Share

Part 6 Mulai Dekat

Hafsah berjongkok sambil memberikan sebatang cokelat pada bocah kecil yang menggemaskan di depannya. Sekilas dia memandang Marisa yang duduk tak jauh dari Aksara.

Marisa sendiri segera bangkit dari duduknya. "Maaf, Mas. Saya permisi dulu ya. Tolong sampaikan ucapan terima kasih saya pada mbaknya tadi."

Meski tak rela Marisa pergi secepat itu, tapi Aksara hanya bisa mengangguk dan memerhatikan Marisa yang tengah memakai helmnya.

"Mari, Mbak." Marisa mengangguk sopan pada Hafsah. Gadis berjilbab itu tersenyum sambil mengangguk juga. Marisa pergi mengendarai motor matic-nya.

Setelah memberikan cokelat, Hafsah kembali berdiri. Tersenyum sebentar pada Aksara kemudian masuk rumah lewat pintu samping. Dalam hati sempat bertanya-tanya tentang gadis cantik yang duduk bersama Aksara. Rasa nyeri sangat terasa di lubuk hati. Apakah dia kekasih pria yang dikagumi diam-diam? Namun akhirnya lega setelah mendengar dari Mbak Siti, bahwa gadis tadi hanya pengantar kue.

Sementara Aksara masih menemani Ubaidillah makan cokelat. Pandangannya bergantian antara sang keponakan dan jalan depan rumah, di mana Marisa pergi bersama motornya.

Dalam perjalanan pulang, Marisa baru ingat kalau belum tahu nama laki-laki tadi. Bodohnya kenapa tak bertanya? Dibalik kaca helm-nya gadis itu tersenyum. "Dia pria yang sangat menarik. Tapi apa gadis tadi kekasihnya? Sepertinya bukan. Laki-laki itu bersikap sangat biasa dengan kedatangannya." Marisa berspekulasi sendiri.

***LS***

Acara pengajian ibu-ibu muslimah di rumah Bu Arum berjalan lancar dan hampir semua anggota pengajian bisa hadir siang itu. Mahika sendiri tidak canggung berinteraksi dengan mereka. Tak peduli mereka berpikir apa tentang dirinya dan Johan. Yang penting tetap menjaga sikap dan bersilaturahmi dengan tetangga sang mertua.

"Mbak, kenal gadis yang nganterin kue tadi?" tanya Aksara pelan setelah duduk di karpet sebelah Mahika yang sedang memangku Ubaidillah.

Malam itu Mahika memang menginap di sana. Besok pagi-pagi baru pulang.

"Enggak, sih. Yang kenal itu si mbak yang jagain Ubed. Mereka tetanggaan. Dari dia Mbak bisa pesan kue ke ibunya gadis tadi. Kalau nggak salah gadis itu namanya Marisa."

Aksara mengangguk. "Ya, namanya Marisa."

"Kamu kenal dia?"

"Belum lama kenal."

"Kamu suka dia?" Selidik sang kakak ipar sambil tersenyum. Mahika sudah berpengalaman membaca bahasa tubuh orang yang tengah kasmaran. Apalagi terlihat sikap Aksara yang berbeda.

Aksara menatap kakaknya sejenak kemudian beralih ke layar televisi. "Dia punya pacar?"

"Mana Mbak tahu, Sa." Kemudian Mahika menoleh ke arah dapur. Wanita itu berteriak memanggil asisten rumah tangganya yang sedang membantu Mbak Siti membereskan dapur. Saat itu Bu Arum masih salat isya di kamarnya.

"Mbak, duduk sini. Adikku mau tahu tentang Marisa."

Aksara tidak membantah. Dia tetap tenang dan tidak merasa malu.

"O, Mbak Marisa. Dia tetangga saya, Mas. Ibunya yang melayani pesanan kue. Kalau Mbak Marisa sendiri kerja di sebuah perusahaan, tapi saya nggak tahu di perusahaan apa." Si mbak diam sejenak sebelum melanjutkan bicara. "Mbak Marisa ini seperti jadi tulang punggung keluarga sekarang karena bapaknya sudah meninggal dan ketiga adiknya masih butuh biaya. Ketiganya masih sekolah."

"Umurnya berapa dia, Mbak?" Mahika yang bertanya.

"Seumuran adik bungsu saya. Dua puluh enam. Mereka dulu teman sekolah. Tapi adik saya sudah nikah dan punya anak."

"Marisa punya pacar, Mbak?"

Si mbak menggeleng. "Saya nggak tahu, Mas. Yang saya tahu pacarnya akan nikah nggak lama lagi. Nikah dengan gadis lain pilihan orang tua cowok itu."

