buah celana menuju meja kasir. Aksara mengikuti sambil menggendong Ubed.

"Apa nggak dicoba aja dulu, Mas. Takutnya nanti nggak muat," tanya penjaga kasir.

"Enggak, Mbak. Saya rasa itu sudah pas buat saya," tolak Aksara karena dia tidak tega meninggalkan sang keponakan di luar kamar ganti.

"Sayang banget udah mahal kalau nanti nggak muat, Mas. Kami nggak menerima penukaran barang soalnya." Pramuniaga itu menjelaskan dengan sopan. "Beda merk terkadang juga selisih meski ukurannya sama," tambahnya lagi.

"Baiklah, saya coba." Aksara mengambil dua celana tadi dan menuju ruang ganti baju. Dia masuk sekalian dengan sang keponakan.

Semua yang Aksara lakukan diperhatikan oleh Marisa. "Lelaki itu tidak tega meninggalkan anaknya di luar sendirian," batinnya. Marisa menatap keluar. Memang tak ada perempuan yang mengikuti mereka. Diam-diam dia kagum pada lelaki yang tak canggung momong anaknya sendirian di tempat umum. Apalagi anaknya masih sangat kecil.

Tak lama Aksara keluar kamar fitting sambil menggandeng Ubed. "Om bayar dulu, ya. Setelah itu kita beli mainan," tutur Aksara pada keponakannya. Ubaidillah mengangguk.

Om? Marisa dengan jelas mendengar ucapan Aksara. Jadi, bocah itu bukan anaknya?

Pada saat yang bersamaan, Ari selesai memilih pakaian dan segera membayarnya ke kasir.

Akhirnya pertemuan itu berlalu begitu saja. Aksara sendiri tidak ingin gegabah bertindak. Meski Marisa sangat menarik perhatiannya.

***LS***

Najwa berjalan riang sambil menggandeng tangan Marisa. Mereka menyusuri trotoar di jalan kecil sepulang dari tempat les. Selesai menonton bersama Ari, Marisa langsung pulang dan turun di tempat les sang adik. Agar bisa menjemput si bungsu untuk pulang bersama.

Bocah perempuan itu bercerita tentang sekolahnya hari ini. Najwa sangat bahagia karena nilainya selalu lebih bagus dari teman-temannya. Marisa terharu. Bulian yang selalu dilontarkan oleh teman-teman Najwa, tak membuat adiknya patah semangat dan bermuram durja. Najwa tumbuh ceria meski tidak ada sosok ayah yang mendampingi. Tidak seperti Ziyan yang sekarang menjadi pendiam setelah ayah mereka tiada.

Bunyi klakson yang begitu dekat membuat Marisa dan Najwa menoleh.

"Om," teriak Najwa saat melihat seorang laki-laki yang berkacamata hitam membuka jendela mobilnya.

Marisa tak kalah kaget saat melihatnya. Sedangkan Aksara sudah lebih dulu kaget ketika iseng lewat jalan itu lagi dan melihat gadis kecil yang kemarin ditolongnya sedang bergandengan tangan dengan seseorang yang menarik perhatiannya akhir-akhir ini. Makanya ia memelankan kendaraan dan mengikuti.

"Mbak, Om itu yang kemarin menolongku," kata Najwa.

"Oh ya?" Marisa berhenti. Begitu juga dengan Aksara yang menghentikan kendaraannya. Gadis itu menggandeng sang adik untuk menghampiri Aksara.

"Mas, makasih ya. Kemarin nganterin adik saya pulang."

"Nggak apa-apa. Itu kebetulan saja karena saya lewat sini. Tak menyangka juga kita bertemu beberapa kali, kan."

Marisa mengangguk sambil tersenyum. Kemudian memerhatikan ke dalam mobil Aksara. "Loh, adik kecil tadi mana?"

"Sudah saya antar pulang ke rumah ibunya. Dia anak dari kakak saya."

"Oh ...," jawab Marisa sambil mengangguk.

"Mari pulang bareng saya. Rumah kamu gang depan sana, kan?"

"Enggak usah, terima kasih. Udah deket kok," tolak Marisa sopan.

"Naiklah. Aku lewat sana juga nanti." Aksara membuka pintu mobilnya. Marisa masih termangu karena merasa asing dengan Aksara. Walaupun beberapa kali sempat bertemu, tapi itu pertemuan yang tidak sengaja.

"Ayolah! Kenapa ragu. Apa aku terlihat seperti orang jahat?"

Marisa tersenyum. Zaman sekarang ini buaya pun terlihat sangat atletis dan tampan. Banyak uang pula. Seperti bosnya yang terlihat dingin dan seperti enggan menatap perempuan lain, nyatanya punya pemikiran konyol ingin menjadikannya wanita simpanan.

"Oke, saya nggak maksa. Kalau boleh tahu namamu siapa?"

"Marisa."

Oh jadi ini kakak yang kemarin disebut oleh gadis kecil itu. Gadis kecil yang sekarang menatapnya kagum.

"Nanti kalau kita nggak sengaja bertemu, saya akan menyapamu."

Marisa mengangguk. Kemudian izin jalan dulu bersama sang adik. Seperti kemarin, Aksara mengikuti hingga kedua kakak beradik itu sampai di gang rumah mereka.

