Setelah menelpon kedua sahabatnya, Danu bergegas keluar kamar menuju dapur, ia hendak mengambil minum. Danu menuruni anak tangga menuju ruang dapur. Sepi, suasana rumah masih sepi. Ini pertama kalinya seorang Danu Herlambang bangun sepagi ini. Dulu, Danu terbiasa bangun jam 09.00 WIB. Setelah berhijrah ia mulai membiasakan bangun pagi untuk shalat Subuh, meskipun telat setidaknya ada perubahan. Setelah shalat subuh biasanya ia tidur lagi. Namun, pagi ini berbeda sekali, Danu bangun lebih dulu dari semua penghuni rumah. Danu meraih gelas kemudian mengisinya dengan air mineral, diteguknya isi gelas itu hingga habis. Ia duduk di kursi meja makan yang ada didapur. Danu melamun."Den, tumben sudah bangun," sapa Pak Kasno menepuk bahu majikan mudanya. "Eh, Pak Kasno. Kaget saya, Pak," balas Danu. Melempar senyum kemudian menunduk. "Tumben Aden jam segini udah bangun, mau ngopi, Den?" tawar pak Kasno pada majikan mudanya. Laki-laki berambut cepak itu menyeduh kopi kemasan. "Nggak ah.
"Gue emang mau merid, tapi bukan sama Hany. Gue punya calon lain. Dia berpuluh kali lipat cantiknya dari Hany. Wajahnya, hatinya, sifatnya...," ungkap Danu sambil tersenyum."Emang ada wanita yang cantiknya melebihi Hany?" tanya Aryo penasaran. "Ya adalah." Danu melempar senyum. "Eh, tapi jelasin dulu siapa dia? Terus kenapa dia minta mahar nasi goreng? Kenapa juga Lu mau nanem padi?" Aryo mencecar Danu. Danu dengan santainya mesem, menanggapi sahabatnya."Dia anak sahabat bokap gue. Dia itu seorang hafidz, kecantikan yang dimilikinya sungguh alami," ungkap Danu mengisahkan Zahra. "Hafiz? Wah, selera Lu berubah. Gue kira Lu suka model cewek kaya Hany." Bola mata Aryo mengerling, menyapu wajah Danu yang tampan rupawan."Hany nggak ada apa-apanya di banding bidadari gue," ucap Danu mantap.Aryo makin penasaran dengan sosok wanita calon istri sahabatnya itu. "Terus kapan Lu merid? Nah apa hubungannya, nasi goreng sama nanem padi?" Aryo terus saja melempar pertanyaan. Danu menarik
"Eh, Nu. Sebenarnya tujuan kita kesawah ngapain, sih? Musim tanam padi kek gini mah pemandangannya jelek, Nu," ungkap Roby sambil merebahkan jok mobil yang ia duduki."Kita mau survei area persawahan, gue ada misi penting," ucap Danu sambil fokus menyetir mobil. "Iya, tapi misi apaan, si? Terus kata si Aryo tadi Lu, mau merid. Nah, apa hubungannya merid sama survei sawah?" tanya Roby ia merebahkan dirinya di jok mobil seperti bos besar menikmati perjalanannya. "Gue mau cari lahan buat nanem padi," ungkap Danu melirik Aryo yang tersenyum simpul. Roby berjingkat langsung duduk ia merasa bingung dengan jawaban Danu. "Eh, Nu. Lu tuh aneh bener, deh. Mau merid, apa nanem padi, sih? Setau gue nih, ya. Orang kalo mau merid, pacaran dulu, tunangan, terus nentuin hari pernikahan, cari area resepsi digedung kek, di luar kek, atau apalah. Ini katanya mau merid, malah survei sawah pake acara mu nanem padi segala. Elu mau merid apa mau jadi petani?" Roby ngomel dan bertanya kepada sahabatnya i
"Nu, kayaknya mending jangan parkir disini, deh. Disana aja yuk, dibawah pohon rindang," ajak Aryo. Aryo menatap Danu aneh, dari tadi Danu tak bergeming, ia larut mengamati kegiatan di area persawahan. "Ternyata begini penampakan area persawahan saat musim tanam," gumam Danu dalam hati. Masih tetap asyik dan fokus mengamati kegiatan di persawahan. "Nu, Danu!" panggil Aryo. Danu tidak menoleh, tetap asyik dengan kegiatannya. "Ya ampun, jangan-jangan kesambet ni anak," tebak Roby menyimpulkan yang terjadi pada sahabatnya itu. "Hus! Sembarang itu mulut." Aryo melirik tajam Roby. Aryo lantas mengguncang bahu Danu perlahan. "Nu, Danu. Hei, sadar, Nu. Sadar!" seru Aryo pelan. "Eh, apaan?" Danu terkejut menoleh kearah Aryo. "Lu kenapa, dipanggil nggak nyaut. Kaya ponsel susah sinyal aja," ucap Aryo menatap aneh terhadap Danu. Danu cengengesan, sambil membenarkan posisi duduknya. "Gue lagi ngamati kegiatan para petani itu," ungkap Danu menunjuk keluar jendela hamparan sawah di sis