Mendengar keterangan dari si mbak, perasaan Aksara jauh masuk ke dalam. Rasa tertarik, simpatik, dan kagum berkumpul jadi satu. Marisa terlihat memang sangat berbeda di matanya.

Setelah Mbak pergi, Mahika memandang sang adik ipar. "Gimana? Kamu suka dia?" Tanpa tedeng aling-aling, Mahika langsung to the point bertanya pada Aksara. Wanita itu bisa melihat ada kobaran cinta di mata adik iparnya. Kobar yang telah lama padam. Selama mereka kembali berhubungan baik, Mahika baru kali ini merasakan kalau Aksara sedang kembali jatuh cinta.

Tanpa berpikir lama, pria itu langsung mengangguk pasti. Cerita tentang Marisa tidak menghalanginya untuk mendekati gadis itu.

"Bagaimana dengan Hafsah? Mama sudah berencana untuk melamarnya untukmu."

"Kami belum ada pembicaraan serius mengenai rencana perjodohan itu. Aku juga merasa nggak sepadan dengan keluarga mereka, meski mereka telah memberikan kesempatan. Nanti aku akan bicara sama mama. Hafsah jauh diatasku, Mbak. Aku merasa nggak pantas saja. Sebagai pemimpin rumah tangga, aku merasa rendah jika dia terlalu sempurna."

Mahika mengangguk-angguk. Dia paham maksud adik iparnya.

"Tapi kamu sudah mendengar tentang Marisa yang memiliki banyak beban, kan? Dia punya tanggungjawab terhadap keluarganya. Dia yang paling sulung dan menjadi tumpuan ibunya saat ini."

"Aku paham," jawab Aksara cepat. Selama ini dia banyak berkecimpung di yayasan. Uangnya sudah berapa saja yang ia gunakan untuk keperluan anak-anak di sana. Jadi permasalahan Marisa tidak mengagetkannya. Ia percaya rezeki sudah diatur oleh Allah. Selagi mau berusaha, jalan keluar pasti ada.

Setelah banyak hal ia alami dan terjadi dalam keluarganya. Aksara bisa mengambil inti pehamaan dari apapun yang telah berlaku dan sedang dihadapi.

"Bicarakan dengan mama secara baik-baik, Sa. Mbak yakin, apa yang kamu putuskan tentu telah kamu pertimbangkan."

"Oke."

Sekarang butuh mencari waktu yang tepat untuk bicara dengan sang mama. Memilih kata-kata yang tidak menyakiti tentunya. Semoga mamanya mengerti dan tidak kecewa.

***LS***

Di kamarnya Marisa berbaring sambil menatap tembok depannya. Hingga jam sebelas malam dia belum bisa terlelap. Sosok Aksara memenuhi ruang hatinya.

"Hati, tolonglah jangan jatuh cinta pada seorang yang mungkin tidak bisa aku miliki lagi. Tolonglah, aku masih ingin sendiri. Aku tak ingin kembali patah hati," batin Marisa sambil tangannya meremas dada.

Pikiran Marisa bergolak. Antara Aksara yang menarik baginya dan Daniel yang bersikap konyol padanya.

Tidak munafik dia butuh uang. Namun Marisa bisa berpikir jernih. Diberi uang tentu minta imbalannya. Dia makin merinding saat membayangkan imbalan apa yang harus diberikan. Bukan hanya sekedar menerima ajakannya untuk berkencan, tapi lebih dari itu. Tidak. Demi uang ia tidak akan menghalalkan banyak cara. Dia tidak ingin kehilangan kehormatan yang ia jaga selama ini.

"Mbak," panggil Ulfa lirih.

"Mbak Risa, sudah tidur?" tanya sang adik.

"Belum. Ada apa?" Marisa membalikkan badan. Kedua kakak beradik itu sekarang sama-sama terlentang menatap langit-langit kamar.

"Gimana kalau aku berhenti kuliah saja."

Marisa kaget kemudian menoleh pada Ulfa. "Kenapa?"

"Aku kasihan sama, Mbak Risa, sama ibu. Biarlah aku berhenti kuliah dan bekerja. Jadi buruh pabrik juga nggak apa-apa, supaya bisa bantu nyekolahin Ziyan dan Najwa. Aku nggak bisa lagi ngandelin beasiswa karena tahun depan mungkin aku nggak dapat lagi. Nilaiku menurun akhir-akhir ini. Aku nggak bisa konsentrasi belajar dengan situasi seperti ini."

Hening.

