Share

Part 4 Pertemuan

"Aksara." Aksara menyebutkan namanya saat bersalaman dengan Daniel di sebuah ruangan ukuran empat kali tiga meter yang di fungsikan sebagai kantor di yayasan.

"Anda, pengurus juga di sini?" tanya Daniel setelah mereka duduk. Agus datang membawakan tiga botol minuman dingin.

"Saya hanya membantu Mas Agus mengelola tempat ini, mencarikan donatur dan mengurus sesuatu yang saya mampu. Untuk kepengurusan mutlak ada di tangan teman saya, Pak Daniel." Aksara menjelaskan.

Agus yang baru duduk itu menatap teman dekatnya. Laki-laki pendiam dengan jiwa kepedulian yang tinggi. Aksara terlalu merendah. Padahal dia punya andil besar untuk mengurusi dan mencarikan donatur tetap yayasan.

Daniel mengangguk-angguk sambil memperhatikan keluar dari jendela kaca. Tadi waktu ia baru masuk, tampak ada bangunan yang terbengkalai di samping sebelah kiri. Di pojok ruangan ada kardus-kardus berisi sumbangan buku bacaan yang belum sempat dibuka, karena tempat untuk menyimpan benda itu masih belum selesai di bangun.

"Saya lihat ada bangunan yang terbengkalai."

"Ya, kami kekurangan dana. Kalau untuk sumber daya manusianya kami mendapatkan banyak bantuan sukarela dari teman dan anak-anak kuliah. Tapi Alhamdulillah, untuk makan, pakaian, dan obat-obatan kami nggak pernah kekurangan. Selalu saja ada rezeki yang datang. Memang untuk tempat bacaan yang sedang kami bangun ini, sementara dihentikan. Dana masih kami gunakan untuk keperluan yang lebih penting." Aksara yang menjelaskan karena Agus kembali keluar saat ada tamu lain yang datang. Selain mengurusi yayasan, Agus juga seorang aktivis lingkungan.

"Oke. Saya akan mendanai pembangunan ruang bacaan itu sampai final."

Aksara tersenyum lega. Dia dan Agus mendapatkan jalan keluar. Untuk menerima dana sumbangan, Aksara mempersilakan Daniel berhubungan langsung dengan Agus. Dia tidak mengurusi soal keuangan. "Mas Agus yang akan mengurusi soal dana dari donatur, Pak Daniel. Sebab saya sendiri tidak selalu ada di sini."

"Kamu bekerja di mana?" tanya Daniel pada laki-laki yang seumuran dengan adiknya.

Sekilas Aksara menceritakan tentang pekerjaannya di sebuah perusahaan. Dari sini Daniel bisa menilai Aksara itu seperti apa. Laki-laki yang tidak hanya tampan, tapi bersahaja dan tegas.

***LS***

Marisa termenung di dekat jendela kamarnya. Kenyamanan bekerja kini terusik oleh ulah si bos yang makin intens menggodanya. Dia tidak bisa cerita masalah sensitif ini ke ibunya, ke Ulfa, atau ke rekannya yang lain kecuali pada Ari.

"Hati-hati, Ris. Kalau Pak Daniel hanya sekedar bernafsu padamu. Dia akan mencari yang lain setelah kamu tolak. Tapi dia akan terus mengejar jika memang jatuh cinta padamu." Marisa ingat kata-kata Ari tadi siang.

"Kurang apa istrinya. Udah cantik, se*si, dan kaya. Juga telah melahirkan dua anak untuknya."

"Kita nggak tahu apa alasannya jatuh cinta pada perempuan lain selain istrinya. Mungkin dia nggak bahagia, nggak harmonis dengan pasangannya. Atau bisa jadi karena dia memang tipe lelaki buaya."

Marisa merinding mengingat percakapannya dengan Ari tadi. Sudah berapa saja kisah perempuan menjadi selingkuhan dari laki-laki tajir. Entah itu hanya menjadi simpanan atau dinikahi siri. Marisa ngeri menjadi salah satu di antaranya. Semoga imannya dikuatkan, semoga Daniel diberikan kesadaran.

Bagi Marisa laki-laki itu hanya ingin mencari kesenangan dengannya. Berpikir secara logis saja, mana mungkin istrinya yang kaya itu akan ditukar dengan gadis miskin seperti dirinya. Yang jelas Daniel seperti kebanyakan pria kaya, memiliki simpanan di luar sana. Dan Marisa yang menjadi sasarannya.

Kalau harus berhenti kerja karena hal begini, terlalu konyol bagi Marisa. Dia benar-benar butuh pekerjaan dengan gaji lumayan. Semenjak lulus kuliah dia telah bekerja di perusahaan itu hingga sekarang. Tapi baru dua tahun ini Daniel masuk perusahaan setelah kembali dari luar negeri. Laki-laki yang awalnya dingin itu, akhir-akhir ini malah sibuk merayunya. Memang sejak pertama melihat Marisa, Daniel diam-diam memperhatikannya.

