Share

Di Antara Dua Pilihan
Di Antara Dua Pilihan
Penulis: Lis Susanawati

Part 1 Tawaran Menjadi Istri Kedua

"Kamu mau nggak jadi istri keduaku?" Dengan santainya laki-laki berkemeja biru itu bicara pada gadis di hadapannya.

Marisa terhenyak, tapi tetap berusaha untuk bersikap tenang.

"Kamu akan hidup enak kalau mau jadi perempuan rahasiaku. Kebutuhan kamu akan terpenuhi. Kamu bisa traveling sesukamu dan beli apapun yang kamu mau."

Gadis bermata bening itu tak peduli. Ia terus memastikan si bos tidak salah membubuhkan tanda tangan. Mana peduli dia dengan tawaran b0mbastis itu. "Dasar bos sinting. Apa kamu pikir aku perempuan murahan," gerutu Marisa dalam hati.

"Kamu dengar kan aku ngomong apa?" Si bos tak terima karena tidak ditanggapi oleh salah seorang stafnya. Entah sudah berapa kali merayu, tapi Marisa tak pernah menanggapi. Harga dirinya sebagai lelaki kaya yang disegani karena seorang anak pemilik perusahaan mulai tercabik

"Marisa." Pria itu menatap tajam gadis di depannya.

"Ya, Pak Daniel."

Mereka bersitatap sejenak. Marisa tidak pernah gentar berhadapan dengan laki-laki yang entah sudah berapa kali menawarkan hal paling konyol di dunia ini bagi Marisa. Penawaran yang tidak pernah membuatnya goyah sedikit pun.

"Kamu nggak suka uang?"

"Suka. Saya kerja mati-matian juga karena uang. Saat ini yang paling saya cari adalah uang, Pak."

"Jika kamu menerima tawaranku. Nggak perlu lagi kamu kerja mati-matian. Pagi di kantor, malamnya bantuin bikin kue ibumu. Denganku kamu bisa hidup enak. Bahkan ibumu tak perlu lagi bikin kue lagi. Akan kutanggung semuanya."

Marisa tersenyum samar meski bulu kuduknya merinding. Bosnya itu sungguh gila. "Maaf, tanda tangannya sudah selesai apa belum, Pak?"

"Kamu jawab dulu tawaranku."

Marisa bangkit berdiri. Tetap bersikap sopan lantas pamitan. "Maaf, saya keluar dulu. Nanti saya ke sini lagi untuk mengambil berkas."

Tidak peduli tatap kemarahan pria berjas rapi itu, Marisa segera keluar ruangan. Dia tidak ingin membeku atau parahnya tergoda oleh penawaran bos tampan tapi punya niatan konyol itu. Apalagi sekarang Marisa memang sedang butuh banyak uang.

Baru juga duduk beberapa menit, rekan-rekan yang duduk di ruangan itu pada berdiri karena sudah waktunya jam makan siang. Salah seorang rekan dekatnya menghampiri. "Yuk, kita makan dulu."

Marisa berdiri dan beriringan keluar dengan Ari menuju kantin. "Gajian kita udah masuk hari ini. Kamu jadi belanja, nggak?"

"Jadi. Aku mau nyari kado juga untuk Dimas."

"Kamu serius mau datang ke pernikahannya." Ari menoleh pada sahabatnya. Marisa mengangguk.

"Kamu sanggup?"

"Kenapa enggak?" Marisa tersenyum getir. Dia dan Dimas pernah menjalin hubungan selama empat tahun. Sejak sama-sama masih kuliah. Namun baru dua bulan ini hubungan mereka kandas karena Marisa belum siap jika harus menikah sekarang. Adik-adiknya masih butuh banyak biaya. Bagaimana nasib mereka kalau Marisa menikah? Ibunya tak akan sanggup membiayai sendiri sekolah ketiga adiknya.