"Jangan berhenti, Ul. Mbak berharap setelah lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sekedar buruh pabrik, kamu bisa bantuin membiayai sekolah dua adik kita," ucap Marisa setelah beberapa saat diam.

"Tapi masih lama, Mbak. Aku baru masuk semester empat."

"Sudahlah kamu bertahan saja dulu. Kamu juga sambil kerja. Gajimu bisa untuk transportasi dan membeli buku." Marisa tidak sampai hati membiarkan adiknya berhenti kuliah. Sebab Ulfa pun juga bekerja dan jualan online. Kalau di rumah juga membantu ibu. Dia bukan pemalas dan rela mengorbankan masa-masa remajanya untuk membantu di rumah. Masih mendingan Marisa. Sesekali bisa nonton bersama Ari.

Ulfa akhirnya mengangguk pelan. Meski sebenarnya dia dihadapkan pada dua pilihan. Rasanya sangat berat jika drop out. Tapi di sisi lain dia iba pada kakak dan ibunya. Karena beban itu, sang kakak harus merelakan kekasihnya menikah dengan gadis lain.

"Tidurlah, besok pagi kita bantuin ibu goreng pastel."

"Ya, Mbak."

***LS***

Marisa gelisah di mejanya. Hari ini Mbak Tari sudah masuk kerja. Jadi semua tanggung jawab sudah diambil alih olehnya. Marisa tidak punya kesempatan untuk bicara dengan si bos. Bagaimana bisa bicara dengan Daniel untuk mengembalikan uangnya. Mencari tahu rekening pria itu hanya akan menimbulkan permasalahan.

Yang pasti staff payroll tahu rekening bosnya. Dia yang memegang semua rekening para karyawan. Tentu salah satu rekening milik Daniel pihak staff payroll pasti tahu.

Marisa benar-benar tidak tenang. Walaupun saat lewat di depan mejanya tadi pria itu tidak menoleh sama sekali. Sok tak peduli. Justru malah membuat gadis itu kelimpungan.

[Kenapa kamu gelisah?] Sebuah pesan masuk dari Daniel. Pesan sok tahu tentang apa yang dirasakan Marisa.

Dengan cepat Marisa mengetik balasan. [Maaf, saya mau mengembalikan uang, Pak Daniel. Saya tidak bisa menerima uang pemberian, Bapak.]

[Kenapa?]

[Karena saya tidak bisa menerimanya. Uang itu bukan hak saya.]

[Kamu takut saya meminta imbalan? Kamu takut saya menuntut sesuatu darimu?]

[Maaf, Pak. Saya ingin mengembalikan uang itu. Kirimkan nomer rekening milik Pak Daniel. Saya akan transfer balik uangnya.]

Satu menit, dua menit, hingga hampir lima menit ia menunggu tapi tidak ada balasan dari bosnya. Padahal Daniel masih dalam keadaan online. Marisa gelisah sambil mengetik di keyboard komputer dan memperhatikan layar bening di depannya. Pekerjaannya butuh konsentrasi dan harus dikerjakan dengan cepat. Namun permasalahan dengan Daniel mengganggu pikirannya.

Tidak lama kemudian Daniel lewat depan meja kerjanya sambil mengancingkan jas hitam yang dipakai. Tak sedikit pun pria itu menatap ke arahnya. Marisa makin gusar.

"Sssttt, bagaimana?" tanya Ari lirih sambil melonggok dari batas sekat meja kerjanya. Setelah memastikan si bos masuk ke dalam lift.

Marisa menggeleng sambil menunjukkan chat-nya dengan Daniel. Ari membaca sejenak kemudian mengembalikan ponsel temannya.

"Mbak Tari tadi membookingkan tiket pesawat untuk Pak Daniel. Katanya beliau akan ke Balikpapan selama dua mingguan." Ari bicara sangat lirih.

"Oh ya?"

Ari mengangguk, kemudian kembali duduk. Bukan waktu yang tepat untuk membahas hal itu dengan sahabatnya. Takut di dengar oleh rekan sebelahnya.

Sambil bekerja, Marisa memperhatikan ponselnya. Tak ada pesan lagi dari Daniel. Dia sendiri tidak berani mengirimkan pesan lebih dulu, takut berada di situasi yang tidak tepat.

Jika mengembalikan secara tunai juga kesulitan kapan akan memberikan uang sebanyak itu. Marisa dilema. Namun dia punya waktu dua minggu ini untuk mencari solusi.