Melayani bosnya hanya akan menambah daftar panjang beban hidup Marisa. Mungkin dia akan memiliki banyak uang, tapi harga diri tergadaikan. Belum lagi kalau akhirnya diketahui oleh istri bosnya. Tidak. Menjadi wanita simpanan tak pernah ada dalam kamus hidupnya. Sang ibu juga tidak pernah mengajarinya menjadi wanita perusak. Ibu mengajarinya menjadi perempuan bermartabat.

Istri Daniel bukan wanita sembarangan. Dia anak orang berada. Tentu tidak akan terima suaminya mendua. Meski Daniel bicara dan minta izin baik-baik untuk menikah lagi.

Dilihatnya kembali jarum jam. Dia cemas kalau tiba-tiba Daniel memang benar-benar menjemputnya di depan rumah. Segera dimatikan ponselnya. Kekhawatiran terhadap godaan si bos, membuat Marisa melupakan patah hatinya pada Dimas.

Lamunan Marisa buyar saat pintu kamarnya diketuk dari luar. Gadis itu berdiri dan membuka pintu. Najwa sudah berdiri di sana sambil membawa buku. Kemudian langsung masuk ke kamar kakaknya. Kebetulan malam itu Marisa tidur sendirian. Karena Ulfa tidur di kamar Ziyan. Sedangkan adik lelakinya ikut teman-teman di lingkungan tempat tinggal mereka untuk tidur di masjid. Sebenarnya kedua gadis itu butuh ruang privasi masing-masing. Hanya saja keadaan yang tidak memberikan kesempatan.

"Kamu belum tidur?" tanya Marisa mendekati Najwa.

"Belum, Mbak. Aku punya PR. Tadi nggak sempat ngerjain di tempat les, Mbak ajarin, ya." Najwa menunjukkan buka Bahasa Jawa pada sang kakak.

Marisa mengangguk dan kemudian duduk di atas dipan bersama si bungsu. Selesai mengerjakan PR, Najwa bercerita tentang kejadian tadi sore.

Diusapnya rambut lurus Najwa. Kasihan juga pada adiknya. Sering dibuli oleh teman-temannya. Untung Najwa gadis periang yang tidak peduli dengan ejekan. Makanya dia terus memompa semangat Najwa. Diajari berani dan mandiri. Sebab jika kakak-kakaknya sibuk dengan rutinitas masing-masing. Najwa harus berani sendiri. Les, mengaji, atau belajar kelompok. Ibu mereka hanya menyempatkan untuk mengantar dan menjemput sekolah saja. Apalagi kalau banyak pesanan, sama sekali tidak bisa di ganggu gugat. Ziyan pulang sekolah juga sore, jadi tidak bisa membantu menjemput adiknya.

"Om tadi baik, Mbak. Aku nggak mau di antar tapi dia nemenin aku sampai gang depan." Najwa menceritakan saat ditolong oleh Aksara.

"Kamu harus hati-hati. Ngerti!"

"Hu um, Mbak. Aku juga nggak mau naik mobilnya tadi. Tapi dia sepertinya orang baik."

"Ya, tapi kamu harus tetap hati-hati."

Najwa mengangguk. Marisa sangat khawatir dengan keselamatan si bungsu ini. Apalagi sekarang lagi marak kasus traff!ck!ng.

"Kalau sudah selesai, kamu tidur dulu sana. Biar besok nggak kesiangan. Ibu sudah tidur, kan?"

"Sudah." Najwa turun dari dipan dan melangkah keluar sambil membawa bukunya. Marisa sendiri juga membaringkan tubuh. Lelah. Setelah pulang kerja langsung membantu ibunya menyiapkan pesanan untuk besok pagi.

***LS***

"Assalamu'alaikum."

Terdengar suara salam dari pintu depan. Suara perempuan yang Aksara kenal. Aksara yang masih di kamar segera beranjak ke luar. Mbak Siti tidak ada di dapur, ibunya juga pamit belanja setelah menemaninya sarapan tadi. Terpaksa Aksara yang menemui gadis itu.

"Wa'alaikumsalam," jawab Aksara yang disambut senyum oleh Hafsah yang telah rapi dengan seragam mengajarnya.

"Mas, saya disuruh ibu untuk nganterin kue." Gadis yang tersipu itu mengangsurkan sekotak kue pada Aksara.

"Oh, makasih, Mbak Hafsah. Kebetulan mama saya lagi belanja."

"Iya, nggak apa-apa. Saya pamit dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Hafsah bergegas pergi menuju motornya yang terparkir di luar pagar. Aksara berbalik untuk meletakkan kue di dapur. "Mbak Siti, bilang ke mama kalau ini kue dari Bu Abdul," pesannya pada ART.

"Mbak Hafsah yang nganterin ya, Mas? Saya intip dari samping rumah tadi," ujar Mbak Siti sambil tersenyum. "Cantik kan, Mas? Ibu sudah nggak sabar pengen Mas Aksa segera melamarnya. Ibu sering bilang gitu sama saya."