Dimas akhirnya dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Orang kaya pasti telah memiliki pilihan sendiri. Tentu dengan gadis yang selevel dengan mereka. Bukan seperti Marisa. Sejak awal hubungan mereka memang tidak direstui. Ketidaksiapan Marisa dimanfaatkan oleh orang tua Dimas untuk segera menikahkan pemuda itu.

Seperti biasa setelah mengambil makanan, Marisa dan Ari memilih tempat duduk paling pinggir dekat jendela. Siang itu matahari bersinar garang membakar bumi Surabaya. Puncak musim kemarau menyebabkan gerah melanda.

Tiba-tiba ponsel Marisa berdering saat tengah asyik mengisi perut.

"Siapa?" tanya Ari saat melihat Marisa bengong menatap ponselnya.

"Pak Daniel."

"Nggak kamu angkat?"

Marisa berdecak lirih. Untuk apa si bosnya itu menelepon di jam istirahat begini. Kalau tidak diangkat takut juga pria arogan itu bakalan murka. Kalau sampai dipecat, di mana lagi ia akan mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar.

"Halo, ya, Pak," jawab Marisa sopan.

"Ke ruangan saya sebentar. Banyak yang harus kamu benahi tentang laporan tadi."

"Iya, Pak. Nanti setelah istirahat saya langsung ke ruangan Pak Daniel."

"Ke sini sekarang!" perintah laki-laki itu kemudian menutup panggilannya. Membuat Marisa berdecak jengkel. Tadi ditunggu tak segera di cek. Malah merayu yang bukan-bukan. Giliran dia istirahat dan makan, disuruh ke ke ruangannya segera.

"Ar, aku dipanggil Pak Daniel. Aku tinggal dulu ya!" Marisa berdiri sambil mengelap mulutnya menggunakan tisu.

"Loh, nasimu nggak kamu habisin dulu?"

"Enggak. Dia menyuruhku ke sana sekarang."

Tergesa Marisa kembali ke kantor lewat pintu samping. Sebab bangunan kantin terpisah di sebelah kiri kantor utama.

"Masuk!" Suara Daniel terdengar setelah Marisa belum selesai mengetuk pintu.

Perlahan di dorongnya pintu yang ada papan namanya. Daniel Dirgantara, S.E., M.M.

Pria itu menyodorkan berkas ke hadapan Marisa yang baru saja duduk. "Kamu cek lagi. Saya ingin sekarang juga selesai."

Marisa memandang sekilas bos killer di depannya. Jengkelnya sudah sampai ke ubun-ubun. Rasanya ingin menangis. Hatinya saat itu sedang kacau karena sang mantan akan menikah, urusan kebutuhan rumah dan adik-adiknya, perutnya juga masih lapar, sekarang malah ditambah dengan pekerjaan yang sebenarnya bisa ditunda sampai jam istirahat selesai.

Perusahaan itu punya aturan. Dan semua orang yang terlibat di dalamnya harus mentaati, termasuk bos. Tapi kenapa pria di depannya ini seenaknya sendiri.

Setelah beberapa saat meneliti, Marisa menemukan kesalahan penulisan desimal dalam laporannya. Seharusnya dia menulis angka 10.000.000, tapi ditulisnya 1.000.000.

"Sudah kamu temukan?"

"Sudah, Pak!"

"Kamu tahu, kesalahan itu membuat laporan tidak akurat dan accountable. Kamu teliti lagi dan benahi semuanya. Di sini!"

"Di sini, Pak?" tanya Marisa bingung.

"Ya, di sini!"

Marisa tak punya pilihan selain mengikuti perintah si bos. Segera ditelitinya kembali laporan yang ia buat.

Risih juga bekerja sambil diperhatikan oleh Daniel. Mau cepat menyelesaikan tapi waktu terasa lambat bergerak. Keterlaluan sekali pria yang satu itu. Marisa menggerutu dalam hati.

Suara ketukan di pintu ruangan sedikit melegakan hatinya. Siapa tahu sekretarisnya memberitahu bahwa Daniel harus meeting atau ada tamu.

Daniel menyuruh orang itu masuk. Ternyata office boy yang membawa dua kotak nasi di dalam tas kresek warna biru.

