"Ayo masuk, Mas Danu," ajak Pak Husen. "Baik, Pakde, Simbah," Danu bingung hendak memangil dengan sebutan apa. Pak Husen menyunggingkan senyuman lalu menepuk pundak Danu. "Le, nggak usah takut, gugup, ataupun bingung. Panggil saya Bapak, atau Pak'e dan istri saya panggil saja Simbok atau Mbok'e, karena mulai hari ini, kamu sepenuhnya menjadi tanggung jawab kami disini." Laki-laki setengah abad itu berbicara dengan santai dan mantap, penuh karismatik. "Le, ayo barang-barangnya dibawa masuk ke kamarmu, sudah Simbok siapkan," Ibu Aminah keluar memanggil Danu. Danu menoleh kepada ibu Aminah, wanita berbusana khas Jawa itu berusaha menarik koper Danu, namun Danu langsung refleks membantunya. "Biar saya aja, Mbok ... ini berat," ucap Danu meraih kopernya. Pak Husen menatap istrinya dan pemuda kota itu sambil mesem ngguyu. Danu dan Ibu Aminah berjalan menuju sebuah kamar yang sudah dipersiapkan oleh ibu Aminah. "Ini kamarmu, Le. Bajunya bisa dimasukkan ke lemari sini," ucap wanita it
Mau tak mau Danu harus menimba air sumur untuk mengisi bak mandinya. Beberapa kali ia menimba air membuatnya berkeringat, maklum saja dia tak pernah susah selama ini. Usai mengisi bak air, Danu beristirahat sejenak sambil mengusap peluh yang mengucur di dahinya. "Capek nya ngisi bak air mandi. Coba aja di kamar mandi kamarku, tinggal puter langsung mancur," keluhnya lirih. Ia duduk sejenak di teras dapur sambil melepas kaosnya. Danu berpikir sejenak. "Baju ini kalo kotor mau nggak mau, aku yang nyuci juga," pikirnya. Danu menepuk jidatnya. "Sib, nasib! Gini amat sih, mana semuanya masih manual," gerutunya dalam hati. Tiba-tiba ada yang menepuk punggungnya dari belakang. "Katanya mau mandi, kok masih duduk disini?" Suara Pak Husen mengejutkan Danu. Ia spontan menoleh. "Eh, Bapak. Kaget saya." Danu mengusap dadanya yang putih mulus. "Kenapa belum mandi juga?" "Anu, Pak ... saya istirahat dulu, capek nimba air," ungkap Danu nyengir kuda. Pak Husen tertawa mendengar ungkapan Danu.
Mutiara Azahra itulah namanya. Gadis muslimah berparas ayu, santun, dan ramah. Ia putri tunggal pasangan Rojali dan Maemunah. Keluarga Tiara nama panggilan gadis itu, hidup dalam kemiskinan. Tiara tak bersekolah, ia dititipkan oleh ke dua orang tuanya di salah satu pondok pesantren ikut ndalem bersama keluarga Kiyai, nama panggilannya pun diganti Zahra. Zahra belajar Al-Qur'an sejak kecil hingga membuatnya kini menjadi hafiz Qur'an. Zahra tidak bersekolah formal. Sebenarnya Sang Kiyai sudah membujuk Zahra untuk bersekolah formal. Namun, Zahra enggan. Alasannya ia ingin fokus belajar Al-Qur'an. "Zahra ingin jadi Hafiz Qur'an, Abah, Zahra nggak mau sekolah" ucap Zahra kepada Kiyai 10 tahun yang lalu. Zahra ikut Keluarga kiyai kurang lebih 10 tahun. Sang kiyai membesarkan Zahra seperti anak kandung sendiri. Zahra tumbuh di lingkungan yang mendukung perilakunya berkelakuan baik. Didikan sang Kiyai dan Bu Nyai membekas bagai pahatan di batu. Menjadikan Zahra sosok yang mandiri, kuat,
"Maaf, Mbak Zahra. Apakah tidak terlalu memberatkan dan berlebihan syarat itu?" Pak RT membuka suara. Semua mata menoleh ke sumber suara. Zahra tersenyum simpul, nampak manis dan cantik sekali. Hingga membuat Danu tambah kasmaran. Taman bunga merekah seketika menghias hati Danu. "Maaf, maksud Bapak, bagaimana?" tanya Zahra. "99 hari, mana bisa membuat nasi goreng, kalau harus nanam dulu, Mbak. 99 hari padi baru bisa di panen, belum di jemur, belum gilingnya, cukup kah waktunya, Mbak?" Pak RT balik bertanya dengan sopan. Zahra kembali tersenyum, ia menoleh kepada calon mertua dan suaminya. "Bukankan ada dua pilihan mahar, dan Mas Danu sendiri yang siap memilih mahar ke 2," kata Zahra lembut. "Iya, Mbak. Tapi rentang waktu 99 hari apakah cukup?" tanya Pak RT. Danu yang sedari tadi berkeringat mencuri pandang kepada Zahra. 'Duh, Zahra. Senyum mu mengalihkan duniaku. Aku bisa gila jika tak bisa memilikimu Zahra.' batin Danu."Kenapa tidak minta yang lain saja, Zahra. Sebutkan saj