Aksara hanya tersenyum datar menanggapi omongan Mbak Siti.

"Habis lebaran nanti, ibu ingin melamar Mbak Hafsah."

Kali ini Aksara terkejut. Bagaimana mungkin ibunya mengambil keputusan tanpa persetujuannya. Jujur saja Hafsah memang baik, cantik, dan saleha. Namun baginya, gadis itu pantas mendapatkan pria yang jauh lebih baik darinya. Lagi pula, mau ke mana bahtera rumah tangga akan berlabuh jika tak ada cinta di dalamnya. "Kapan mama bilang begitu, Mbak?"

"Kemarin."

Aksara diam sejenak lalu kembali ke kamar dan bersiap hendak berangkat ke Jember. Nanti sepulang dari mengurus pekerjaan, dia akan mengajak mamanya bicara.

Jalanan dengan kebisingan kendaraan yang berjejalan dan asap yang mencemari kembali di tapaki Aksara. Namun ada hal ganjil yang ia lakukan pagi itu. Memperhatikan setiap penumpang angkutan umum yang lewat di dekat mobilnya. Berharap melihat lagi gadis itu. Konyol, tapi Aksara melakukannya.

Hingga mobil terlepas dari kemacetan, apa yang dicarinya tidak ditemukan. Aksara tersenyum miring, senyum untuk hal baru yang baru saja ia lakukan.

Ketika mobil hendak memasuki gerbang tol, ponsel di sebelahnya berdering. Segera dipakainya bluetooth earphone untuk menerima panggilan.

"Aksara, jangan ke Jember dulu. Sebab besok pihak mereka akan datang ke Surabaya." Big bosnya memberitahu.

"Siap, Pak!" jawab Aksara sambil mengambil celah untuk menepi. Untung saja dia belum masuk gerbang tol. Andai sudah terlanjur, untuk berpatah balik mesti berjalan jauh mencari jalur keluar dulu.

***LS***

Marisa bernapas lega karena beberapa hari ini jadwal Daniel sangat padat. Tidak ada waktu untuk mengacaukan harinya. Dia bisa bekerja dengan tenang. Apalagi hari ini terakhir masuk kerja. Libur dua hari membuatnya terasa bebas. Meski tiap pagi masih mendapatkan tatapan aneh laki-laki itu, tapi setidaknya tidak ada interaksi lama yang membuatnya cemas.

Harapannya semoga Senin nanti Mbak Tari sudah bisa masuk kerja.

"Ris, mau nggak nonton besok siang. Aku punya dua tiket dari kakakku. Dia batal nonton sama suaminya. Tapi kamu sibuk, nggak?"

Marisa tersenyum semringah. Ini kesempatannya untuk refreshing. Sesibuk apapun di rumah, ibunya tak pernah melarang Marisa untuk jalan dengan teman-temannya. Terlebih dengan Ari yang sudah dikenalnya sangat baik. Sang ibu memahami kalau Marisa butuh hiburan setelah disibukkan dengan pekerjaan.

"Nggak. Jam berapa besok?"

"Jam satu siang. Kita ketemuan di Tunjungan Plaza."

"Oke. Eh, tapi kamu ngajak Mas Yoyok, nggak?" Yoyok ini tunangannya Ari.

"Enggak. Dia pulang dari Semarang masih minggu depan."

"Okelah."

***LS***

Sabtu, jam sebelas siang Marisa dan Ari sudah ada di mall. Datang lebih awal sekalian untuk jalan-jalan. Meski tidak berbelanja, tapi cukup terhibur dengan barang yang dipajang manis di setiap etalase toko. Cuci mata istilahnya.

Jam dua belas siang mereka makan bakso di foodcourt. Ketika tengah asyik makan, ada notifikasi masuk di ponsel Marisa. Pemberitahuan bahwa ada transferan masuk ke rekeningnya. Pengirimnya Daniel Dirgantara, S.E., M.M.

Marisa terkejut dan gemetar. Angka fantastis itu ditunjukkannya pada Ari. Membuat gadis itu juga terbelalak kaget. "Gila, Ris. Pak Daniel mengirimimu uang sebanyak itu?"

"Aku takut, Ar. Aku akan mengembalikannya hari Senin nanti."

"Langsung transfer balik saja sekarang."

"Nggak bisa. Nomer rekeningnya tidak tertulis lengkap di sini."

"Kamu telepon dan tanyakan nomer rekeningnya. Bilang kalau kamu nolak pemberiannya. Dia pasti mau sesuatu darimu. Nggak ada pemberian yang gratis Ris untuk kasusmu dengan Pak Daniel."

"Ini hari libur, aku takut ketahuan istrinya nanti."

Di tengah kepanikan dua sahabat itu, tanpa mereka sadari ada sosok yang memperhatikan dari meja lain.

* * *

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nurleny Leny
cerita nya bafud
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
woow kebetulan banget yah. Aksara kerjasama sama Daniel. kebetulan yg amazing
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status