Share

Part 3 Gadis Pemberani

Marisa tercekat. Tubuhnya seolah terpaku di tempat dengan jantung yang berdetak kencang. Nekat benar si bos ini.

"Maaf, Pak. Sa-saya ... saya nggak bisa," jawab gadis itu terbata. Kemudian dengan langkah cepat meninggalkan ruangan sambil membawa berkas laporan di tangan.

Sampai di mejanya pun tubuh Marisa masih gemetar. Daniel mulai melangkah lebih berani lagi. Sekarang mengajaknya nonton, besok entah apalagi. Saat ini dia bisa menolak, tidak tahu kemudian hari nanti. Namun apapun yang terjadi, dia tidak akan meladeni pria beristri itu.

"Sssttt, ngapain kamu? Kaya lihat hantu saja," tegur Ari yang nongol di sampingnya. Marisa menoleh sebentar pada rekannya, kemudian mulai membuka laporan yang harus dibenahi. Jika tidak segera dikerjakan, dia pula yang akan dikerjai oleh bosnya.

"Ada yang salah lagi?" tanya Ari masih penasaran dengan sikap Marisa.

"Nanti saja aku cerita," jawab gadis itu tanpa menoleh. Ari kembali duduk daripada mengundang perhatian staf yang lain.

Sementara di dalam ruangannya, Daniel menatap tajam lurus ke pintu. Di mana Marisa hilang dari pandangannya. Di saat perempuan di luar sana mengejar-ngejar dirinya, meski tahu ia telah beristri. Tapi gadis itu berani sekali menolaknya. Menolak kemewahan yang ia tawarkan. Sejak masih bujangan, mana ada gadis yang mengabaikan pesonanya. Justru berlomba-lomba menarik perhatiannya. Daniel kecewa dengan Marisa, tapi juga tertantang. Perasaannya sudah segila itu.

Daniel berdiri kemudian keluar ruangan. Marisa sama sekali tidak memandang ke arahnya saat ia lewat di depannya. Gadis itu menunduk memperhatikan kertas di meja.

Beberapa langkah kemudian, Daniel berbalik dan kembali menghampiri meja Marisa. "Setelah aku kembali. Laporan ini sudah harus selesai." Daniel berkata dengan nada dingin.

"Ya, Pak," jawab Marisa sambil mengangguk. Mata itu begitu tajam menatap Marisa. Andai ia tidak membuat kesalahan mengenai laporan itu, pasti ia beranikan diri menentang tatapan Daniel. Ingin ditunjukkannya pada pria itu, meski miskin ia punya harga diri.

Daniel melangkah menjauh dan hilang masuk lift. Biasanya kalau suntuk, pria itu akan mendatangi kafe temannya. Duduk di sana menikmati kopi hingga berjam-jam, kalau tidak ada pekerjaan dan meeting penting dengan papanya.

"Kamu kenapa? Ribut lagi sama Shela atau ada masalah di kantor?" tanya Tito pemilik kafe setelah duduk di depan Daniel.

"Aku lebih banyak diam daripada ribut sekarang. Percuma juga bicara. Banyak hal yang membuat kami tak lagi sepaham. Dia nggak pernah minta pendapatku mengenai apapun termasuk urusan anak-anak," jawab Daniel sambil mengaduk kopinya.

"Kasihan anak-anak kalau kalian seperti ini terus. Cobalah ajak dia bicara serius."

"Percuma, ujung-ujungnya pasti berselisih paham. Aku sebenarnya nggak ingin anak-anak diforsir dengan banyaknya kegiatan. Sampai mereka nggak punya waktu untuk bermain. Pokoknya banyak yang membuat kami berselisih paham."

Tito tersenyum. Ternyata berlimpahan harta tak membuat hidup tenang dan bahagia. Daniel dan Shela lahir dari keluarga konglomerat yang bisnis dan hartanya ada di mana-mana. Tapi rumah tangga mereka hanya diwarnai keributan saja, karena sama-sama egois dan merasa punya kuasa. Sama-sama ingin membeli harga diri pasangannya.

"Btw, bagaimana dengan gadis yang kamu ceritakan itu. Staf kamu maksudku."

Daniel tersenyum getir. "Dia menolakku."

Tito tertawa lebar. "Soalnya dia waras, Bro." Tawa Tito makin keras berderai-derai. Sedangkan Daniel hanya diam memperhatikan kopi hitam dalam cangkir. Pemilik kafe itu adalah satu-satunya teman tempat Daniel bisa bicara mengenai banyak hal. Termasuk tentang Marisa. Bahkan niatan konyolnya untuk menjadikan gadis itu sebagai istri kedua juga pernah diutarakan pada Tito.

Satu jam ngobrol dengan rekannya di kafe, Daniel bangkit dari duduknya. Kembali lebih cepat akan lebih baik. Marisa tentu belum selesai membenahi laporan tadi. Bagus kan, dia bisa mengerjai gadis yang dengan berani menolaknya.

"Tumben kamu tergesa-gesa," seloroh Tito yang kembali menghampirinya setelah menerima telepon.