"Taruh atas meja," perintah Daniel sambil menunjuk meja di samping meja kerjanya. Setelah menaruh kotak, pemuda itu pergi.

"Kita makan dulu!"

Marisa memandang kaget pada si bos yang bangkit dari duduknya dan melangkah menuju sofa. Apa dia harus menuruti ajakan Daniel? Bagaimana kalau ada staf lain yang melihat? Parahnya lagi jika istri pria itu datang dengan tiba-tiba. Terlalu lama di dalam ruangan si bos saja sudah membuatnya ketar-ketir tentang pandangan karyawan lain terhadapnya. Apalagi jika dia kepergok makan bersama.

"Marisa, makan dulu!" Daniel kembali mengajaknya saat melihat Marisa terdiam.

"Maaf, Pak. Saya tadi sudah makan," tolaknya kemudian kembali sibuk dengan pekerjaan. Meski sebenarnya masih merasakan lapar karena hanya makan beberapa suap saja.

Namun bukan Daniel kalau terima saat di bantah. Pria itu berdiri mendekati Marisa. Membuat gadis itu gemetaran. "Makan dulu. Kalau kamu pingsan di sini, orang lain akan beranggapan aku ngapa-ngapain kamu." Satu kotak nasi di letakkan di meja depan Marisa.

Gadis itu berdiri. "Maaf, saya akan makan di luar saja, Pak." Tanpa menunggu jawaban Daniel, Marisa melangkah pergi sambil membawa kotak nasi. Sungguh dia tidak ingin menambah beban hidupnya dengan gunjingan rekan kerja atau bahkan berurusan dengan istri cantik bosnya.

***LS***

Tepat jam empat sore Marisa keluar kantor bersama Ari. Mereka naik angkot dan berhenti di depan sebuah mall. Namun bukannya menyeberang untuk ke pusat perbelanjaan itu, tapi mereka masuk pasar atom. Pasar legendaris di Surabaya. Tempat dengan ciri khas tawar menawarnya antara penjual dan pembeli. Penjual memberi harga setinggi-tingginya sesuai dengan jenis barang, si pembeli akan menawar serendah-rendahnya yang terkadang membuat penjual geleng-geleng kepala. Sebab ditawar jauh dari harga pokok.

Namun tidak dengan Marisa, dia akan tetap sepakat jika dirasanya pantas untuk benda yang dipilih. Pedagang itu juga mencari rezeki dari keuntungan barang dagangannya.

"Habis ini aku ajak kamu makan pizza di ITC," kata Ari sambil menunggu Marisa memilih buah jeruk. Mereka telah selesai belanja. Terakhir membeli buah untuk isi kulkas.

"Nggak usah. Kita makan mie ayam di luar saja."

"Tenang, bulan ini aku nggak banyak kebutuhan. Makanya aku bisa nraktir kamu makan pizza. Sekali-kali nggak apa-apa. Ayolah, aku juga pengen makan pizza. Kamu juga mau nyari kado, kan?" bujuk Ari.

Marisa akhirnya mengangguk.

Setelah membayar buah, mereka keluar pasar, menyeberang menuju mall. Biasanya mereka ke ITC hanya untuk jalan-jalan dan cuci mata. Kalau belanja mereka akan pergi ke pasar, untuk menyesuaikan isi kantong. Di pasar juga lengkap dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Mulai dari bahan makanan, makanan jadi, pakaian, emas, mainan anak-anak, aksesoris, hingga institusi perbankan.

Ketika tengah asyik berjalan hendak menuju lift, Marisa dikejutkan oleh anak kecil yang menabraknya. Bocah laki-laki itu terjatuh tapi tidak menangis.

Marisa meletakkan barang bawaannya ke lantai, kemudian membimbing bocah laki-laki itu berdiri. "Maaf ya, tante nggak sengaja," ucap Marisa sambil tersenyum pada bocah tampan di hadapannya.

"Ubed," panggil lelaki yang menghampirinya.