"Terima kasih, Mas," ucap Marisa ketika mereka berpisah di depan gang.

Aksara mengangguk lantas melaju pergi. Marisa menepuk jidatnya sendiri, kenapa ia lupa menanyakan nama pria itu?

***LS***

Malam itu Aksara duduk menonton televisi berdua bersama sang mama. Awalnya Bu Arum bertanya mengenai sang cucu yang tadi diajak jalan oleh putranya.

"Besok Mbak Mahika ke sini, Ma."

"Iya, tadi dia sudah menelepon. Mama bilang kalau siang mau ada pengajian ibu-ibu di rumah kita."

"Mama, serius mau melamar Hafsah?" tanya Aksara tidak sabar setelah beberapa hari ini tidak sempat menanyakan pada sang mama.

"Sebenarnya sejak dulu mama dan papamu nggak pernah ikut campur soal gadis mana yang ingin kalian pilih sebagai istri. Mama nggak pilih-pilih menantu, Sa. Tapi sekarang mama kepikiran karena mama makin tua dan kamu nggak segera menikah. Udah beberapa tahun ini nggak pernah kamu kenalkan seorang perempuan pada mama."

Bu Arum diam mengambil jeda, kemudian kembali bicara. "Hafsah gadis yang baik. Kita juga berhutang budi pada keluarga Pak Abdul Qodir. Mereka yang banyak berjasa pada kita saja merendah bilang ingin mengambilmu sebagai menantu, apa kita tega menolaknya? Mereka nggak mempermasalahkan kasus yang menimpa keluarga kita."

Hening.

Aksara menatap lurus ke layar televisi. Lawakan konyol di sana tak bisa memancing tawanya. Hatinya dalam dilema. Orang bilang 'tresno jalaran soko kulino'. Apa itu berlaku baginya?

Setelah patah hati dari Delia, Aksara mencoba menjalin hubungan dengan gadis lain. Nyatanya cinta tetap tidak bisa dipaksa. Dan dia tidak ingin pada akhirnya akan melukai Hafsah.

Sementara sekarang ada sosok lain yang kembali bisa mengetuk hatinya setelah kehilangan Delia. Walaupun dia belum mengenal baik siapa gadis itu. Dan tidak tahu apakah dia juga punya rasa yang sama atau tidak. Namun Aksara tidak ingin melukai perempuan lagi setelah ia putus dengan kekasihnya. Bagi Aksara, cinta itu diperlukan untuk memulai sebuah hubungan.

Semalaman Aksara nyaris tidak bisa tidur. Ia kepikiran percakapan dengan sang mama. Benarkah ini titik final dia harus menyerah?

***LS***

Matahari pagi telah beranjak naik. Aksara bermandi keringat setelah joging di halaman samping rumahnya.

Sesekali ia tersenyum dan menyapa ramah pada tetangga yang datang untuk membantu mamanya memasak di dapur. Sudah dua tahunan ini para tetangga bersikap seperti biasa lagi setelah kasus Johan tujuh tahun yang lalu.

Dia memandang mobil Mahika yang memasuki halaman rumah. Setelah mobil berhenti Aksara mendekat. Membuka pintu untuk menyambut jagoan kecil yang selalu lengket dengannya.

"Aksa, nanti kalau ada yang nganterin kue panggil Mbak di belakang, ya. Kemarin Mbak pesen kue dan langsung Mbak suruh antar ke rumah mama." Mahika bicara pada Aksara.

"Ya, Mbak."

Mahika dan ART-nya yang ikut serta langsung masuk ke dalam rumah. Aksara bermain dengan Ubaidillah di halaman.

Tidak lama kemudian datang sepeda motor yang membawa kardus besar di boncengan. Aksara kaget saat gadis itu membuka helm. Marisa tersenyum ramah dan menyapanya. "Mas, ini rumah, Mas?" tanya Marisa sambil turun dari motor.

Aksara tersenyum. "Ya."

"Saya mau nganterin pesenan kue atas nama Bu Mahika."

"Iya. Dia kakak saya." Aksara memanggil Mbak Siti yang ada di samping rumah untuk memanggilkan Mahika.

Wanita itu keluar dan memberikan pembayaran pada Marisa. Mbak Siti yang membantu Mahika mengangkat kardus masuk ke dalam rumah.

Aksara menahan dan mengajak Marisa berbincang-bincang sejenak. Dari sini akhirnya dia tahu Marisa kerja di mana. Dia gadis yang sopan dan gampang bergaul. Ubaidillah juga akrab dengannya.

Tak lama kemudian datang Bu Abdul bersama dengan Hafsah. Gadis bertudung cokelat itu tersenyum ramah pada Aksara dan Marisa.

"Ubed, sini. Tante punya cokelat untukmu," panggil Hafsah pada Ubaidillah yang langsung berlari menghampiri.

* * *

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Diajheng Widia
kebetulan yang kebangetan yaaa... terus terusan ketemuu jodoh kali yaa🫣
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
harusnya bu Arum gk maksain Aksara buat menerima perjodohan. apalagi klo niatnya gk enk hati dan balas budi.
goodnovel comment avatar
Barra
bu Arum jangan memaksa gaya karena tak enak hati dan balas budi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status