Share

Part 2 Dilema

"Aksara, Hafsah itu gadis yang baik, Nak. Kita juga sudah kenal baik dengan keluarganya." Bu Arum masih mencoba meluluhkan hati putranya saat mereka tengah makan malam berdua.

"Karena terlalu baik itulah makanya nggak cocok sama aku, Ma. Kasihan dia."

Bu Arum menarik napas dalam-dalam. Entah sudah berapa kali dia membujuk Aksara, tapi pria muda itu tetap pada pendiriannya. Terus sampai kapan siap untuk menikah. Usianya sudah menginjak angka tiga puluh empat tahun. Pekerjaan juga mapan.

Apa kurangnya Hafsah di mata Aksara. Gadis berhijab dan rajin ibadah itu juga cantik dan sopan. Ketika pria lain berlomba untuk mendapatkannya, Aksara justru mundur meski jelas sudah mendapatkan restu. Apa yang ditakutkan Aksara? Masalah finansial dia sudah mapan. Soal ibadah, bukankah mereka bisa belajar bersama-sama. Usia Hafsah sudah cukup matang, dua puluh delapan tahun. Hanya saja dia gadis yang jarang keluar rumah, kecuali mengajar di Madrasah Tsanawiyah dan mengajar mengaji anak-anak tiap sore di TPQ.

"Mama jadi sungkan sama Bu Abdul, Sa. Mereka juga sangat berjasa pada kita." Ucapan Bu Arum membuat Aksara kehilangan selera makan. Nasi yang telah dikunyah, serasa tersekat di tenggorokan. "Mereka orang-orang baik."

Aksara diam sampai habis makanan di piringnya. Tak dipungkiri kalau keluarga Kyai Haji Abdul Qodir memang sangat berjasa pada keluarganya. Terlebih saat sang kakak terjerat kasus hukum. Teman baik papanya itu yang memberikan support disaat satu per satu tetangga, sahabat, bahkan kerabat menjauh.

Namun kenapa harus dia yang dipilih. Kenapa tidak menjodohkan Hafsah dengan sesama guru, penghapal Al Qur'an, anak pondokan, anak kyai yang sudah jelas ilmu agamanya. Kenapa harus dirinya yang salat pun terkadang hampir telat.

"Pikirankanlah, Nak. Apa yang kamu cari dan kamu tunggu. Hafsah gadis yang sempurna," ucap sang mama sebelum Aksara masuk ke dalam kamarnya.

Bertahan sendirian sekian lama bukan karena Aksara mencari yang sempurna. Kalau kesempurnaan yang ditunggu, maka sampai dia menutup mata pun tidak akan pernah menemukannya. Sebab pada dasarnya, pernikahan adalah menyatunya dia jiwa untuk saling menyempurnakan kekurangan dan kelebihan pasangan.

Setelah patah hati demikian dalam, Aksara hanya fokus pada keluarganya, pada kasus sang kakak, dan mendedikasikan diri pada pekerjaan. Terlebih sekarang dia menjabat sebagai site engineering. Waktunya banyak tersita di lapangan untuk mengatur tim yang bekerja. Kalau ada waktu disempatkan nongkrong minum kopi bersama rekan-rekannya atau mengajak Ubaidillah, sang keponakan jalan-jalan di mall. Minum es krim berdua dan membeli mainan. Terkadang juga mengurusi yayasan yang dikelola bersama beberapa temannya.

***LS***

Marisa meletakkan barang belanjaannya di meja dapur. Ulfa, adiknya yang pertama membantunya membongkar barang-barang dari kantung plastik dan menyimpannya di tempat biasa.

"Ibu mana?" tanya Marisa.

"Nganterin bolu ke rumahnya Bu Tirta, Mbak. Najwa yang bantuin," jawab Ulfa sambil memindahkan buah-buahan ke dalam kulkas. Najwa adik bungsu Marisa yang baru berumur sepuluh tahun.

"Budhe Lasmi jadi pulang hari ini?"

"Besok, Mbak. Tadi masih bantuin ibu nyiapin pesanan. Sekarang budhe ada di kamar, salat isya," jawab Ulfa tentang budhenya yang sambang ke rumah mereka sudah tiga hari ini.

"Ya sudah, aku mau mandi dulu." Marisa beranjak ke arah kamarnya untuk mengambil baju ganti.

"Mbak Risa, sudah makan?" tanya Ulfa setengah berteriak. Dijawab Marisa dengan mengacungkan jempolnya.

Rumah itu hanya terdiri dari tiga kamar yang sempit. Satu kamar untuk ibunya dan si bungsu Najwa. Satu kamar untuk Marisa dan Ulfa, satu kamar lagi untuk Ziyan. Satu-satunya anak lelaki di rumah itu. Ziyan umur enam belas tahun dan duduk di bangku SMA.