Daniel hanya menjawab dengan bergumam lirih sambil melepaskan jas hitam yang dipakainya.

"Jangan main api. Terbakar baru tau rasa nanti." Tito mengingatkan Daniel sambil mengantar sahabatnya itu hingga ke teras kafe.

"Aku memang ingin terbakar. Hangus sekalian malah lagi bagus."

"Gila kamu, Dan."

Daniel tersenyum getir. Ketika hendak membuka pintu mobil, ponselnya berdering. Ada pesan dari relasi kerja kalau dirinya sedang ditunggu di kantor rekannya itu sekarang. Pria berkemeja biru itu berdecak lirih. Kenapa dia lupa kalau janjian dengan relasinya. Jadi gagal hendak mengerjai Marisa lagi.

***LS***

Perjalanan ke Jember harus ditunda karena ada meeting yang tidak bisa ditinggalkan. Akhirnya setengah hari itu ia duduk di ruang rapat untuk membahas projek baru perusahaan. Namun bayangan perempuan yang dua kali di temuinya dalam dua hari ini mengusik konsentrasinya.

Aksara ingat, gadis yang melamun dalam angkot tadi adalah perempuan yang ditabrak keponakannya kemarin sore di mall. Siapa dia?

Tepat jam sebelas siang Aksara keluar dari ruang meeting. Hari ini dia harus menyediakan shop drawing dan membuat perhitungan konstruksi yang diperlukan untuk projek baru perusahaan. Jadwal kerjanya sangat padat. Di atas meja kerjanya menumpuk beberapa berkas yang harus diperiksanya. Meneliti spesifikasi data butuh konsentrasi, tapi pikirannya pun sedang kalut dengan permintaan sang mama untuk mempertimbangkan Hafsah.

Kyai Abdul Qodir memang sangat berjasa pada keluarganya. Tapi apa itu harus dibalas dengan persetujuan untuk menikahi putrinya? Mereka memang tidak memaksa, tapi dia harus tahu diri juga.

Ponsel di atas meja berdering ketika Aksara baru saja membuka lembar pertama berkas yang hendak di cek. Ada pesan masuk dari Agus.

[Kalau ada waktu, kita ketemuan di yayasan sepulang kerja. Ada donatur yang ingin bertemu.]

[Oke.] balas Aksara kemudian meletakkan ponselnya lagi.

Sosok perempuan cantik di dalam angkutan umum tadi kembali mengusik. Namun berusaha ditepisnya jauh-jauh. Setelah patah hati dengan Delia, tentunya dia tidak ingin mengulang kisah yang sama. Gadis tadi siapa ia pun tidak tahu. Mungkin kekasih orang, tunangan orang, atau parahnya lagi sudah menjadi istri orang.

Aksara mulai berkonsentrasi. Hari ini berkas di atas meja harus selesai diteliti. Supaya tidak harus lembur lagi malam ini. Sore bisa bertemu orang yang dimaksud sahabatnya dan besok bisa berangkat ke Jember untuk menyelesaikan pekerjaan di sana.

Jam tiga sore Aksara sudah keluar dari kantor. Ada urusan ke kantor pajak sebentar, ke yayasan, baru pulang. Namun ia harus menyempatkan diri untuk makan karena tadi belum makan siang.

Mobil meluncur di tengah kesibukan lalu lintas kota, kemudian dia melipir lewat jalan alternatif. Meskipun memutar tak mengapa asal perjalanan lancar.

Beberapa meter di hadapan, ia melihat sekawanan anak kecil sedang bertengkar. Aksara memelankan laju kendaraan. Ada lima orang anak laki-laki dan perempuan sedang menyerang satu anak perempuan. Gadis kecil itu mempertahankan tasnya. Dia sangat berani melawan meski sendirian.

Aksara berhenti dan turun dari kendaraan. Pria itu tergesa menghampiri. Kelima anak-anak itu melangkah pergi sambil terus mengucapkan kata-kata bulian pada gadis kecil yang memakai baju muslimah warna tosca.

"Hei, kamu nggak apa-apa?" tanya Aksara memperhatikan anak yang tengah mengambil bukunya yang jatuh dan memasukkan kembali ke dalam tas.

"Nggak apa-apa," jawabnya tanpa takut meski Aksara asing baginya.

"Kenapa mereka menjahilimu?"

"Sudah biasa mereka membuli saya," jawab gadis kecil itu tenang sambil memandang segerombolan anak-anak yang melangkah menjauh dan sesekali masih mengejeknya dengan menjulurkan lidah.

"Tapi kamu berani melawan tadi."

"Kata Mbak Marisa, saya harus melawan kalau saya nggak salah. Saya nggak boleh takut," jawabnya sambil mendongak memandang Aksara.

"Siapa Mbak Marisa?"

"Kakak saya. Maaf, saya pergi dulu, Om. Terima kasih sudah membantu."

"Aku nggak melakukan apapun tadi."

"Tapi kedatangan Om membuat mereka pergi. Terima kasih!" Anak sekitar umur sepuluh tahun itu berbalik dan hendak melangkah.

"Kamu mau pulang?"