"Tidak apa-apa, Pak. Saya ingin belajar menanam padi secara langsung. Jika teori saja, rasanya kurang pas, Pak," ungkap Danu sesaat usai melihat telapak kaki Pak Hasan yang bolong-bolong. Pak Hasan tersenyum melihat api semangat di mata pemuda yang ada dihadapannya itu. "Apa Mas pernah terjun langsung kesawah, atau baru pertama kali, ya?" Pak Hasan tersenyum ramah. "Mau nanam padi pake celana Levis, ya kotor semua to, Le," kata hati Pak Hasan. Danu diam sejenak. "Ini baru pertama kali saya terjun kesawah, Pak. Sebelumnya saya tidak pernah bersinggungan dengan dunia pertanian. Saya ingin belajar, Pak," ucap Danu bersungguh-sungguh sorot matanya seperti memohon penuh hiba. "Mas, mau nanem padi itu, jangan pake celana Levis, soalnya kaki ini nanti tertanam di lumpur sebatas ini," Pak Hasan menunjuk bagian atas mata kakinya. Danu memperhatikan Pak Hasan lalu memandangi celana yang ia pakai. "Oh itu masalahnya. Nggak apa, Pak 'kan kalo kotor bisa dicuci. Ada R*n*o, Pak." Danu terse
Pak Hasan berjalan meninggalkan Danu dan Ambu di gubuk, ia menuju mobil putih yang terparkir dibawah pohon rindang. Ambu menemani Danu yang terkapar di gubuk, ia beranjak mencuci tangannya yang kotor karena lumpur di aliran air selokan yang jernih, lalu kembali lagi ke gubuk dan menuang teh hangat kedalam gelas."Mas, minum dulu ini," ucap Ambu memberikan segelas air teh hangat untuk Danu. Danu merasa tubuhnya lemas sekali, kepalanya pusing bukan main, perutnya pun mual. Danu berusaha bangkit dari rebahan-nya. "Kepala saya pusing, Bu ... maaf ibu siapa?" tanya Danu sambil bersandar di tiang kayu. "Panggil saja saya Ambu," jawab Ambu. "Ini, tehnya ... diminum ...." Ambu menyodorkan segelas teh hangat kepada Danu. Danu merasa tubuhnya gemetar, tangannya tak kuasa mengambil gelas. "Mas, kenapa? Kok gemetaran begitu?" tanya Ambu. Ambu kemudian membantu Danu meraih gelas dan meminumkan nya. "Astaghfirullah! Badan Mas panas banget. Mas sakit ya?" tanya Ambu terperanjat saat menyentu
Aryo mengemudikan mobil Danu perlahan, meskipun Aryo tak memiliki SIM, ia bisa mengendarai mobil. Danu duduk di jok belakang yang setengah direbahkan. Roby duduk di kursi depan dekat sopir. Aryo melajukan mobil pelan mengikuti motor Pak Hasan. "Elu sih, Nu ... pake ngotot terjun kesawah segala. Kalo begini kejadiannya gimana coba? Nu, Lu ... masih mau melanjutkan misi gila ini?" tanya Roby kesal. Danu diam saja duduk setengah rebahan di jok belakang, matanya terpejam. "Coba aja tadi itu Elu nggak nekat terjun kesawah panas-panasan, nggak akan kejadian begini," imbuh Roby menoleh Aryo, sorot mata Roby terlihat emosi. "Eh, Elu bisa diem enggak, sih? Dah tau temen lagi tepar masih aja ngomel. Parah, Lu ... melebihi emak-emak," Aryo kesal kepada Roby. "Eh, Yo. Ini semua nggak akan terjadi kalo Danu nggak nekat menjalankan misi gila ini. Tau sendiri 'kan, dia anak sultan ... sawah itu bukan level dia, Yo," jelas Roby penuh tekanan. "Gue nggak habis pikir deh, bisa-bisanya dia nekat,
Danu merasa ada yang mengganjal di saku celana jeans sebelah kanan. Ia ingat ponselnya pasti yang menimbulkan rasa mengganjal itu. "Ambu, sebentar ... sepertinya ponsel saya mengganjal," ungkap Danu lalu bergerak miring sedikit tangannya meraih ponsel yang ada disaku sebelah kanan kemudian diletakkan di atas kasur lantai. Ambu menghentikan kerikan-nya menunggu Danu mengambil ponsel. "Sudah?" tanya Ambu. Danu mengangguk, dan membenarkan posisi tengkurapnya lagi. Ambu melanjutkan mengerik Danu, dari sisi punggung sebelah kiri lanjut ke sisi punggung sebelah kanan.Ambu selesai mengerik bagian punggung Danu.Punggung, bahu, lengan atas dan leher tak luput dari sasaran kerikan Ambu. "Sakit, Ambu," rintih Danu saat dikerik bagian leher. Ambu lalu memijat leher Danu perlahan, lanjut ke bahu juga. "Coba duduk, Mas!" titah Ambu setelah merasakan suhu tubuh Danu berangsur turun. Danu perlahan telentang, keringat mengucur deras setelah Ambu memijat leher dan bahunya. Danu bangkit dari k