Kalau Ziyan memilih tidur di sofa atau di musholla. Kamarnya akan di tempati oleh Ulfa.

"Kok kamu malem banget pulangnya, Nduk?" tanya Budhe Lasmi pada Marisa yang baru keluar dari kamar mandi yang letaknya menyatu dengan dapur.

"Iya, Budhe. Tadi sekalian mampir belanja." Marisa duduk di depan wanita sepuh itu. Di kursi meja makan.

Budhe Lasmi menatap lekat sang keponakan. "Usiamu sudah dua puluh enam, Ris. Sudah waktunya kamu memikirkan hidupmu sendiri. Pikirkanlah pernikahanmu."

Marisa tersenyum samar. Kalau boleh jujur, dia pun punya keinginan untuk segera menikah seperti teman-teman lainnya. Bahkan si tembem Ari juga akan menikah tak lama lagi. Dia yang gendut saja akan bersuami, sedangkan dirinya yang cantik dan langsing entah kapan akan menikah. Kekasih pun sekarang juga tidak punya.

"Nantilah, Budhe. Kalau aku menikah sekarang bagaimana adik-adik. Setidaknya biar Ulfa bekerja dulu. Supaya ada yang bantu ibu membiayai Ziyan dan Najwa."

Wanita itu terharu menatap sang keponakan. Semenjak bapaknya meninggal tiga tahun yang lalu, Marisa yang ganti memikul tanggung jawab pada keluarganya. Membiayai sekolah adik-adiknya juga untuk membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hasil dari menerima pesanan kue tidak cukup untuk menutupi kebutuhan pokok mereka. Bayar listrik, iuran warga, biaya kuliah Ulfa, dan uang SPP Ziyan. Kalau Najwa tidak membayar SPP karena masih SD dan sekolah di negeri. Sesekali adiknya itu mendapatkan santunan anak yatim. Bisa membantu untuk membeli perlengkapan sekolah. Pengeluaran yang tak terduga kalau ada kondangan. Hidup bermasyarakat, hal demikian harus tetap diperhatikan. Berapapun sumbangan yang sanggup diberikan oleh orang kecil seperti mereka.

"Tapi kalau nunggu Ulfa selesai kuliah, umurmu dah berapa?"

"Nggak apa-apa, Budhe," jawab Marisa sambil menatap permukaan meja. Bahkan kalau dia tidak menikah demi keluarga, Marisa rela. Sudah sepasrah itu pemikirannya. Apalagi setelah patah hati karena putus dari Dimas. Laki-laki mana yang mau menikahinya sekaligus menerima seluruh keluarganya. Terlebih mau mengerti bahwa Marisa masih harus membantu adik-adiknya.

Dia gadis yang sangat cantik. Banyak yang mendekati, tapi hanya mau Marisa saja. Laki-laki kaya juga menginginkan perempuan yang sejajar dengan mereka. Bukan si miskin seperti Marisa. Kalau pun ada, pasti pria iseng seperti Daniel yang ingin menjadikannya perempuan simpanan.

"Sebenarnya budhe sudah bicara sama ibumu tadi siang. Budhe menyarankan sebaiknya kalian pindah ke desa saja. Tapi ibumu bilang bisa apa di sana karena sudah terbiasa mencari rezeki di kota. Kalau di desa memang kebanyakan kerja di sawah dan kebun," kata Budhe Lasmi setelah beberapa saat terdiam.

"Ibu nggak bisa kerja berat, Budhe. Setelah melahirkan Najwa, ibu sering mengalami turun peranakan kalau kecapekan."

"Iya, serba salah, Ris."

"Nggak apa-apa. Kami bisa bertahan kok di sini. Lagian sejak kecil aku sudah terbiasa di sini. Ulfa juga bisa kerja part time sepulang kuliah. Lumayan bisa untuk uang saku dan fotocopy tugas kuliahnya."

Budhe Lasmi mengangguk dengan netra berkaca-kaca. Seandainya saja ia bisa membantu. Tentu akan meringankan beban keluarga adiknya. Tapi ia sendiri hanya bergantung pada anak-anaknya juga. Sebab hasil panen pun tidak menentu.

"Bagaimana kabarnya Dimas?" tanya wanita itu pada sosok pemuda yang menjadi kekasih Marisa.

"Dia akan menikah bulan depan, Budhe," jawab Marisa sambil menceritakan sekilas tentang hubungannya dengan Dimas yang kandas.

"Jadi kalian putus?"