"Ya. Saya tadi pulang dari les."

"Biar kuantar."

"Nggak usah. Terima kasih!" Gadis kecil melangkah menyusuri trotoar. Aksara kembali masuk ke dalam mobil dan mengikutinya. Jalanan itu memang sepi. Walaupun ada kendaraan yang sesekali lewat, tapi mana peduli dengan persekitaran. Buktinya melihat anak-anak bertengkar tadi, pengendara motor yang lewat hanya memperhatikan sekilas saja.

Siapa orang tuanya, kenapa tidak mengantar jemput. Apa mereka tidak khawatir? Gadis kecil itu sangat cantik. Tapi terlihat pemberani.

"Siapa namamu?" teriak Aksara dari dalam mobilnya.

"Najwa."

"Rumahmu masih jauh?"

Najwa mengangguk.

"Masuklah ke dalam mobilku. Aku akan mengantarmu."

Gadis kecil itu menggeleng.

"Aku bukan orang jahat!"

"Ya, saya tahu. Tapi saya sudah biasa jalan kaki. Kenapa Om nggak pergi saja?"

"Aku akan mengantarmu sampai di rumah."

Najwa mempercepat jalannya. Aksara masih terus mengikuti hingga anak itu berhenti di depan sebuah gang. "Saya sudah sampai. Terima kasih, Om."

"Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya!"

"Ya." Setelah menjawab, Najwa berlari masuk ke dalam gang yang mungkin hanya muat satu mobil saja.

Aksara baru pergi saat gadis kecil itu menoleh ke arahnya kemudian hilang masuk halaman sebuah rumah. "Anak yang cerdas," batin Aksara.

Mobil kembali melaju dan akhirnya berhenti di depan kedai bakso. Ia harus makan karena perutnya sudah tak bisa berkompromi. Tadi hanya sempat sarapan sedikit dan tergesa-gesa karena dia bangun kesiangan.

***LS***

Baru saja Marisa duduk di kursinya, dari arah pintu lift muncul Daniel yang kini hanya memakai kemeja saja. Entah di mana ia melepaskan jas hitamnya tadi. Beruntung sekali ia sudah menyelesaikan pekerjaan itu sebelum bosnya kembali. Daniel memang tidak mengada-ada mencari kesalahannya. Laporan yang ia buat memang perlu pembenahan. Kalau salah menulis satu angka saja, maka keseluruhan harus dibenahi.

"Kamu sudah selesaikan pekerjaanmu?" tanya Daniel berhenti di depan meja Marisa.

"Sudah, Pak. Saya taruh di meja, Bapak," jawab Marisa sopan.

Daniel menuju ke ruangannya. Membuka laporan yang sudah dibenahi Marisa. Tak ada celah untuk mencari kesalahan gadis itu lagi. Semua sudah dibenahi dengan tepat.

Dilihatnya jam tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga lebih lima belas menit. Sore itu dia janjian dengan pengurus yayasan. Sebelum pergi, Daniel meraih gagang telepon dan menghubungi Marisa agar masuk ke dalam ruangannya.

Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Meraih tablet di atas meja, lantas melangkah ke ruangan si bos.

"Apa jadwalku besok?" tanya Daniel setelah Marisa berdiri di hadapannya.

Marisa membacakan senarai jadwal Daniel esok pagi. Cukup padat rupanya. Pria itu juga meminta Marisa membacakan agenda beberapa hari ke depan. Agenda yang telah ditulis oleh sekretaris Daniel sebelum mengambil cuti.

"Ingatkan saya lagi besok."

"Ya, Pak."

"Oke. Malam ini aku tunggu kamu di Cineplex atau aku yang akan menjemputmu?"

Pilihan konyol. Marisa masih diam membalas tatapan pria di depannya. Tenyata Daniel tidak menyerah juga.

"Maaf, Pak. Saya nggak bisa."

"Kamu masih ingin bekerja, kan?"

Marisa mengangguk. Apa jika ia menolak, Daniel akan memecatnya? Berhenti bekerja adalah malapetaka baginya. Belum tentu dalam sebulan ke depan ia akan mendapatkan pekerjaan baru. Apalagi dalam situasi begini. Banyak perusahaan mengurangi tenaga kerjanya. Kalau yang ada saja dikurangi, pasti mereka tidak akan mengambil pekerja baru lagi.

"Apa karena penolakan ini, Pak Daniel akan memecat saya?"

"Kalau kamu mau menerima tawaranku, aku akan memberikan gaji overtime untukmu."

"Maaf, Pak. Saya nggak bisa. Permisi!" Marisa menunduk sopan kemudian berbalik dan keluar ruangan. Walaupun itu dianggap kerja lembur, Marisa tidak akan mengambilnya. Tapi ia lega, karena tidak ada ancaman pemecatan. Walaupun bertahan juga tidak akan lepas dari godaan bosnya sendiri.

Daniel makin geram. Seandainya masih ada waktu, ia ingin mendebat gadis yang berani menolaknya. Sayangnya dia harus segera pergi.

*****

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
Daniel gk menyerah juga y. malah makin berani ngajak Marissa nonton.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status