"Benar-benar aneh syarat mahar dari gadis itu. Kenapa tak meminta barang lain saja. Meskipun cuma nasi goreng seeafood tapi syarat untuk membuatnya itu bisa membuat Danu sengsara!" seru Ibu Herlambang kesal. Masuk mobil kemudian membanting pintu mobil dengan kasar. Wajahnya cemberut.Danu, Pak Herlambang, dan Pak Kasno ikut masuk mobil. "Kita batalkan saja pernikahan ini," usul Ibu Herlambang. Duduk di jok belakang bersama suaminya. Ibu Herlambang tampak taksetuju bila perjodohan ini berlanjut. Memasang mimik masam sedikit membenarkan sanggul rambutnya.Danu menoleh ke arah mamanya, "Jangan dong, Ma. Danu cinta sama Zahra, Ma. Dia gadis yang berbeda dari yang lain," ungkap Danu ia duduk di depan dekat sopir sambil memasang sabuk pengaman.Pak Herlambang menatap aneh kepada istrinya. Kemudian membenarkan posisi duduknya ke arah depan."Yah. Kamu benar, Danu. Zahra berbeda dari gadis lain. Yang Papa tangkap, Zahra ingin kamu berproses untuk membuat mahar pernikahan mu. Bukan karena kam
Danu mulai terdiam sambil bersandar di jok mobil menyapukan kedua telapak tanganya ke wajah tampan berhidung mancung itu. Mobil melaju lagi perlahan."Danu, Danu! Are you Oke?" Ternyata Ibu Herlambang memperhatikan gerak-gerik putra bungsunya itu. "Ya, I'm oke Ma," ucap Danu termenung mengusap wajahnya ia menatap keluar jendela."Den, wanita seperti Mbak Zahra itu sekarang langka lho, Den. Jangan sampai lepas," ucap Pak Kasno membuyarkan lamunan Danu. "Iya, Pak Kasno benar. Kebanyakan wanita sekarang suka sama laki-laki yang beruang, ganteng, dan mapan." Imbuh Pak Herlambang. Setuju dengan ucapan sopirnya."Duh, kalian ini kaum lelaki tak tau kah, cantik itu butuh uang. Apalagi kaya mama ini. Hidup tanpa uang, apa kata dunia?" timpal Ibu Herlambang memainkan cincin berlian di jari manisnya. "Lagian papa kenapa sih ngotot banget ngejodohin Danu sama Zahra? Kenapa nggak sama anaknya jeng Prita saja, si Hany. Dia lebih berkelas dan sesuai dengan Danu, she is model, beautiful, smart, d
Mercedez hitam membawa keluarga Herlambang memasuki pintu gerbang sebuah rumah besar. Pintu pagar sudah terbuka mobil masuk halaman rumah kemudian berhenti tepat di depan pintu rumah keluarga Herlambang setelah menempuh perjalanan cukup jauh sampailah mereka di istana keluarga Herlambang.Rumah besar berlantai dua bercat putih lengkap dengan kolam renang dan hiasan mewah. Di garasi berjejer empat mobil. Semua keluar dari mobil hitam yang berhenti tepat di depan pintu rumah bak istana itu lalu mereka masuk rumah kecuali Pak Kasno ia memarkirkan mobil ke garasi.Danu melangkah cepat mendahului orang tuanya. Melewati ruang keluarga tanpa menoleh sedikitpun. Mama dan Papa nya mengekor dibelakang dengan langkah gontai menuju ruang keluarga lalu duduk disofa."Eh, sudah pulang rupanya. Gimana lancarkan lamarannya?" tanya Anita isrti kakaknya Danu. Wanita seksi itu duduk santai disofa berbalut baju kurang bahan berwarna merah cerah, membaca majalah. "Yah,,, begitulah," ucap Ibu Herlambang
FLASH BACK ONKala itu papanya mengajak ketemuan pertama kali bersama Zahra dan Bapaknya di sebuah restoran, untuk membahas perjodohan mereka.Danu yang awalnya menolak berusaha berkilah mengarang alasan dengan berbagai cara agar tak jadi bertemu dengan Zahra. Berbagai alasan dilontarkan Danu saat hendak berangkat ke restoran tempat dimana sang papa berjanji untuk bertemu. Papanya membujuk Danu untuk mau bertemu dengan calon istrinya. Kata Papa untuk sekedar perkenalan dulu. Setelah bernegosiasi lama dan alot akhirnya Danu mau juga diajak bertemu dengan Zahra dan Bapaknya. Sampai direstoran Danu dibuat jenuh menunggu kedatangan calon istri pilihan papa yang akan dijodohkan dengannya. Danu marah, kesal, sewot saat menunggu kedatangan mereka. Papanya menyuruh Danu untuk sabar menunggu Danu pun menurut papanya. Hampir saja Danu pergi meninggalkan restoran karena jemu menunggu lama. Akhirnya Zahra dan Bapaknya datang. Meminta maaf karena terlambat. Danu yang tadinya marah, kesal, da