***LS***

Matahari sore nyaris tenggelam di langit barat. Lampu-lampu kota juga telah menyala. Marisa masih duduk di halte untuk menunggu angkutan umum. Dari sekian angkot yang berhenti, tidak ada yang menuju ke rumahnya.

Mungkin Ari yang pulang dengan motornya telah sampai di rumah. Alamat mereka memang berlawanan arah, makanya tidak bisa saling berboncengan.

Marisa mengambil ponsel untuk menghubungi ojek online. Duduk menunggu di sana hanya membuang waktunya saja.

Belum sempat ia mengirimkan pesan lewat aplikasi, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya. Marisa berdecak lirih. Kenapa mobil itu harus parkir tepat di depannya yang menghalangi pandangannya pada angkot yang lewat.

Kaca pintu mobil di turunkan. Sosok laki-laki tampak melongok dari dalam. "Marisa, mari kuantarkan pulang," teriaknya.

Marisa kaget melihat Aksara yang telah tersenyum padanya. Hatinya mendadak lega sekaligus bahagia. Namun masih sungkan jika harus menerima tawaran pria yang baru ia kenal. "Makasih, Mas. Saya ngrepotin nanti. Biar saya naik angkot saja," tolaknya.

Aksara turun dari mobilnya dan menghampiri Marisa. "Nggak apa-apa. Aku juga mau ke rumah kamu. Mau pesan kue untuk acara anak-anak di yayasan minggu depan."

Gadis itu seketika berbinar. Orderan adalah rezeki yang tidak boleh ditolak. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Marisa menerima tumpangan dari Aksara dan dia memilih duduk di bangku tengah daripada duduk di samping pria itu.

Sebentar saja mereka bisa berbincang dengan akrab. Marisa gadis yang sangat ramah dan menyenangkan. Nalurinya mengatakan, Aksara bukan seperti pria yang memanfaatkan keadaan. Dia sopan dan tidak banyak bicara.

Mobil berhenti di ujung gang. Keduanya turun dan berjalan kaki hingga ke rumah. Bu Rahmi kaget saat putri sulungnya pulang bersama seorang laki-laki.

Aksara dengan sopan memperkenalkan diri. Marisa juga memberitahu kalau pria ini adik dari wanita yang tempo hari memesan kue yang di antarnya Minggu pagi.

"Kamu buatin minum dulu, Ris," suruh Bu Rahmi pada Marisa. Beliau sendiri pamit pada Aksara karena hendak menunaikan salat Maghrib.

Gadis itu segera melangkah ke dapur. Rumahnya sepi karena Ziyan dan Najwa biasanya masih ada di mushola setelah mengaji hingga selesai salat Maghrib. Sedangkan Ulfa baru pulang dari kerja part time-nya nanti jam setengah delapan.

Di ruang tamu, Aksara memperhatikan rumah yang jauh lebih kecil dari rumahnya. Tapi sangat bersih dan rapi. Di depan rumah ada pohon mangga yang rindang. Juga ada tanaman obat dan bunga. Membuat rumah sederhana itu tampak sejuk dan teduh.

Bermula dari pertemuan sore itu, hubungan mereka menjadi lebih akrab. Seminggu setelahnya Aksara sering mengirimkan pesan pada Marisa untuk bertanya kabar. Mereka juga sharing tentang beberapa hal. Perbedaan usia delapan tahun membuat Marisa menemukan sosok yang mengayomi.

***LS***

Pagi itu Marisa telah bersiap di kamarnya dengan dandanan yang berbeda. Hari Minggu ini adalah hari pernikahannya Dimas. Meski bilang tidak apa-apa, nyatanya dadanya bergejolak hebat. Rasa sakit dan sedihnya kembali terasa.

"Nggak usah pergi deh, kalau Mbak Risa nggak sanggup," kata Ulfa khawatir saat melihat sang kakak diam di depan cermin.

"Mbak tetap akan pergi, Ul. Tadi sudah janjian sama Ari."

"Mbak Risa, naik apa? Masa mau naik angkot dandan cakep begini?"

"Naik taksi saja nanti."

"Kenapa nggak minta tolong di anterin sama calon pacar Mbak itu?" goda Ulfa sambil tersenyum pada kakaknya.

"Siapa?"

"Mas Aksara."

"Dia bukan pacar Mbak."

"Iya, tadi kubilang kan calon pacar."

"Bisa aja kamu," jawab Marisa kemudian disambut tawa oleh adiknya.

"Mbak, ponselmu bunyi itu!" tunjuk Ulfa pada benda pipih yang berpendar di atas meja.

* * *

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
ciiia.. diem diem Marissa n Aksara saling suka hanya belum mengakuinya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status