"Maaf, Pak. Saya nggak sengaja menabrak putra bapak." Marisa merasa tak enak hati dengan laki-laki bertopi yang menghampiri.

"Nggak apa-apa," jawab pria itu sambil tersenyum. Kemudian menggendong bocah yang dipanggilnya Ubed tadi. Setelah itu melangkah pergi.

Ari membantu Marisa membawakan barang belanjaannya. Lantas menaiki eskalator untuk menuju ke arah foodcourt di lantai atas. Ari memesan makanan sedangkan Marisa mencari tempat duduk.

"Ngapain kamu tadi lama banget di ruangan Pak Daniel?"

"Ngerjain laporanku yang salah. Dia minta aku mbenahi berkas di ruangannya."

"Kamu dirayu lagi?"

"Hu um, dasar bos sinting. Dipikirnya aku perempuan gampangan." Marisa kesal ingat kejadian tadi siang. Bukan kali itu saja dia dirayu. Bahkan sudah beberapa kali. Lelaki yang bertampang dingin dan selalu menjaga pandangan dari perempuan di luar sana, nyatanya memberikan penawaran yang mengejutkan bagi Marisa.

"Pak Daniel sepertinya emang jatuh cinta sama kamu. Lihat saja, dia nggak pernah genit dengan siapapun. Partner bisnisnya cantik-cantik lho, tapi dia cool saja. Tapi denganmu dia jatuh cinta."

"Hush, jangan ngomong gitu lagi. Pak Daniel sudah beristri. Kurang apa coba istrinya. Cantik, semampai, kaya pula. Dia hanya mau cari kesenangan di luar, bukan karena jatuh cinta," bantah Marisa. "Tapi dia salah orang jika aku ingin dijadikan sasarannya."

Ari tertawa melihat tampang kesal sahabatnya. Jika bukan Marisa, pasti perempuan itu sudah jatuh dalam pelukan si bos. Daniel tidak hanya kaya, tapi tampangnya luar biasa.

***LS***

Jam delapan malam seorang laki-laki turun dari mobilnya yang sudah masuk garasi. Dia masuk rumah lewat pintu samping. "Assalamu'alaikum," ucapnya.

"Wa'alaikumsalam," jawab seorang wanita tua yang duduk di ruang keluarga. "Loh, mana Ubed?" Wanita bernama Bu Arum itu mencari cucunya.

"Sudah ku antar pulang, Ma. Besok pagi-pagi aku harus berangkat ke Jember. Nggak sempat kalau harus nganterin dia pulang."

"Ya sudah. Tapi mamanya sudah pulang dari kantor, kan?"

Pria bernama Aksara itu mengangguk. Jika ada waktu luang, dia memang akan menyempatkan mengajak sang keponakan jalan-jalan. Pergi ke playground, makan, atau hanya sekedar membeli mainan.

"Aksa, tadi Bu Abdul ketemu mama di pengajian. Dia bicara tentang niatnya yang hendak jodohin kamu dengan Hafsah. Kira-kira kamu gimana?" Bu Arum bicara sangat hati-hati pada putranya.

Hafsah ini putri bungsu Kyai Haji Abdul Qodir. Orang yang sangat berjasa saat keluarganya mendapat musibah besar tujuh tahun yang lalu.

"Jangan, Ma. Hafsah tuh sangat baik. Nggak cocok sama aku. Nanti aku nggak bisa bahagiain dia."

"Tapi, Sa ...."

"Jangan, Ma," tolak Aksara lantas berdiri dan masuk ke kamarnya.

Bu Arum diam menatap putranya yang masuk kamar. Padahal beliau sangat berharap kalau Aksara mau menerima rencana perjodohan itu. Hafsah sendiri telah setuju karena sudah lama menyukai Aksara.

*****

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Mida Daningsih
asikkk ada judul baru lg
goodnovel comment avatar
Anggra
kira² siapa ya cwek yg dsukai Aksa..apa mngkin Marisa nntiny
goodnovel comment avatar
Idadalia Mutiara79
hadiiiirrrr
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status