Marisa mengangguk. Kemudian hening. Seandainya dia bersedia menikah sekarang, pasti dia yang akan menjadi mempelai perempuannya. Walaupun orang tua Dimas kelihatan tidak suka, tapi tidak pernah menentang hubungan mereka. Mimpi Marisa hancur di hari mereka sepakat untuk mengakhiri hubungan.

"Yo wis, yang sabar yo, Nduk. Budhe doain semoga kelak kamu mendapatkan jodoh laki-laki yang bisa membahagiakanmu."

"Aamiin. Makasih, Budhe," jawab Marisa sambil memandang wanita yang wajahnya bak pinang dibelah dua dengan sang ibu.

***LS***

Semenjak Ulfa kuliah, Marisa berangkat ke kantor selalu naik angkot. Kalau terpaksa karena waktunya mepet, baru naik taksi online yang ongkosnya tentu lebih mahal dari kendaraan umum. Motornya dipakai sang adik untuk kuliah. Sedangkan motor butut peninggalan bapaknya, dipakai ibu untuk belanja, mengantarkan adik-adiknya ke sekolah, dan mengantarkan pesanan. Ingin beli cash jelas tidak mungkin, sedangkan dengan cara mengangsur saja mesti mikir-mikir dulu.

Pagi itu di dalam angkot, Marisa merenung menatap jalanan yang selalu bising dengan deru kendaraan yang macet. Namun dari banyaknya pemandangan di luar sana, ia masih bersyukur. Sesusah apapun mereka, adik-adiknya tidak pernah turun ke jalan untuk mengamen dan meninggalkan sekolah. Ternyata masih ada kehidupan di bawah keluarganya. Ibunya selalu bilang, "Jangan lihat atas. Lihatlah ke bawah. Masih banyak yang hidup lebih susah dari kita, Ris. Kita masih beruntung memiliki rumah meski sederhana."

Marisa tidak menyadari, tepat di sebelahnya ada yang sedang memperhatikan dari balik kaca mobilnya. Seorang pria dengan tampang di atas rata-rata. Namun hanya memperhatikan dan tidak berniat membuka kaca.

Tergesa Marisa melangkah menuju kantor setelah turun dari kendaraan umum. Tinggal beberapa menit saja ia harus sampai. Kemacetan tadi membuatnya nyaris terlambat.

Sesampainya di meja kerjanya, gadis itu membenahi pita yang menjadi hiasan blouse-nya. Kemudian merapikan rambutnya dengan sisir kecil yang selalu tersimpan di dalam tas.

Buru-buru dimasukkan sisir warna pink itu ke dalam tas, saat di depannya berdiri tegak pria gagah dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya. "Ke ruanganku sebentar. Laporanmu kemarin masih ada yang salah," ucap Daniel datar, kemudian berlalu pergi ke ruangannya sendiri.

Marisa berdiri kemudian saling pandang dengan Ari di sebelahnya. Meja mereka hanya tersekat papan setinggi dada orang dewasa.

Gadis itu menuju ke ruangan si bos. Perasaan kemarin sudah dibenahinya dengan sempurna. Lalu bagian mana lagi yang salah? Apa itu hanya akal-akalan bosnya saja?

"Kenapa Mbak Tari nggak segera masuk kerja? Sakit apa sih dia?" tanya Marisa dalam hati. Sekretaris bosnya itu memang sudah dua hari ini tidak masuk karena sakit. Kalau ada wanita itu, Marisa hanya akan berurusan dengannya saja. Baru perempuan dengan dua anak itu yang akan berhubungan langsung dengan Daniel.

Berkas diletakkan Daniel tepat di depan Marisa. "Kamu cek lagi. Kamu tahu apa akhibatnya kalau salah dalam membuat laporan keuangan?" tanya pria itu dengan sorot mata tajam.

"Itu akan mempengaruhi terhadap perhitungan pajak, denda yang mesti dibayar, dan proses audit dalam perusahaan nanti," lanjut Daniel.

"Iya, Pak. Saya ngerti," jawab Marisa sambil memperhatikan berkas di depannya. Entah mana yang salah, entah apa yang dipikirkan hingga membuat dirinya melakukan kesalahan. Padahal biasanya juga aman-aman saja walaupun di kepalanya banyak beban.

"Saya akan mengecek dan membenahi segera, Pak." Marisa bangkit sambil membawa laporannya.

"Tunggu," cegah Daniel sambil menegakkan duduknya. Kemudian mengeluarkan dua buah tiket dari saku celananya dan menaruhnya di atas meja. "Saya tunggu kamu di Cineplex jam tujuh malam."

*****

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Siti Untari
cewek harus keukeh
goodnovel comment avatar
Diajheng Widia
makin gencaaar daNiell mendekati marissa
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
serba salah kalo jadi Aksara. nolak sungkan gk nolak hatinya gk mantep sama Hafsah.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status